Belakangan ini publik berulangkali dihebohkan dengan berita tewasnya santri dikeroyok atau menjadi korban kekerasan di beberapa pesantren di Indonesia. kejadian ini juga diperparah dengan pihak pengurus pesantren yang mencoba untuk menutup-nutupi kasus yang ada sehingga membuat kepercayaan publik terhadap pesantren pun menurun.
Rentetan kasus yang muncul menumbuhkan image bahwa pesantren adalah tempat pendidikan yang keras dan mengedepankan kekerasan dan secara lebih lanjut memunculkan pemahaman bahwa pesantren bukan lagi tempat yang aman untuk menuntut ilmu.
Selama satu dekade terakhir ini, angka kekerasan berujung kematian di pesantren naik secara bertahap, hipotesis yang bisa saya tawarkan untuk menjelaskan hal ini adalah adanya perubahan perspektif dalam masyarakat tentang pemaknaan pesantren.
Di masa lalu, pesantren identik dengan tempat belajar dan menuntut ilmu agama, anak-anak yang hendak dikirim ke pesantren adalah mereka yang memang sudah dipersiapkan secara matang untuk belajar ilmu agama dan menguasai permasalahan agama. Saat itu, pesantren masih dianggap sebagai tempat yang sakral dan keramat karena adanya hubungan batin antara santri dan kyai.
Pada hari ini, persepsi masyarakat mengenai pesantren telah berubah. Pesantren dianggap sebagai tempat “penitipan anak”, para orang tua yang memiliki anak yang bandel atau nakal memilih untuk mengirimkannya ke pesantren supaya bisa merubah sikap dan sifat anaknya yang bandel dan nakal itu, padahal fungsi utama pesantren bukan itu. Juga orang tua masih memiliki tanggung jawab untuk mendidik anaknya, bahkan jika sudah dikirim ke pesantren pun orang tua masih memiliki tanggung jawab.
Pesantren adalah wadah kaderisasi ulama, tempat para calon imam dan ’alim dibina, prinsip pesantren sebagai wadah kaderisasi ulama masih dipegang teguh oleh banyak pesantren salafiyah (tradisional). Sekarang terdapat banyak bermunculan pesantren yang menjadi tempat “rehabilitasi anak nakal”, pesantren-pesantren yang bermunculan ini identik dengan pesantren khalafiyah (modern). Bukan berarti semua pesantren modern merupakan tempat “rehabilitasi anak nakal”, semua itu dikembalikan lagi pada pengelola pesantren dan kebijakan apa yang diambil dalam metode pendidikannya.
Kembali pada permasalahan awal yaitu kekerasan berujung kematian di pesantren, hipotesis yang saya ajukan adalah karena pesantren telah berubah menjadi semacam “tempat rehabilitasi anak nakal” yang membuat pesantren seakan telah kehilangan ruh nya, kehilangan akarnya sehingga kasus-kasus kekerasan yang dilarang dalam Islam dapat terjadi berulang kali sebagai akibat dari perubahan persepsi masyarakat terhadap pesantren. Tentu saja hal ini bukan faktor tunggal yang menjadi penyebab munculnya kasus-kasus kekerasan itu tetapi ada juga faktor-faktor lain semisal senioritas dan juga lemahnya sistem kepengurusan pesantren.
Masyarakat perlu memahami kembali pesantren, persepsi mengenai pesantren sebagai tempat penitipan anak nakal perlu diubah dan persepsi pesantren perlu dipandang ulang kembali sebagaimana harusnya, yaitu wadah pendidikan dan kaderisasi ulama. Wallahu a’lam.
Penulis: Al-Faqiru Ilallah M. Farhan Prabulaksono
Editor: Juno