Informasi Film:
Judul Film : Alangkah Lucunya (Negeri Ini) / How Funny (This Country Is)
Produksi : Demi Gisela Citra Sinema
Sutradara : Deddy Mizwar
Produser : Zairin Zain
Penulis : Musfar Yasin
Durasi : 105 menit
Tanggal Rilis : 15 April 2010
Menarik apabila sebuah film diciptakan sebagai media yang berisi kritik kepada pemerintahan, khususnya untuk negeri ini, Indonesia. Di balik huru-hara rusaknya nilai-nilai pendidikan yang dilecehkan, film Alangkah Lucunya (Negeri Ini) hadir dengan kisah yang sederhana namun tetap esensial. Di dalam film ini, nilai-nilai pendidikan dan agama Islam diperkuat melalui setiap hubungannya dengan karakter tokoh.
Di awal film, muncul dua figur ayah yang memiliki pandangan berbeda tentang pendidikan. Pendidikan adalah penting atau pendidikan tidaklah penting disampaikan dengan eksplisit melalui dua karakter, Haji Sarbini (Jaja Mihardja) dan Pak Makbul (Deddy Mizwar), melalui dialog keduanya.
Bagi Pak Makbul, pendidikan amatlah penting disertai dengan nilai-nilai agamis yang kuat, sedangkan bagi Haji Sarbini, pendidikan tidaklah penting. Ditemani dengan dua karakter yang merepresentasikan hasil dari pendidikan tinggi, Muluk (Reza Rahardian) adalah sosok terpelajar yang bersikeras mencari pekerjaan. Di sisi lain, Samsul (Asrul Dahlan) meninggalkan gelar pendidikannya dengan bermain judi bersama pengangguran di kampung mereka.
Cerita berlalu begitu saja dengan perdebatan penting kah sebenarnya pendidikan itu dikejar dan bagaimana hasil dari pendidikan tinggi yang hanya melahirkan pengangguran-pengangguran setiap waktunya?
Hal yang menarik dari film ini adalah, usaha Muluk yang ingin mengubah kelompok pencopet menjadi pengasong di jalanan. Muluk marah ketika ia mendapati seorang pencopet di pasar. Ia merasa terhina karena sulitnya mencari nafkah sedangkan para pencopet dengan mudahnya mengambil dompet milik orang lain.
Muluk yang frustasi tidak mendapat pekerjaan sesuai dengan gelarnya, yakni sarjana manajemen, mendekati para pencopet dan menyampaikan misi dan visinya untuk mengubah mereka menjadi pengasong. Pengasong direpresentasikan sebagai pekerjaan halal yang lebih baik daripada menjadi pencopet. Tak sampai di situ, para pencopet juga dididik dengan pelajaran umum dan agama Islam dengan bantuan Samsul dan Pipit (Tika Bravani) untuk menjadi pendidik mereka.
“Tapi korupsi boleh, kan?!” ucap Komet (Angga Putra), salah satu pencopet yang menunjuk gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai tempat di mana ia dapat mencuri lebih banyak daripada sekadar menjadi pencopet di pasar.
Satu adegan lagi yang menarik, ketika Muluk, Samsul, dan Pipit, mengajak para pencopet pergi ke gedung DPR, Muluk mengatakan bahwa di dalam gedung tersebut adalah tempat bagi orang-orang ‘terhormat’ dan ‘berpendidikan’. Namun, ironisnya, dijelaskan pula di dalam film bahwa gedung tersebut adalah sarang koruptor.
Bukankah seharusnya pendidikan mengajarkan mereka apa yang baik dan salah? Lalu mengapa masih terlahir jiwa-jiwa manusia pencuri uang rakyat? Bukankah hal tersebut melecehkan nilai dari pendidikan itu sendiri? Film ini menampilkan dengan jelas bagaimana korupsi dan mencopet adalah kejahatan yang setara.
Pendidikan dalam film ini menjadi media meraih kehidupan yang lebih baik dan lebih bermartabat. Namun, pendidikan tanpa nilai-nilai agama hanyalah seperti sebuah tong kosong. Nilai-nilai pendidikan dan agama disandingkan bersama agar melahirkan jiwa yang terhormat dan bermoral.
Dengan cinematography yang sederhana, film ini berhasil memperoleh penghargaan Citra sebagai musik terbaik, penata suara terbaik, dan penulis cerita terbaik. Selain cinematography-nya yang sederhana. Secara keseluruhan setiap adegannya dikemas amat sederhana dan tidak muluk-muluk. Alurnya terbilang monoton, khususnya tiap adegan Pak Makbul dan Haji Sarbini berbincang. Ditambah dengan kisah yang apa adanya, film ini masuk ke dalam kategori film pasaran dan mudah ditiru.
Bergenre komedi-satir, film ini berhasil menyisipkan sindiran-sindiran untuk pemerintahan dengan amat baik. Selain itu, dalam film ini saya menangkap kekosongan peran pemerintah dalam memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar seperti yang tertulis pada Undang-Undang Dasar 1945 pasal 4 ayat (1). Negara mengabaikan mereka yang miskin dan terlantar, sedangkan pejabatnya berbondong-bondong melakukan kejahatan; korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Meski begitu, pesan-pesan dalam film ini tidak jauh dari terhormatnya nilai pendidikan dan nilai agama. Keduanya harus diselaraskan agar melahirkan sosok-sosok yang benar-benar terhormat dan berpendidikan sebagaimana mestinya.
Penulis: Marricy
Editor: Farhan