Pertimbangan Etis untuk Golput

Dok. Hayamwuruk/Abe

Sudah tidak terasa pemilihan Calon Presiden dan Wakil Presiden semakin dekat. Namun seiring berjalannya waktu, timbul berbagai masalah yang membuat hati dan pikiran ragu untuk menggunakan hak suara. Bahkan beberapa orang mulai lelah dan menyerah terhadap situasi politik saat ini. Sehingga banyak juga orang yang tidak akan menggunakan hak suaranya atau biasa disebut dengan golput (Golongan Putih) pada tanggal 14 Februari nanti.

Golput memang sampai sekarang menjadi perdebatan yang problematik, khususnya di negara demokrasi seperti Indonesia. Bagaimanapun juga, tingginya angka golput adalah representasi rendahnya aspirasi rakyat sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi kinerja pemerintah karena tidak mendapat dukungan dari masyarakat. Bahkan ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, M. Cholil Nafis, pada tahun 2009 menyatakan “masyarakat yang golput atau tidak memilih pada pemilu hukumnya haram,”.

Golput muncul di Indonesia saat menjelang Pemilu tahun 1971. Gerakan tersebut dimotori oleh Arief Budiman sebagai bentuk sikap kritis dari seorang intelektual atas ketidakadilan pemerintah saat itu. Saat itu Arief mengkritik tentang pembatasan pembentukan jumlah parpol baru, karena baginya pelarangan tersebut merupakan pelanggaran terhadap demokrasi, yaitu kebebasan berpolitik dan berserikat.

Walaupun golput memberikan dampak negatif pada tatanan demokrasi, akan tetapi sebenarnya golput sendiri merupakan hasil dari demokrasi itu sendiri. Demokrasi menjunjung tinggi kesetaraan, kebebasan berpikir dan berekspresi bagi individu. Oleh karena itu, rasanya tidak adil jika hanya melihat golput sebagai sesuatu yang merusak. Bahkan kebebasan berpendapat di Indonesia telah diatur dalam pasal Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 sebagai hak fundamental, selama hal itu tidak mendorong hasutan dan kebencian.

Dasar-Dasar Pembenaran Golput

Persyaratan bagi pemilih di Indonesia telah tertuang dalam PKPU No.7 2022. Orang yang telah memenuhi persyaratan tersebut berhak untuk menentukan pilihannya terhadap calon-calon yang ada dan/atau tidak memilih tanpa mendapat paksaan dari luar dirinya. Jika terjadi dominasi terhadap pemilih dari pihak manapun (baca: berkuasa) maka pilihan tersebut telah mencederai hak-hak individu. Jika itu terjadi, maka tidak ada bedanya antara demokrasi dan totalitarianisme.

Selain itu jika kita mencermati lebih dalam, golput adalah bentuk dari praktik demokrasi. Seringkali kita mendikotomi bahwa orang yang menggunakan hak pilihnya dalam pemilu adalah seseorang yang aktif, sedangkan mereka yang golput disebut pasif. Para golput sering mendapat sentimen sebagai orang yang pesimis, tidak peduli terhadap negara, membiarkan pemimpin zalim berkuasa, bahkan irasional. Lalu seringkali kritik terhadap golput adalah adanya tendensi subjektifitas pelaku saja, bahkan tidak jarang mereka tidak memilih hanya karena tidak suka dengan kandidat saja.

Padahal tidak semua para golput itu apatis, tetapi banyak dari mereka yang secara intelektual paham tentang politik dan memilih untuk golput. Bahkan sebenarnya penggunaan kata aktif bagi mereka yang menggunakan hak suaranya sangat kontradiktif. Terdapat beberapa pemilih aktif yang menggunakan hak suara karena dituntut (dibaca: dibayar) untuk memilih bukan karena keinginan sendiri. Bukankah hal tersebut lebih pantas disebut pasif?  Lalu lebih baik mana para golput jujur atau anti-golput yang dibayar

Kantianime dan Utilitarisme

Setelah melihat beberapa argumen yang menyatakan bahwa golput merupakan sesuatu yang normal dalam negara demokrasi, tetapi bukan berarti seseorang dengan bebas untuk tidak menggunakan hak suaranya dalam pemilu. Pertimbangan untuk memilih atau tidak memilih sebenarnya hampir sama, yaitu tidak boleh berdasarkan emosional belaka, melainkan harus ada pertimbangan etis.

Etika merupakan salah satu cabang ilmu dalam filsafat, singkatnya ilmu ini mempelajari segala bentuk tindakan-tindakan manusia berdasarkan baik buruk, susila dalam hubungan antar manusia. Banyak filsuf yang membahas permasalah etika bahkan tidak jarang pemikiran mereka berbenturan antara satu sama lain. Kali ini penulis akan melihat golput dari sudut pandang etika Immanuel Kant (Kantianisme) dan John Stuart Mill (Utilitarisme), dua filsuf tersebut telah memberi sumbangsih pemikiran etika yang menurut penulis masih relevan sampai sekarang.

Kant memberikan fondasi moral dengan melihat bahwa manusia merupakan makhluk yang rasional. Pertama-tama, menurut Kant sesuatu dapat dikatakan baik secara moral apabila terdapat “kehendak baik” dalam seseorang bahkan ketika dia tahu kalau perbuatanya tesebut belum tentu akan mengahasilkan sesuatu yang baik pula. Maka dari itu, Kant sangat setuju untuk memilih kerugian material dari pada berperilaku jahat. Contoh seorang siswa lebih memilih untuk tidak berbuat curang saat ujian walaupun dia tahu akan dijauhi oleh teman-temannya.

Akan tetapi setelah itu malah menimbulkan sebuah kebingungan, “bagaimana suatu tindakan tersebut dapat dikatakan baik atau malah sebaliknya”? atau “ukuran apa yang bisa digunakan untuk mengukur sebuah kebaikan”?

Kembali pada kasus siswa yang tidak berbuat curang tadi, apakah tindakan tersebut jika dilakukan oleh semua manusia akan memberikan dampak yang baik. Jawabannya adalah iya. Inilah yang menjadi tolak ukuran kebaikan menurut Kant, yaitu apabila semua manusia melakukan hal yang sama akan memberikan dampak baik. Hal ini dalam filsafat Kant dikenal sebagai “akal murni” atau pure reason.

Tetapi dalam sebab-sebab tertentu orang bahkan melakukan kecurangan seperti yang dilakukan Bung Karno, bahkan menurutnya mencontek adalah sebuah bentuk sikap gotong royong (Adams, 1965).  Hal inilah yang disebut dengan sebagai pengujian universalizability. Maka dari itu Kant mengatakan “act only in accordance with that maxim through, which you can at the same time will that it become a universal law,”.  Intinya sebuah kebaikan bisa dikatakan baik apabila orang lain juga mampu melakukannya. Oleh karena itu menurut Kant menghargai orang lain untuk tidak memaksakan suatu kebaikan merupakan sesuatu yang penting.

Sampai disini kita telah mengetahui ukuran dari sebuah kebaikan apabila dilihat dari sudut pandang Kantianisme. Namun, hal ini masih belum memuaskan, ada sebuah pernyataan fundamental yang belum dijawab, yaitu “Untuk apa kita berbuat baik?”. Mill menjawab pertanyaan tersebut dengan lugas, “Keyakinan yang diterima sebagai landasan moral utilitas atau Prinsip Kebahagiaan terbesar menyatakan bahwa sebuah tindakan dinilai benar jika orang melakukannya cenderung bermaksud meningkatkan kebahagiaan dan tindakan itu bisa dinilai salah jika justru dimaksud sebaliknya. Jika kebahagiaan menjadi tujuannya, maka tindakan yang dimaksud adalah meraih kesenangan dan terhindar dari rasa sakit; sebaliknya, ketidakbahagiaan berarti adanya rasa sakit dan penderitaan “(Mill, 2020)

Kebahagian menurut Mill sama dengan kenikmatan, sesuatu yang bisa dilihat. Apabila diambil dari contoh ketika siswa memilih untuk tidak menyontek, sebenarnya dia ingin mendapat sebuah kebahagian, katakanlah dia ingin mengetahui materi yang belum dipahaminya dan lain sebagainya. Hal itu tidak akan ia dapat jika dia menyontek. Kebahagian menurut Mill juga bukanlah sesuatu yang bersifat individual bahkan menurutnya apabila seseorang mengorbakan sesuatu untuk orang lain maka hal itu juga termasuk sebagai “Kebahagiaan Terbesar” atau Utilitarisme.

Hubungannya Dengan Golput

Apabila kita hubungkan dengan keingin untuk golput, kewajiban seseorang untuk tidak memilih haruslah berdasarkan kehendak baik. Segala bentuk keinginan buruk haruslah dihindarkan. Ketika memiliki keinginan untuk golput haruslah bersandarkan alasan-alasan rasional. Secara praktis, kita bisa melakukannya dengan melihat track recordnya, visi dan misinya, partai-partai yang membantunya dan lain sebagianya. Bukan hanya berdasarkan ketidaksukaan saja.

Pertimbangan lain untuk memilih golput haruslah tanpa memberi paksaan kepada orang meskipun kamu memiliki alasan lebih baik terhadap orang lain. Katakanlah temanmu ingin memilih seorang calon presiden hanya karena ketampanannya saja, tentu menurut Kant hal itu adalah sesuatu karena irasional dan terlalu subjektif, jika hal tersebut dibiarkan maka akan mempengaruhi kualitas pemimpin, padahal pemimpin yang dipilih hasil dari demokrasi adalah bentukan masyarakatnya. Akan tetapi perlu diingat, kamu juga memberi pengertian alasan mu kepada orang lain tanpa paksaan atau malah uang karena hal itu juga melanggar demokrasi.

Terakhir, sebuah tindakan baik akan bermuara menuju kebahagiaan, oleh karena itu kita harus menguji apakah tindakan untuk tidak memilih adalah sebuah usaha untuk mencapai sebuah kebahagiaan atau malah penderitaan baik untuk diri sendiri dan orang lain. Mill juga mengatakan bahwa kebahagiaan orang lain juga akan berdampak pada kebahagiaan diri sendiri.

Referensi

Adams, C. (1965). Sukarno: An Autobiography. Bobbs-Merril: Indianapolis.

BBC News Indonesia. (2023, Desember 19). Hantu golput di Pemilu 2024 dan fatwa haram MUI – Mengapa memilih golput dan apa dampaknya? Retrieved from Berita BBC : http;//www.bbc.com

Graham, G. (2018). Teori-Teori Etika. (M. Rizal, Ed., & I. M. Zakkie, Trans.) Bandung: Penerbit Nusa Media.

Hutari, F. (2018, Agustus 20). Bagaimana Golput Muncul Pertama Kali dalam Sejarah Indonesia. Retrieved from Politik: https://tirto.id/bagaimana-golput-muncul-pertama-kali-dalam-sejarah-indonesia-cS9E

Lardy, H. (2004). Is there a Right not to Vote? Oxford Journal of Legal Studies, 303-321.

Mill, J. S. (2020). Utilitarianisme. (E. A. Astanto, Ed., & A. Sari, Trans.) Yogyakarta: Basabasi.

Supriatma, M. (2019, Maret 15). Layakkah Menyebut Golput Bodoh, Parasit, dan Bermental Tak Stabil. Retrieved from Politik: https://tirto.id/layakkah-menyebut-golput-bodoh-parasit-dan-bermental-tak-stabil-djx9#google_vignette

Penulis: Diaz Fatkhur Rohman (Magang)
Editor: Juno

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top