Narasi dalam buku-buku sains dan sejarah dunia seringkali menuliskan bahwa penemuan-penemuan terbaru di bidang ilmu pengetahuan lahir dari buah pemikiran seorang ilmuwan yang sangat jenius. Laksana seorang utusan tuhan yang menerima wahyu dari langit, seperti itulah perumpamaan bagaimana seorang ilmuwan dalam menghasilkan teori atau temuannya. Tapi apakah benar bahwa penemuan sains yang hebat dan bermanfaat itu lahir dari sebuah ‘ruang hampa’ laboratorium? Yang mana menjadi tempat para ilmuwan berkhalwat?
Boris Hessen, seorang fisikawan Uni Soviet secara tegas menolak narasi-narasi yang umum ditulis dalam buku-buku sains dan sejarah. Di hadapan para ilmuwan dunia yang terkumpul dalam Kongres Internasional Kedua Sejarah Ilmu dan Teknologi di London pada 1931, ia secara terbuka menawarkan perspektif baru dalam membaca sejarah ilmu pengetahuan, yaitu dengan perspektif eksternalisme.
Antara Internalisme dan Eksternalisme
Pada awalnya, para ilmuwan hanya melihat sejarah ilmu pengetahuan melalui kacamata perspektif internalisme. Perspektif ini menekankan bahwa kemunculan dan perkembangan sebuah gagasan keilmuan semata-mata hanyalah hasil dialog dan kritik atas gagasan-gagasan sebelumnya. Perspektif seperti ini selalu mengandaikan perkembangan sains sebatas rekonstruksi atau kritik internal dari para ilmuwan dengan merekonstruksi rasionalitas dalam lingkup sejarah ilmu itu sendiri. Jika kita membaca sejarah dengan perspektif internalisme maka narasi yang muncul hanya kisah-kisah orang cerdas.
Boris Hessen sebagai seorang fisikawan marxis mencoba untuk memberikan perspektif alternatif melalui perspektif eksternalisme sebagai upaya untuk mengkritik perspektif internalisme. Hessen berpandangan bahwa perspektif internalisme selalu menyatakan kalau sains dan ilmu pengetahuan merupakan hal yang terpisah dan berdiri bebas dari dinamika kehidupan masyarakat luas.
Pada Kongres Internasional Kedua Sejarah Ilmu dan Teknologi, Boris Hessen merupakan anggota delegasi Uni Soviet bersama dengan para ilmuwan lainnya seperti Ernest Kolman dan Abram Ioffe. Delegasi ini dipimpin oleh Nikolai Bukharin.
Para ilmuwan delegasi Uni Soviet dalam kongres bergengsi itu secara umum memberikan pernyataan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari kondisi di luar dunia akademis atau penelitian. Mereka menyadari bahwa faktor-faktor seperti ekonomi, politik, dan struktur sosial memiliki dampak yang signifikan dan menjadi prasyarat bagi kemajuan ilmiah.
Newton, Gravitasi, dan Revolusi Borjuis Inggris
Boris Hessen dalam acara penting itu mempresentasikan kajian tentang fisika Newton dalam sebuah makalah yang berjudul “The Social and Economic Roots of Newton’s Principia.” Makalah ini kemudian menjadi sorotan masyarakat internasional karena pada makalah ini Hessen berpendapat bahwa penemuan ilmiah Newton tidaklah muncul secara tiba-tiba dari kekosongan. Hessen menolak narasi penemuan teori gravitasi yang sering digambarkan dalam karikatur tentang Newton yang duduk di bawah pohon apel, lalu tiba-tiba tercipta konsep gravitasi. Bagi Hessen, kita perlu memahami konteks sosial dan ekonomi kehidupan Newton yang terjadi pada masa transisi kekuatan kelas borjuis.
Menurut Hessen, zaman peralihan di Inggris bermula ketika kelas borjuis — yang sebelumnya merupakan kaum pedagang kecil atau produsen kecil— sedang berjuang melawan kekuasaan bangsawan feodal. Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica (1687) karya Newton terbit pada periode revolusi borjuis Inggris yang berlangsung antara tahun 1649 hingga 1688. Saat itu borjuis revolusioner berusaha mereformasi negara, membebaskan desa-desa manorial dari isolasi mereka, mempromosikan pertumbuhan perkotaan, dan membuat para petani semakin bergantung pada produksi dan uang dari kota-kota.
Kekuasaan feodal para bangsawan yang telah menghisap masyarakat pedesaan Inggris melalui kepemilikan tanah sedang runtuh perlahan, digantikan oleh kelas yang lahir dari kalangan pedagang kecil di perkotaan dan tengah menumpuk kekuatan ekonomi baru, yaitu kelas borjuis.
Dampak dari perubahan ekonomi menciptakan kebutuhan baru, termasuk permintaan akan sumber daya ekonomi baru di luar tanah-tanah feodal. Hessen menunjukkan bahwa tuntutan ekonomi ini memunculkan serangkaian masalah teknis. Kebutuhan akan transportasi yang lebih baik meningkat, industri baru bermunculan, tetapi bersamaan dengan itu perang-perang yang memakan banyak biaya juga terjadi.
Perubahan Sosial-Ekonomi dan Kemajuan Ilmu Pengetahuan
Dalam menghadapi perubahan zaman yang baru, fokus utama para pedagang kelas menengah yang semakin dominan adalah bagaimana meningkatkan efisiensi perdagangan mereka. Mereka tertarik pada inovasi yang dapat meningkatkan kapasitas muatan kapal serta kecepatannya tanpa mengorbankan stabilitasnya.
Meningkatnya tuntutan akan efisiensi perdagangan ini mencetuskan minat dalam studi hidrostatika dan hidrodinamika yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas muatan dan kualitas terapung kapal. Di samping itu, upaya untuk meningkatkan navigasi kapal juga menjadi fokus, mendorong pengembangan perangkat navigasi yang lebih canggih. Semua ini mencerminkan upaya mereka untuk memanfaatkan kemajuan ilmu dan teknologi, misalnya juga pada pengembangan kronometer yang berhubungan dengan studi mekanika untuk meningkatkan efisiensi perdagangan.
Dalam menghadapi tantangan baru dalam pertambangan dan pengembangan senjata, kelas borjuis juga menghadapi kendala dalam mendapatkan solusi yang tepat. Mereka tidak memiliki pengetahuan teknis yang diperlukan dan tidak bisa mengandalkan universitas yang telah dikendalikan oleh gereja. Universitas pada masa itu lebih cenderung mengajarkan ilmu yang terbatas dan disaring oleh ajaran gereja. Namun, kebutuhan akan pengetahuan dalam fisika dan matematika semakin terdesak oleh perkembangan ekonomi. Oleh karena itu, kelas borjuis memutuskan untuk membangun komunitas ilmiah di luar lingkungan universitas yang dapat memperjuangkan kemajuan ilmu pengetahuan.
Komunitas ilmiah yang lahir dalam rangka menghindari pengaruh gereja di universitas adalah Royal Society di London, di mana para anggotanya, termasuk Newton, bekerja sama untuk mendorong perkembangan ilmu pengetahuan. Karya Newton, seperti “Principia,” juga lahir dari komunitas ini, sebuah karya yang membuka jalan bagi pemahaman baru dalam mekanika klasik, yang pada akhirnya membantu memecahkan masalah teknis yang dihadapi dalam periode pasca-feodal. Ini menunjukkan hubungan yang erat antara perkembangan ekonomi, teknologi, dan ilmu pengetahuan, di mana kemajuan dalam satu bidang mendorong kemajuan dalam bidang lainnya.
Hessen, sebagai sejarawan ilmu, tidak hanya mencoba menjelaskan konteks historis di balik kemunculan Mekanika Newton, tetapi juga menantang pandangan bahwa ilmu pengetahuan (terutama ilmu eksak) hanya merupakan hasil dari pemikiran jenius individu. Sebaliknya, ia menyoroti hubungan yang kompleks antara perkembangan ilmu pengetahuan dan dinamika sosial, terutama dalam konteks masyarakat kelas borjuis Inggris.
Dalam hal ini, Hessen tidak hanya menunjukkan bahwa pemikiran Newton tidak muncul dari sesuatu yang vakum atau hampa, tetapi juga bahwa bahkan bidang ilmu yang tampak terisolasi dari ekonomi dan politik sekalipun, seperti mekanika, sebenarnya dipengaruhi oleh tekanan dan kebutuhan masyarakat pada saat itu. Ini merupakan tantangan terhadap pandangan yang menganggap ilmu pengetahuan sebagai entitas yang sepenuhnya otonom dari konteks sosialnya.
Pandangan Hessen mengenai sejarah Newton dan penemuan ilmiahnya menjadi bantahan bagi mereka yang selalu menilai bahwa kemajuan ilmu pengetahuan adalah hasil dari kejeniusan seseorang saja. Hessen dan para ilmuwan Soviet lainnya dengan jelas memberikan kesimpulan pada kita bahwa adanya perkembangan sosial dan ekonomi menuntut adanya kemajuan dan perkembangan teknologi yang pada akhirnya mendorong lahirnya kajian teoretis.
Referensi:
Hessen, B., & Grossmann, H. (2009). The Social and Economic Roots of The Scientific Revolution. Boston: Springer.
Penulis: Muhamad Farhan Prabulaksono
Editor: Indri