“Masyarakat lain mungkin baru pakai masker sejak pandemi, tapi kami di sini sudah pakai sejak 2017 karena bau busuk dari PT. RUM”
Erfandika (20) masih ingat momen bau busuk yang mengganggu aktivitas sehari-harinya sejak akhir 2017 muncul. Sambil menghisap rokok, ia mengingat kembali momen di mana bau itu membuatnya tidak dapat tertidur sehingga harus terjaga sepanjang malam.
“Ah, aku inget banget, yang buat nyemprot di masjid, stella semprot, itu ga ngefek. Semprot 5 detik paling bau itu (muncul) lagi,” ujar pria yang akrab dipanggil Gembul tersebut.
Bau busuk yang ia maksud berasal dari PT. Rayon Utama Makmur (PT. RUM) yang berlokasi di Plesan, kecamatan Nguter, Sukoharjo. PT. RUM merupakan sebuah pabrik yang memproduksi serat rayon atau kapas sintetis untuk industri tekstil dan garmen.
- RUM merupakan anak perusahaan PT. Sri Rejeki Isman Tbk. (Sritex) yang bergerak di bisnis garmen. Serat rayon yang diproduksi PT. RUM ditujukan untuk memenuhi pasokan garmen PT. Sritex.
Namun bukan hanya serat rayon, PT. RUM juga menghasilkan limbah yang mengganggu warga sekitar dari proses produksi. Hal tersebut dirasakan banyak warga Sukoharjo, salah satunya Gembul, sejak pabrik tersebut mulai beroperasi.
Proses produksi PT. RUM menghasilkan bau tidak sedap sehingga mengganggu warga sekitar. Bau tersebut seringkali berubah-ubah, kadang bau septic tank, bau jengkol, bahkan hingga bau kopi. Munculnya bau tidak sedap juga memberikan dampak negatif pada kesehatan warga terdampak.
“Efek-efeknya secara pribadi itu kayak penurunan nafsu makan,” tambah Gembul
- RUM juga menyebabkan pencemaran air pada Sungai Gupit dan Sungai Bengawan Solo. Hal ini terjadi karena pipa pembuangan limbah cair mereka yang berada di aliran Sungai Gupit dan titik pembuangan akhirnya berada di Sungai Bengawan Solo.
Bagi warga Desa Gupit, Kecamatan Nguter, Sukoharjo, Sungai Gupit dinilai cukup penting. Warga menggunakan air dari sungai tersebut pada musim kemarau. Tetapi sekarang sungai tersebut sudah tercemar akibat adanya PT. RUM
Dari Udara Hingga Air, Semua Dicemari RUM
Slamet Riyanto, atau yang akrab dipanggil Abdullah, memiliki sawah yang letaknya cukup dekat dengan lokasi beradanya pabrik PT. RUM. Bau busuk yang muncul sejak adanya pabrik tersebut membuatnya sering kali tidak kuat saat menggarap sawahnya dan membuatnya memilih pulang.
Sambil memainkan gelas berisikan teh, ia menceritakan awal bau busuk yang menghantuinya dan warga Sukoharjo itu muncul. Berdasarkan penuturannya, bau tersebut muncul tidak lama setelah PT. RUM mulai produksi.
Awalnya warga mencium bau belerang terus berubah hingga menjadi bau kopi. Pada akhirnya, ia mengetahui sumber bau tersebut setelah adanya warga lain yang melakukan protes ke pabrik PT. RUM.
Jika pandemi Covid-19 pada tahun 2020 lalu membuat kita menggunakan masker setiap saat, masyarakat sekitar PT. RUM sudah melakukannya jauh sebelum itu. Masker tersebut mereka gunakan dengan harapan akan mengurangi bau dari PT. RUM.
Namun menggunakan masker tidak dapat mengatasi bau busuk dari udara yang mereka hirup. Aktivitas sehari-hari warga seperti bekerja, sekolah bahkan beribadah pun menjadi terganggu akibat bau tersebut.
Tidak hanya bau busuk, limbah cair yang dihasilkan PT. RUM juga mencemari air akibat Pipa pembuangan limbah cair mereka. Abdullah menunjukan lokasi salah satu pipa pembuangan tersebut kepada tim Hayamwuruk.
Pipa pembuangan tersebut masuk melintasi aliran Sungai Gupit hingga pembuangan akhirnya di Sungai Bengawan Solo. Hasilnya air sungai tercemar akibat kebocoran pipa fiber yang berisikan limbah cair hasil produksi serat rayon.
Pipa pembuangan limbah yang bocor melewati aliran Sungai Gupit sehingga menyebabkan air sungai menjadi berwarna hitam dan berbusa. Limbah tersebut menyebabkan ikan-ikan di sungai mati.
Dampak pipa bocor tidak hanya mencemari air sungai, tetapi juga merusak beberapa lahan sawah warga. Beberapa lahan warga terkena longsor akibat dari pembangunan pipa tersebut.
Bupati Sukoharjo pada tahun 2018 sempat menerbitkan Surat Keputusan No. 660.1/207/2018 untuk PT. RUM untuk menghentikan sementara produksinya serta waktu 18 bulan untuk menuntaskan pencemaran. Namun tidak sampai 18 bulan, pabrik tersebut sudah kembali produksi dan tetap mengeluarkan bau busuk bahkan hingga tenggat waktu yang diberikan.
Tindakan tersebut tersebut dianggap warga, termasuk Abdullah dan Gembul, sebagai bentuk ketidakseriusan pemerintah setempat mengatasi permasalahan pencemaran lingkungan.
Padahal menurut laporan penelitian yang dilakukan Tim Independen Muhammadiyah pada tahun 2018 melalui tes laboratorium dan survei lapangan jelas telah terjadi pencemaran lingkungan yang dilakukan PT. RUM, baik pencemaran udara ataupun air.
Survei yang dilakukan oleh Tim Independen Muhammadiyah pada tahun 2018 menyimpulkan bahwa PT. RUM masih belum berhasil mereduksi zat H₂S secara maksimal. Hal ini membuat masihnya terasa dampak bau yang dihasilkan zat tersebut.
Hidrogen Sulfida (H₂S) sendiri merupakan senyawa gas kimia yang tidak berwarna. Sifat gas H₂S memiliki densitas lebih tinggi (1,393g/dm³) dibandingkan dengan densitas udara (1,293g/dm³) sehingga memungkinkan gas H₂S terhirup oleh masyarakat. Gas H₂S sendiri termasuk gas yang berbahaya bagi manusia yang dapat menyebabkan iritasi pada sistem pernapasan.
Sebenarnya pada tahun 2019 PT. RUM sempat menjanjikan memasang alat H₂SO₄ Recovery guna menangani bau busuk akibat produksi yang mereka lakukan. Hal tersebut pernah diungkapkan oleh Sekretaris PT. RUM, Bintoro Dipyoseputro, namun hingga hari ini alat tersebut masih belum terpasang.
Mengenai pencemaran air yang dilakukan oleh pihak PT. RUM, hal ini pernah dilaporkan oleh Tirto.id dalam artikel berjudul “Bau Busuk Limbah Pabrik Pencemar Bengawan Solo”. Pada artikel tersebut, Zakki Amali selaku penulis dan reporter, mencantumkan hasil riset laboratorium yang sampelnya ia ambil dan diteliti di Laboratorium Teknik Kimia Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Waktu pengambilan sampel: 13-15 Mei 2020
Lokasi Sampel | Parameter | Hasil Uji (mg/L) | Baku Mutu (mg/L | Tanggal | |
PT. Rayon Utama Makmur | Pipa pembuangan (outfall) Bengawan Solo | Sulfida | 1 | 0,3 | 13 Mei 2020 |
Parit belakang pabrik | COD | 958,8 | 150 | 13 Mei 2020 | |
Sulfida | 0,8 | 0,3 | 13 Mei 2020 | ||
Pipa pembuangan | Sulfida | 0,6 | 0,3 | 14 Mei 2020 | |
Pipa bocor Sungai/Desa Gupit, Nguter | Sulfida | 0,8 | 0,3 | 14 Mei 2020 | |
Parit belakang pabrik | Sulfida | 0,6 | 0,3 | 14 Mei 2020 |
Keterangan:
Sulfida: Anion dari sulfur (belerang)
COD: Chemical Oxygen Demand, jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organik pada limbah
Dari hasil laboratorium tersebut terbukti bahwa tingkat kandungan sulfida pada lokasi pipa pembuangan Bengawan Solo, parit belakang pabrik, dan pipa bocor Sungai Gupit mencapai 1, 0,6, dan 0,8 mg/L. Hasil tersebut menandakan bahwa limbah ketiga lokasi tersebut melebihi dari baku mutu yang ditetapkan, yaitu 0,3 mg/L. Sedangkan untuk tingkat kebutuhan oksigen kimia (COD) berada di angka 958,8 mg/L, yang berarti lebih dari 6x lipat baku mutu yang ditetapkan.
Berlebihnya tingkat Sulfida dan COD pada pipa pembuangan limbah PT. RUM menandakan bahwa mereka benar melakukan pencemaran air di tempat pipa pembuangan. Berlebihnya tingkat Sulfida dan COD dapat menyebabkan pencemaran lingkungan dan membahayakan kesehatan.
“Kadang yang dekat sungai itu kalau kemarau mereka ngambil air dari sungai itu kan. Itu yang terpengaruh karena airnya sudah tercemar,” ucap Abdullah.
Sukoharjo Mambu
Sarmi (49), baru pulang dari pengadilan pasca menjadi salah satu perwakilan warga dalam proses mediasi dengan PT. RUM. Rumahnya hanya berjarak sekitar 100 m dari pagar pembatas pabrik PT. RUM.
Ia menceritakan bau busuk yang diakibatkan oleh produksi PT. RUM selalu mengganggu aktivitas warga sekitar. Bau busuk tersebut menimbulkan efek buruk pada kesehatan warga. Banyak warga yang seringkali mengalami pusing, mual, muntah hingga sesak nafas karena bau tersebut, tak terkecuali dirinya.
Sarmi sendiri merasakan perbedaan pada kesehatannya sejak munculnya bau busuk PT. RUM. Dulu ia kuat berjalan kaki jauh, namun sekarang berjalan hanya ke rumah tetangga pun sudah menguras banyak tenaganya. Ia juga terpaksa meminum obat-obat karena dampak kesehatan yang ia rasakan.
Anak Sarmi juga terkena dampak buruk dari PT. RUM. Sarmi bercerita bahwa anaknya sering kali keluar masuk rumah sakit pada saat adanya bau busuk tersebut.
“Katanya deket pabrik hidup enak tapi malah sengsara,” kata Sarmi.
Lampiran data survei Tim Independen Muhammadiyah (2018).
Pada 2018 Tim Independen Muhammadiyah melakukan analisis survei terhadap 150 masyarakat sebagai responden mengenai tingkat pencemaran yang terjadi di lingkungan akibat limbah pabrik PT RUM, 93% responden menyatakan pencemaran yang terjadi adalah sudah termasuk pencemaran parah. Sementara hanya 3% yang menyatakan pencemaran biasa, 1% menyatakan masih di dalam batas kewajaran dan tidak menjawab sebesar 3%.
Lampiran data survei Tim Independen Muhammadiyah (2018).
Mengenai dampak yang dirasakan masyarakat, sebesar 90% responden yang menyatakan dampak paling berat yang dirasakan masyarakat adalah dampak kesehatan seperti terjadinya sesak nafas, asma mual, muntah, pusing. Sementara responden yang menyatakan dampak paling berat berupa dampak ekonomi yang terganggu, dampak pendidikan dan dampak sosial masing-masing sebesar 3%.
Sejak pertengahan 2022 PT. RUM berhenti melakukan produksi karena menipisnya bahan baku produksi. Hal ini tercantum pada surat direktur umum PT. RUM bernomor NO.005/RUM-DIR/VI 2022. Dani Sriyanto Kuasa Hukum PT. RUM membenarkan bahwa pihaknya hingga kini masih menghentikan kegiatan produksi sambil melakukan evaluasi dan berbenah.
Pemberhentian produksi yang dilakukan PT. RUM beriringan dengan mengurangnya bau busuk yang muncul. Kesehatan warga pun mulai membaik.
Hal sama yang dirasakan Sarmi. Ia tidak lagi perlu minum obat terus-menerus seperti saat bau busuk itu hadir. Hal sama dirasakan oleh Simpon, tetangga Sarmi. Dulu saat bau busuk PT. RUM terus menghantui, suaminya seringkali masuk rumah sakit. Tetapi sejak berkurangnya bau tersebut, suaminya bahkan bisa kembali ke sawah.
Fakta tersebut semakin memperkuat hipotesis warga bahwa selama ini bau busuk yang dihasilkan PT. RUM lah yang menyebabkan kesehatan warga sekitar menjadi menurun.
Sukoharjo Melawan Bau Busuk
Kamis (09/03/2023), warga Sukoharjo yang terdampak pencemaran yang dilakukan PT. RUM mendaftarkan Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) ke Pengadilan Negeri Sukoharjo (PN Sukoharjo). Hal ini menandai babak baru dalam perjuangan warga melawan pencemaran lingkungan yang mengganggu mereka sejak akhir 2017.
Sebelumnya warga sudah melakukan berbagai upaya untuk melawan pencemaran tersebut, mulai dari melaporkan kasus tersebut ke Dinas Lingkungan Hidup Sukoharjo (DLH Sukoharjo) hingga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Pusat (KLHK), serta aksi massa. Namun usaha tersebut belum pernah melahirkan hasil yang memuaskan bagi warga terdampak.
Usaha tersebut pernah dilakukan oleh Gembul secara pribadi. Pada dua kesempatan berbeda, ia sempat bertemu dengan Wawan Pribadi, selaku ketua DPRD Sukoharjo, dan Eva Yuliana, salah satu anggota DPR RI.
Ia mencoba membawa permasalahan pencemaran lingkungan yang dilakukan PT. RUM pada forum diskusi. Namun jawaban yang ia dapatkan tidaklah memuaskan, keduanya justru saling melempar tanggung jawab.
Ketidakpuasan atas usaha mereka selama inilah yang membuat warga tetap yakin melanjutkan masalah ini melalui pengadilan. Meskipun saat ini bau busuk sudah mulai berkurang karena berhentinya produksi PT. RUM, warga tetap tidak terlena dan cepat puas karena yang mereka inginkan adalah berhentinya pencemaran lingkungan secara total.
Dengan dimulainya proses Gugatan Class Action, Gembul mengharapkan adanya putusan yang adil untuk warga yang sudah menderita akibat pencemaran yang mereka alami sejak 2017.
“Saya harap keadilan di indonesia itu bener-bener masih ada. Masih berpihak pada orang-orang yang harus mendapatkan haknya. Ga lagi perihal relasi kuasa. Aku harap keadilan di indonesia berpihak pada rakyat kecil,” ucap Gembul.
Reporter: Fajri, Juno, Zul
Penulis: Juno