Marak Kasus Kekerasan Seksual, Kanal Aduan Kian Masif di Lingkungan Undip

Fenomena pelecehan ataupun kekerasan seksual masih menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi Universitas Diponegoro (Undip). Maraknya kasus pelecehan seksual di lingkungan institut pendidikan, seperti Undip tentu menjadi catatan besar tidak hanya bagi stakeholder, seperti  rektor ataupun dekan tiap fakultas, tetapi seluruh elemen yang ada di Undip. 

Menurut survei yang dilakukan oleh Kementerian, Kebudayaan Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2019, kampus menempati urutan ketiga lokasi terjadi kekerasan seksual (15%), setelah jalanan (33%) dan transportasi umum (19%).

Masih menjadi ingatan bahwa platform X sempat diramaikan dengan utas seorang mahasiswi yang menjadi korban kasus kekerasan seksual yang dilakukan sesama mahasiswa di lingkungan Undip. Dengan munculnya kasus tersebut, perhatian terhadap kasus-kasus pelecehan seksual semakin meningkat. Tak hanya antara mahasiswa dengan mahasiswa, pelecehan seksual antara dosen dengan mahasiswa juga kerap terjadi.

Dilansir dari artikel berita tirto.id yang terbit pada 14 Maret 2019, kasus pelecehan seksual terjadi pada seorang mahasiswa akhir Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Undip di lingkungan kampus. Kampus yang seharusnya menjadi tempat yang aman dari kekerasan dalam bentuk apapun dan bagi siapapun, justru menjadi tempat yang dipenuhi rasa was-was. Mirisnya, dosen yang menjadi pelaku kekerasan seksual yang diberitakan tirto.id hingga kini masih aktif menjadi pengajar meskipun intensitas mengajarnya tidak seperti dosen lainnya.

 Lemahnya penanganan kasus khususnya di lingkungan kampus karena pelaku merupakan orang terdekat, seperti dosen, sesama mahasiswa, atau staf kampus sehingga korban enggan melapor. Situasi ini ditambah dengan minimnya akses korban untuk mendapatkan pemulihan, seperti penanganan psikologis.

Untuk merespons isu-isu kasus pelecehan maupun kekerasan seksual yang marak di lingkungan kampus, Undip menerbitkan Peraturan Rektor Universitas Diponegoro Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pedoman Pencegahan dan Penangan Kekerasan Seksual di Lingkungan Universitas Diponegoro. Bentuk realisasi dari adanya peraturan rektor ini adalah dibentuknya Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Undip (SATGAS PPKS Undip).  

Sumber Gambar: Pinterest

Selain tingkat universitas, beberapa fakultas di Undip juga membentuk satuan tugas (satgas) yang menjadi wadah pengaduan terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. 

Salah satu satgas tingkat fakultas yang gencar melakukan kampanye terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual adalah Bersua-Bersuara. Wadah kanal pengaduan di bawah naungan Bidang Pemberdayaan Perempuan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum (BEM FH). Bentuk kampanye dari Bersua-Bersuara sendiri berupa roadshow yang dilakukan di tiap fakultas yang ada di Undip. Pelaksanaan kegiatan ini berangkat dari keresahan akan maraknya kasus pelecehan maupun kekerasan seksual di lingkungan kampus. Pada kesempatan kali ini (Kamis, 30/05/24), Bersua-Bersuara menyambangi Fakultas Ilmu Budaya dan berkolaborasi dengan Ruang Aman FIB, wadah kanal pengaduan kekerasan seksual naungan Bidang Kesejahteraan Mahasiswa (Kesma) BEM FIB. 

Rachel Catherine, penanggungjawab Bersua-Bersuara, menjelaskan bahwa kegiatan roadshow di tiap fakultas merupakan respons akan lambannya Undip dalam penanganan kasus kekerasan seksual serta maraknya kasus kekerasan seksual belakangan ini.

“Banyak kasus kekerasan seksual bukan karena pantas ditindaklanjuti, tapi karena rame, karena udah viral baru ditindak. Sebelum viral tindak lanjutnya lama dan kekerasan seksual di Undip ditanganinya lumayan lama sama satgas itu sendiri, yaitu garda terdepan di Undip,” ungkapnya kepada Tim Hayamwuruk.

Diterbitkannya Peraturan Rektor Universitas Diponegoro Nomor 13 Tahun 2022 yang melahirkan Satgas PPKS  sebagai upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual menurut Rachel sendiri belum bekerja secara maksimal. Rachel juga menanyakan eksistensi dari Satgas PPKS yang seharusnya hadir dan menjadi garda terdepan dalam isu kekerasan seksual di lingkungan kampus. Ia merasa Satgas PPKS juga minim melakukan pencerdasan tentang kekerasan seksual sehingga masih banyak mahasiswa Undip yang belum mendapatkan akses terkait apa itu kekerasan seksual serta bagaimana mencegahnya dan bentuk menanganinya. 

Jika dibandingkan dengan penanganan tingkat universitas, Rachel merasa penanganan di fakultasnya (Fakultas Hukum), lebih terbuka dan turut mendukung adanya kanal aduan macam Bersua-Bersuara.

“Wadek (wakil dekan) dan Dekan kami bersedia memberikan bantuan bagi Bersua-bersuara, misal membutuhkan dana ataupun bantuan menjadi jembatan lembaga hukum atau lain sebagainya. Dewan pimpinan FH sangat bersedia dan amat terbuka,” jelasnya. 

Sejak dibentuk pada tahun 2021, Bersua-bersuara awalnya hanya difokuskan pada penanganan kasus kekerasan maupun pelecehan seksual di Fakultas Hukum. Namun, melihat banyaknya kasus di luar lingkungan Fakultas Hukum, Bersua-Bersuara hadir tidak hanya mencakup lingkup fakultas, tetapi juga universitas. 

Tidak hanya ada di tingkat fakultas, wadah aduan serupa turut hadir di ranah program studi, seperti Wadah Aduan Antropologi Sosial (Wadahaduan.antro) yang bertujuan sebagai ruang aduan dan bantuan advokasi apabila ada mahasiswa/i Antropologi Sosial Undip yang mengalami kekerasan maupun pelecehan seksual khususnya di lingkungan Undip. Wadah yang belum lama dibentuk ini merupakan bentuk respons atas kasus kekerasan seksual yang melibatkan mahasiswa dari program studi (prodi) Antropologi Sosial, Undip. Wadahaduan.antro menyediakan layanan pengaduan berupa bit.ly yang disediakan di bio Instagram mereka @wadahaduan.antro atau langsung melalui Direct Message (DM).

Terkait kinerja dari wadah aduan tingkat prodi ini, Tanazza Chinta Ariestya, mahasiswi Antropologi Sosial 2022, mengungkapkan bahwa wadah yang dinaungi oleh prodinya lebih masif memberikan solusi atas ramainya kasus kekerasan seksual yang menimpa prodinya. Ia juga menjelaskan bahwa satgas yang dibentuk atas inisiasi mahasiswa dan dosen itu cepat dalam menindaklanjuti pelaku dan memberikan penanganan kepada para korban.

“Dari anak antrop (antropologi) bikin forum khusus kolaborasi dengan dosen yang memang fokus di gender seksualitas, emang bikin forum bikin wadah aduan, nyari korban satu-satu. Terus juga ngasih sanksi berat buat pelaku. Aku denger-denger sudah sampai skripsi dibekuin, menurut aku yang lebih masif solusinya dari prodi aku,” kata Tana kepada Tim Hayamwuruk. 

Ketika ditanya terkait peran pihak fakultas sendiri dalam penanganan kasus kekerasan seksual, Tanazza merasa kurang tahu  karena minimnya informasi yang diberikan dari pihak FIB.

“Kalau dari pandangan aku, dari FIB jujur malah kurang tahu, kurang kabar, aku dari bidang Kesma (Himpunan), tapi cuma tahu diskusi Ruang Aman,” pungkasnya.

Ditemui di lokasi yang sama, Aliya, Ketua Bidang Kesma 2024, yang bertanggung jawab atas wadah Ruang Aman FIB, menyatakan bahwa latar belakang fakultasnya menjadi salah satu kendala dalam melakukan tindakan penanganan kekerasan maupun pelecehan seksual khususnya di FIB.

“Ruang Aman nggak bisa gerak sendiri, kalau misal gerak sendiri, sama saja Ruang Aman ga ada penyelesaian karena kita bukan mahasiswa Psikologi, bukan mahasiswa Hukum jadi kita nggak punya standing point untuk bergerak sendiri,” jelasnya.

Terkait eksistensi Ruang Aman FIB yang muncul baru-baru ini, Aliya mengungkapkan bahwa internal Ruang Aman FIB tengah berfokus pada persiapan serta pencerdasan kepada anggota serta menjalin kerja sama bersama pihak eksternal. 

“Kenapa baru di launching sekarang karena di awal kita masih fokus ke persiapan dan pencerdasan ke anggotanya sama untuk fokus menggaet mitra,” ujar Aliya kepada Tim Hayamwuruk.

Aliya juga menambahkan, untuk langkah awal Ruang Aman FIB berfokus pada menjalin mitra baik ranah universitas maupun regional Kota Semarang sebagai upaya membantu menguatkan Ruang Aman FIB.

“Awal periode kita emang fokus sowan ke mitra, misal ke UPTD PPA (Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak), DP3AKAB (Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana) Jateng (Jawa Tengah), Kota Semarang, dan itu memerlukan waktu yang lama,” jelas Aliya kepada Tim Hayamwuruk. 

Harapan Aliya sebagai bagian dari kanal pengaduan kekerasan maupun pelecehan seksual di tingkat fakultas, adanya Ruang Aman ini keresahan mahasiswa bisa diselesaikan bersama. Ia tidak ingin ada lagi kasus yang tidak terselesaikan. Aliya juga berharap Ruang Aman juga bisa menjadi wadah untuk menciptakan lingkungan kampus yang aman, bukan menjadi tempat yang menjadi penuh ancaman, tetapi menjadi tempat perlindungan. 

Penulis : Fajri

Reporter : Fajri, Diyah, Zul

Editor : Ameilia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top