Jika tulisan opini sebelum ini tidak juga membuat Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (BEM FIB) Undip 2024 sadar dan wawas diri, penulis meminta tolong kepada para Dewan Inspektorat atau bahkan tangan kanannya untuk memberikan serta membacakan opini ini di depan wajahnya langsung, barangkali ia bertaubat dan cepat-cepat meminta maaf.
Mengaca pada pemilihan umum (pemilu) kemarin, banyak sekali ditemukan kecurangan dalam keberjalanannya, seperti politik uang, politisasi bansos, nepotisme, penggunaan buzzer, intimidasi terhadap lawan politik, dan lain sebagainya. Semua itu dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif, melibatkan unsur pemerintahan terendah sampai ke pusat. Lantas, siapa aktor di balik kecurangan dan kekacauan ini? Jelas, negara.
Negara melalui tiga lembaga penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu, DKPP) gagal menyelenggarakan pemilu sesuai asas LUBER JURDIL. Belum lagi ditambah dengan intervensi negara terhadap lembaga-lembaga penegak hukum yang makin membuktikan bahwa pemilu sebagai pesta demokrasi hanyalah isapan jempol belaka. Alih-alih menjadi pertanda sehatnya demokrasi di Indonesia, pemilu 2024 malah menyurutkan semangat berdemokrasi itu sendiri.
Atas semua tindak kecurangan ini, sangat mungkin menurunkan legitimasi pada pemerintahan terpilih. Dengan kata lain, melalui mekanisme pemilu yang jujur bukan hanya menghasilkan demokrasi dan pemimpin yang berkualitas namun juga memperkuat gerakan dan peran civil society dalam kehidupan bernegara.
Representasi Negara dalam BEM FIB UNDIP 2024
Perlahan namun pasti, BEM FIB 2024 melangkah mengikuti bagaimana negara dijalankan saat ini, otoritarian. Meski belum genap 100 hari bekerja, aroma nepotisme dan penyalahgunaan kekuasaan sudah begitu terasa. Ini dibuktikan dari banyaknya anggota timses yang diboyong langsung ke dalam Dewan Inspektorat Kabinet BEM FIB 2024.
Kualifikasi dan rekam jejak para Dewan Inspektorat juga tidak ada yang mentereng. Bahkan Affiq Maliq (Ketua BEM FIB 2024) mengaku memilih beberapa dewan inspektorat secara serampangan dan asal-asalan sebab tidak ada pilihan lain. Selain tidak memiliki indikator rekrutmen yang terukur, Ketua BEM satu ini jelas tidak memiliki kemampuan konsolidasi massa yang bagus atau bisa jadi Kabinet BEM FIB 2024 sudah kehilangan legitimasi dan simpati dari konstituennya sedari awal.
Ambil contoh penunjukan Bintang Rizki Arifin sebagai Kepala Dewan Inspektorat BEM FIB 2024. Bintang adalah orang yang sama, yang bertanggung jawab atas gagalnya penyelenggaraan Mahakarya 2022. Acaranya berjalan sampai akhir tetapi hutang-hutangnya belum juga dibayarkan sampai saat ini. Di tengah kekisruhan akan tagihan hutang Mahakarya 2022, Bintang dengan santainya mendaftarkan diri sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Bahasa Inggris (EDSA UNDIP) 2023. Untungnya, Bintang gagal bersinar ketika itu.
Selang setahun setelah gagalnya Bintang menjadi Ketua EDSA, namanya kembali menjadi sorotan saat membantu Affiq Malik menang dalam Pemira FIB Undip 2023. Ia lantas dipilih menjadi Kepala Dewan Inspektorat, sebuah jabatan krusial yang memerlukan integritas dan tanggung jawab yang besar, dan Bintang rasa-rasanya belum pantas di tahap ini. Dosa dan beban moral yang belum selesai sebagai Ketua Panitia Mahakarya 2022 seharusnya menjadi pengingat atas keputusan yang dibuatnya, bukan malah menerima tawaran tersebut hanya untuk memenuhi hasrat kekuasaannya. Meminjam istilah Bivitri Susanti dalam film Dirty Vote (2024), Bintang adalah contoh konkret dari pejabat bermental culas dan tidak tahu malu.
Kembali ke soal nepotisme yang dilakukan oleh Ketua BEM FIB 2024. Nepotisme dan Affiq Malik bagaikan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Meski harus diakui, tekad dan ambisinya menjadi seorang pemimpin sangatlah besar, namun upaya menuju ke arah sana sangat kotor dan menjijikkan. Sebagai contoh, partisipasinya dalam Training Legislatif Undip (TLU) 2023 melalui delegasi UKM Taekwondo. Padahal, di UKM tersebut tidak ada nama Affiq Malik sebagai pengurus.
Pertanyaannya, surat izin delegasi ini ia dapatkan dari mana? Apa mungkin izin tersebut tiba-tiba datang kepadanya? Apakah memang memungkinkan non pengurus atau sekurang-kurangnya anggota baru UKM bisa dengan mudahkan mendapat surat izin delegasi mengikuti kaderisasi tingkat universitas? Tentu, praktik curang dan main mata ini tidak hanya dilakukan oleh satu-dua orang. Para legislator, panitia, pimpinan UKM dan organisasi ekstra sangat mungkin terlibat dalam lobi-lobi haram pemberian izin pendelegasian ini.
Jika praktik ini terus-menerus terjadi, apa bedanya dengan Kaesang Pangarep, yang menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) setelah dua hari bergabung di partai itu?
Nepotisme Berkedok Prerogatif
Pada satu kesempatan, Affiq Malik bersikeras bahwa tindakan memilih para dewan inspektorat dan kepala bidang adalah hak prerogatifnya sebagai Ketua BEM FIB. Pertanyaannya selanjutnya, sejauh mana ia memahami hak prerogatif itu sendiri?
Anggap saja memilih dewan inspektorat dan kepala bidang sama halnya dengan presiden mengangkat para menteri di kabinetnya. Namun, apakah presiden benar-benar bekerja sendiri dalam menentukan menteri-menterinya? Ya, tentu tidak. Dalam banyak kesempatan, presiden menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menjaring calon menteri. Dua lembaga ini yang akan menelusuri rekam jejak calon menteri untuk mengantisipasi tindak pelanggaran hukum dan etik di kemudian hari.
Meski hak prerogatif ini melekat pada presiden tetapi mekanisme penggunaannya tidak dilakukan secara sembarangan demi menguntungkan kepentingan pribadi. Jika dalih hak prerogatif ini digunakan untuk menutupi kedok dan usaha menguntungkan pihak tertentu, apa bedanya dengan nepotisme zaman Orde Baru. Nepotisme berkedok hak prerogatif adalah praktik yang harus dilawan dan tidak boleh dinormalisasi. Selain merusak nilai demokrasi dan kerja pemerintahan, maraknya praktik nepotisme juga akan menimbulkan gejolak sosial yang serius.
Maka dari itu, pemimpin yang menggunakan hak prerogatif untuk mengangkat orang kepercayaan tanpa melihat rekam jejak, kapasitas, dan kapabilitas orang tersebut, haruslah kita waspadai. Jika setingkat presiden saja masih bisa melakukan praktik curang ini, apa kabar dengan ketua BEM yang minim pengawasan dan oposisi.
Menyinggung sedikit soal minimnya pengawasan di tubuh BEM FIB. Sejatinya fungsi pengawasan ini dilaksanakan oleh Senat Mahasiswa FIB (SM FIB). Namun pada praktiknya, tidak banyak yang bisa dilakukan oleh SM FIB kepada BEM FIB. Lucunya lagi, pada kasus Muhammad Fikri Putra, ia secara ajaib bisa diterima di dua organisasi beda fungsi ini. Pada tanggal 9 Februari, Fikri diterima menjadi Staf Ahli Komisi 4 SM FIB Undip 2024. Tiga hari berselang atau tanggal 12 Februari, ia juga diterima sebagai Staf Muda Biro Kantor Media dan Informasi (KMI) BEM FIB Undip 2024.
Coba bayangkan, ada satu orang yang bertugas menjalankan peraturan (eksekutif) tetapi di sisi lain, ia juga harus membuat serta mengawasi peraturan tersebut (legislatif). Dengan kata lain, ia mengawasi dirinya sendiri atas produk peraturan yang dibuatnya serta bertanggung jawab untuk menjalankan peraturan tersebut kepada seluruh konstituennya. Sekurang-kurangnya seperti itu gambaran tugas yang diemban oleh Fikri sebagai anggota SM FIB sekaligus BEM FIB Undip 2024. Rumit dan tidak pernah ada.
Tentu, kasus Fikri ini tidak mungkin terjadi jika Ketua BEM FIB yang memiliki hak prerogatif untuk menyeleksi dan meloloskan para anggotanya paham dengan konsep pemisahan kekuasaan. Sepertinya tidak perlu sampai semester 6 dan mengikuti TLU untuk mengerti konsep ini, rasa-rasanya anak SMA juga sudah paham dengan konsep trias politica ala Montesquieu. Mungkin Affiq Malik sebenarnya paham akan konsep ini tetapi lupa dalam praktiknya. Mungkin juga Affiq Malik sebenarnya mengetahui rekam jejak Bintang tetapi pura-pura lupa dan amnesia sehingga terus diloloskan atau bisa jadi bukan hanya Bintang yang tidak cukup memiliki integritas dan tanggung jawab, tetapi Affiq Malik juga.
Berhenti menormalisasi segala bentuk KKN di dalam politik kampus.
Pemilu 2024 mesti dijadikan refleksi dan momen perubahan bagi perbaikan kualitas demokrasi, tak terkecuali di ranah politik kampus. Semangat perlawanan terhadap praktik-praktik curang, nepotisme, pengangkangan konstitusi, dan upaya-upaya represif serta intimidatif harus terus dirawat dan diperluas jangkauannya. Dengan kesadaran demokrasi, hukum, dan HAM yang baik, masyarakat bisa menjadi alat penekan yang efektif bagi pemerintahan yang zalim.
Jika sebagian dari kita bisa begitu marah, kesal, geram, dan murka melihat berbagai kecurangan yang dilakukan pemerintah dan kubu 02 dalam memenangkan pasangan Prabowo-Gibran, mengapa kita tidak melakukan hal serupa di lingkungan kampus yang lebih kecil cakupan wilayahnya. Jangan karena pelaku kecurangan ini adalah teman atau satu anggota organisasi yang sama dengan kita, kita bersikap lunak dan menganggap hal tersebut bagian dari budaya yang telah lama dilakukan.
Mengharapkan sebuah perubahan melalui praktik nepotisme merupakan omong kosong terbesar dari seorang mahasiswa. Mengutip pernyataan Pramoedya Ananta Toer, seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan. Untuk itu, ketua BEM atau ketua organisasi mahasiswa yang melakukan nepotisme dalam kepemimpinannya, bukan hanya telah gagal menjadi pemimpin yang adil tetapi juga gagal menjadi seorang yang terpelajar.
Menormalisasi nepotisme hanya memberi kita bukti bahwa standar kecerdasan kita berada pada posisi paling rendah. – Marricy
Penulis: Raihan Immaduddin (Kontributor)
Editor: Juno