Organisasi mahasiswa (ormawa) seringkali disebut sebagai salah satu media untuk mewadahi bakat dan minat mahasiswa, serta menyumbangkan berbagai ide untuk mewujudkan visi misi bersama. Tujuan utamanya adalah fokus pada pengembangkan softskill para anggota ormawa dengan mengadakan rangkaian kegiatan yang dapat dinikmati seluruh mahasiswa terkait.
Salah satu organisasi yang dianggap amat berpengaruh dan berperan penting dalam mengadakan ragam kegiatan di lingkungan kampus adalah Badan Eksekutif Mahasiswa, yang kita kenal sebagai BEM. BEM sendiri punya beban tugas yang tak main-main beratnya. Selain berlomba untuk mengadakan pengembangan pada kegiatannya, mereka juga bertugas menjadi perantara bagi mahasiswa untuk mengurus hal-hal yang berkaitan dengan perkuliahan, misalnya pengajuan keringanan uang kuliah tunggal (UKT).
Menjadi salah satu organisasi yang memiliki peranan penting di dalam kampus, tentu saja mahasiswa menaruh banyak ekspektasi kepada fungsionaris dan kabinet BEM yang menjabat. Tak hanya itu, mahasiswa yang memiliki ketertarikan untuk bergabung menjadi fungsionarisnya pun memiliki ekspektasi. Salah satu ekspektasinya adalah keadilan dan transparansi terkait perekrutan fungsionaris. Namun, ekspektasi satu ini tentu saja mudah dipatahkan, mengingat penurunan peminat kursi fungsionaris BEM tampak signifikan.
Walaupun masih ada mahasiswa yang menyeret kakinya untuk duduk di kursi-kursi fungsionaris, nyatanya masih banyak kursi kosong yang belum ada pemiliknya. Tentu saja itu akan menyulitkan para pengurus inti untuk mencari kandidat yang tepat apabila tak satupun mendaftarkan diri untuk duduk di kursi tersebut. Lalu jalan apa yang akan ditempuh mereka untuk tetap memiliki fungsionaris tanpa harus merusak timeline open recruitment BEM?
Siapa yang tak terlena dengan kursi-kursi kosong pemerintahan meskipun hanya pada ranah universitas dan fakultas? Mahasiswa yang pernah kehilangan kesempatannya mendapat kursi tersebut tentu saja punya kesempatan untuk mendudukinya, asal tetap memenuhi kualifikasi. Kualifikasi seperti apa yang BEM butuhkan? Itu amat subjektif. Bisa saja mahasiswa dengan pengetahuan dan pengalaman dalam suatu bidang atau mungkin mahasiswa yang memiliki hubungan erat dengan sang pemimpin.
Hal ini ditemukan dalam rangkaian masalah BEM FIB (Fakultas Ilmu Budaya) yang baru saja menemukan pimpinannya. Banyak kejanggalan-kejanggalan yang apabila dikumpulkan, tentu pihak yang bersalah dapat mengeluarkan argumen balasan, seperti dengan dalih hak prerogatif dalam pemilihan anggota dewan inspektorat dan inovasi baru dalam perekrutan fungsionaris dengan konsep yang lebih tertutup.
Mengejar waktu dan kabinet yang harus segera dirilis walau dengan tokoh-tokoh yang belum lengkap nyatanya masih bisa dilakukan. Postingan ketua bidang didahulukan, namun kenyataannya ada dua kedudukan, yakni posisi Ketua Bidang Ekonomi Kreatif (ekotif) dan Riset dan Keilmuan (riskel) yang dilewatkan, serta tidak ada klarifikasi terkait kesalahan tersebut.
Hal janggal lainnya ditemukan ketika daftar anggota fungsionaris diterima telah rilis. Nama kedua kepala bidang yang tidak dirilis wujudnya ternyata muncul sebagai narahubung bidang terkait. Pertanyaan demi pertanyaan muncul mengapa keduanya tidak diposting dan bagaimana bisa mereka tiba-tiba menjadi kepala bidang tanpa dirilis bersama ketua bidang lainnya?
Tidak hanya itu, satu laporan masuk mengenai fungsionaris BEM ‘tarikan’ tanpa berkas yang mendapat kursi kosong gratisan. Beberapa anggota, khususnya mahasiswa angkatan 2023, yang banting tulang mempercantik berkas-berkas rekrutmen mengeluh akan adanya nepotisme di dalam BEM FIB. Para kepala bidang yang membutuhkan staf ahli diduga menarik teman-teman mereka untuk duduk di kursi kosong tersebut secara cuma-cuma. Hanya bermodalkan hubungan dekat dan wawancara formalitas, kursi kosong jabatan pun terisi. Amat mudah dan instan, namun amat kotor.
Jika ternyata dikejar waktu untuk segera menuntaskan kewajibannya memenuhi kursi-kursi staff, akan lebih baik jika anggota tarikan tersebut tetap melewati prosedur yang seharusnya. Mengumpulkan berkas dan melewati beragam seleksi, bukannya menyiapkan berkas palsu setelah tertangkap basah atau mempersulit rencana memerdekakan diri dari jabatan bagi anggota yang sadar akan dipermainkan oleh pemimpinnya.
Banyak cara yang mungkin dapat ditempuh tanpa menyentuh lumpur-lumpur kotor yang disebut nepotisme. Namun, anggota fungsionaris BEM FIB ternyata lebih suka berkotor ria, yang kemudian ketika dikejar untuk diwawancara, sang pimpinan mulai mengeluarkan propaganda untuk berwaspada. Mudah sekali apabila sebuah organisasi menganut kepemimpinan otoriter yang semena-mena. Di sisi lain, amat menyulitkan kami para jurnalis untuk mengungkap kebenaran.
Ada pula yang beranggapan bahwa BEM Fakultas hanya dipandang sebelah mata tanpa ada siapa pun akan mengkritisi. Pada kenyataannya, beberapa mahasiswa yang muak akan buruknya pemerintahan di dalam fakultas merasa risih dan kehilangan kepercayaan mereka terhadap BEM Fakultas, khususnya BEM FIB. Mahasiswa mulai skeptis dengan segala informasi yang diberikan sebab pada awalnya pun sudah sulit dipercaya kejujuran dan ketulusannya dalam mengabdikan diri.
Jika menengok ke belakang, relasi mungkin saja menjadi penyebab utama nepotisme ini muncul. Mungkin saja keterlibatan dalam satu ekstra universitas, kemudian mengekor pimpinan lamanya untuk ikut menjabat di BEM FIB. Hal yang sama dengan keterlibatan tim sukses yang terlibat pada saat proses pencalonan menjadi ketua dan wakil ketua. Mereka dengan mudah menyingkirkan tujuh orang pendaftar, kemudian menjabat sebagai inspektorat di bawah alasan hak prerogatif sebagai ketua BEM.
Belum lagi masalah ketua inspektorat yang terikat hutang demi melunasi tunggakan Mahakarya 2022. Takut kalah bersaing dengan fakultas besar lain, FIB memaksakan diri untuk mewujudkan acara spektakuler yang berimbas pada kegagalan dua bintang tamu untuk tampil, kurangnya target audience, hingga permasalahan lain terkait akomodasi, vendor, hingga venue. Hutangnya belum lunas, sudah dapat kursi Ketua Dewan Inspektorat di bawah naungan hak prerogatif. Bersikap sok kritis di depan publik seharusnya tahu diri untuk apa yang wajib segera diselesaikan sebelum memegang jabatan penting lainnya. Sikap tanggung jawabnya tentu harus dan akan dipertanyakan oleh mahasiswa.
Tidak layak rasanya menjadi vokal atas nepotisme yang dilakukan Jokowi bersama keluarga besarnya, apabila nyatanya organisasi mahasiswa sekelas BEM Fakultas mengekor pada turunannya. Nepotisme yang dilanggengkan sejak masih berada di universitas akan mudah baginya berbaur dengan kondisi politik di daerah, atau lebih buruknya, negara. Jika hal seperti ini terus menerus digaungkan dengan bebas, lalu apa guna istilah mahasiswa adalah agen perubahan? Perubahan kecil seperti menerapkan kejujuran dan keadilan pun masih dirasa sulit untuk dilakukan.
Para anggota fungsionaris BEM FIB harus melepaskan jauh-jauh pola pikir bahwa tak ada satupun yang peduli dan memperhatikan segala hal yang mereka lakukan. Nyatanya, mahasiswa yang jauh dari nama organisasi besar lebih sering membicarakan bagaimana buruknya nepotisme dan bagaimana seharusnya BEM sebagai salah satu badan politik kampus bersikap.
Tak hanya kehilangan kepercayaan dari para mahasiswa di luar BEM FIB, dampak nepotisme juga akan berimbas pada internal BEM itu sendiri. Antara lain adalah rusaknya etika dalam bekerja, merusak kredibilitas organisasi, hingga merugikan kemajuan organisasi dan mahasiswa karena dapat mencegah mahasiswa-mahasiswa berbakat untuk bergabung di dalam organisasi tersebut.
Maling pun akan tertangkap basah di kemudian hari, lantas kecurangan seperti apa yang akan membebaskan BEM FIB dari konsekuensi?
Penulis: Marricy
Editor: Juno