Resensi: BEFORE, NOW & THEN: Peran Perempuan dalam Gorong-Gorong Patriarki

Resensi Film

BEFORE, NOW & THEN: Peran Perempuan dalam Gorong-Gorong Patriarki

Informasi Film:

Judul Film : Before, Now & Then (Nana)

Distributor : Wild Bunch

Sutradara : Kamila Andini

Produser : Ifa Isfansyah, Gita Fara, Suma Adiwinata

Penulis : Ahda Imran berdasarkan buku berjudul ‘Jais Darga Namaku’

Durasi : 103 menit

Tanggal Rilis : 12 Februari 2022

 

Berlatarkan Indonesia pada tahun 1960-an, film ini terpusat pada peran perempuan di dalam sebuah keluarga. Perempuan yang pada masa itu digambarkan sangat patuh kepada suaminya, sopan dalam berpakaian, serta mengerjakan banyak hal di rumah setiap harinya, seperti menjadi ciri khas di dalam film karya Kamila Andini ini. 

Seperti pada tujuannya untuk menceritakan kisah tentang perempuan, lebih banyak karakter-karakter perempuan yang muncul daripada karakter laki-lakinya. Peran seorang suami di dalam film ini pun digambarkan penuh kesibukan hingga menyebabkan perannya di rumah sangat sedikit. 

Di dalam film ini muncul pula beragam watak perempuan, mulai dari karakter perempuan yang suportif, hingga karakter dengan penuh tipu muslihat. Hal yang paling menarik pada film ini adalah bagaimana gambaran perempuan memperlakukan perempuan lainnya yang hidup bersama-sama dalam paradigma patriarki.

Nana (Happy Salma) menjadi istri kedua dari Lurah Darga (Arswendy Bening Swara) yang kesibukannya di rumah digambarkan begitu repetitif, seperti mewarnai rambut suaminya, menjaga keempat anaknya, mengurus bisnis kebun milik Darga, dan kegiatan lain yang lazim untuk dilakukan seorang perempuan pada masa itu. 

Suatu ketika, Lurah Darga terduga memiliki istri simpanan yang bernama Ino (Laura Basuki). Mulai dari ditemukannya selendang merah di kamar Darga, tusuk konde yang serupa, hingga parsel yang dikirim langsung oleh Ino. 

Pada awalnya, Nana dengan penuh sabar mengamati dan memerhatikan setiap teka-teki yang mengarahkannya kepada satu-satunya penjual daging di pasar, yakni Ino. Namun, yang dirasakan Nana bukanlah amarah dan kebencian untuk suaminya, ia justru mendekatkan diri dengan Ino sebagaimana Ino berusaha berteman dengan Nana. 

Karakter Ino yang lebih bebas menarik tangan Nana untuk turut serta merasakan betapa luas dan segarnya dunia ketika seorang istri tidak perlu terus-menerus bekerja di dalam rumah. Ino juga menjadi simbol kemerdekaan bagi perempuan yang tinggal di dalam gorong-gorong patriarki, pada film ini ditandai oleh karakter Nana.

Di sepanjang film, Nana yang sudah tahu bahwa suaminya memiliki selingkuhan memilih untuk menutupi aib tersebut rapat-rapat. Nana tidak meminta perceraian ataupun memuntahkan kesakitan dalam hatinya. Karakter Nana di sini tampak lemah dan tak berdaya. Namun, berteman dengan Ino membantu Nana menemukan kemerdekaan bagi dirinya sendiri, serta membuka matanya lebar-lebar atas apa yang sebenarnya ia inginkan. 

“Perempuan menyimpan rahasia di belakang rambutnya,” begitulah ungkap Nana ketika Dais (Chempa Putri), salah satu anak perempuannya, bertanya tentang kebiasaan rambut Nana yang digulung begitu cantik. Dengan sekali dengar pun, sudah jelas ungkapan tersebut menjadi simbol bahwa Nana menyimpan rahasia suaminya lekat-lekat. 

Mendekati akhir film, Raden Icang (Ibnu Jamil) suami pertama Nana yang hilang dan selalu muncul dalam mimpi-mimpi Nana sepanjang hidupnya, menampakkan diri dan berhasil merebut kembali cinta Nana yang tersisa. Seiring berjalannya waktu, mereka pun menjalin hubungan gelap di belakang Darga. Namun, Nana yang terus menerus dihantui rasa bersalah akhirnya mengaku bahwa Raden Icang telah kembali dan ia ingin merajut cinta lamanya bersama Raden Icang. 

Di sinilah respons yang amat bertolak-belakang muncul. Darga segera menceraikan Nana, ditambah lagi mengumumkannya di depan sanak keluarga besar Darga. Hal itu menyebabkan beragam komentar dan hinaan dilontarkan untuk Nana. Nana dianggap tidak bersyukur telah hidup sebagai seorang istri lurah yang kaya, sekaligus dianggap sebagai perempuan hina. Keempat anaknya diminta untuk memilih dengan siapa mereka akan tinggal, tak sedikit pun harta tersisa untuk Nana kecuali pakaiannya, Nana pun dikucilkan, dan diusir dari rumah Darga.

Ketika begitu dekat dengan kehidupan sebagaimana yang perempuan alami, film ini tentu saja menarik perhatian saya. Mulai dari film ini yang queerbaiting, hingga puncaknya pada ketidakadilan yang dialami karakter Nana di dalamnya. Kemerdekaan yang diimpikan oleh Nana seperti buah simalakama, jika ia merdeka maka ia mati, jika sebaliknya pun ia tidak bahagia. Sangat jelas digambarkan bagaimana kontrasnya image perempuan dan laki-laki yang tumpang tindih di dalam film ini.

Sejak awal ketika adegan Nana mewarnai rambut Darga sudah menggetarkan hati saya bahwa tentu saja Nana digambarkan sebagai istri yang penurut dan sopan. Ia tak segan mewarnai rambut suaminya, kemudian melanjutkan kegiatannya sebagai seorang ibu, dan juga obrolan bisnis perkebunan yang Nana sendiri adalah pengurusnya. Bagaimana mungkin seorang istri harus melakukan rentetan kegiatan tersebut di sepanjang hidupnya? 

Nana yang telah berani mengakui hubungan gelapnya dengan Raden Icang pun tetap menjadi bulan-bulanan perempuan lain. Sedangkan, Darga yang sudah menikahi Ino secara diam-diam berlagak seperti seorang korban yang dikhianati istri tercintanya. Di sini lah adegan yang begitu kontras terasa ketika dihubungkan dengan komentar para perempuan pada adegan lain yang mengatakan bahwa “Wajar saja seorang suami tidak betah tinggal di rumah ketika sang istri tidak pandai merawat diri dan merawat suami.”

Bagian-bagian dari film ini menunjukkan bahwa mereka mewajarkan seorang laki-laki berselingkuh dengan perempuan lain, namun mencaci-maki ketika seorang perempuan yang melakukannya. Lantas, yang ada di dalam benak saya, apa bedanya? Keduanya berkhianat, keduanya berdosa, lantas apa bedanya jika mereka perempuan dan mereka laki-laki? 

Di sinilah gambaran gender inequality muncul di dalam film. Tak hanya membantu penonton untuk mengerti kehidupan pada masa itu, film ini juga mengajarkan bagaimana peran perempuan dan laki-laki tidak seimbang. Ketidakadilan gender yang muncul, hingga kehidupan patriarki yang digambarkan begitu masif dampaknya.

Sangat menyenangkan bagi saya menarik kembali film ini ke belakang dan berusaha mempelajari satu per satu adegan. Kemudian, saya dapat menemukan bagaimana karakter perempuan di dalam film ini amat beragam. Di sinilah bukti bahwa patriarki tidak hanya memenangkan laki-laki, melainkan pula mengubah bagaimana cara pandang dan pola pikir perempuan terhadap sesama perempuan. Tak selalu perempuan akan mendukung sesamanya. Tak sedikit pula mereka yang memilih untuk setia pada hukum-hukum patriarki dan menjatuhkan perempuan lain.

Film yang dibawakan dalam bahasa Sunda ini dikemas begitu apik lantaran plotnya yang bercampur namun terpusat pada satu karakter saja, yakni Nana. Pada awalnya mungkin akan membosankan karena amat lambat alurnya menuju konflik, namun mendekati akhir akan disuguhi cerita yang begitu cepat dan memuaskan.

Sebagai poin tambahan, semua lagu yang dipakai sebagai soundtrack terdengar indah, dan pakaian yang dikenakan karakternya pun amat cantik. Namun, penggunaan bahasa Sunda tentu saja mengharuskan penonton yang tidak paham menyalakan subtitle supaya dapat menikmati filmnya dengan baik. 

Film arahan Kamila Andini yang satu ini sukses menyadarkan saya bahwa sudah banyak yang sadar mengenai budaya patriarki yang amat merugikan perempuan. Menonton film ini mungkin butuh beberapa waktu untuk mengerti keseluruhannya, tapi untuk mengerti duka perempuan yang hidup dalam gorong-gorong patriarki, penonton hanya perlu kesadaran dan cinta. 

 

Penulis: Marricy
Editor: Juno

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top