Goodbye Eri : Mahakarya Fujimoto dengan Akhir Cerita yang Meledak

Sumber: amazon.com

Komik Goodbye Eri (Sayonara no Eri) merupakan komik one shot karya Tatsuki Fujimoto yang rilis pada 11 April 2022. Diterbitkan oleh Shueisha, one shot ini memiliki 200 halaman. Sebelumnya Fujimoto pernah membuat komik serupa yang berjudul Look Back di tahun 2021.

Tatsuki Fujimoto dikenal sebagai komikus Jepang yang memiliki gaya unik dalam membuat sebuah cerita. Jika pernah membaca komik Fire Punch dan Chainsawman kalian akan paham bagaimana cara Fujimoto memasukkan elemen ‘absurd’ yang khas ke dalam komik-komik tersebut. Hal itu juga disematkan ke dalam komik one shot berjudul Goodbye Eri.

Goodbye Eri adalah komik tentang film, bisa dikatakan demikian bila dilihat dari alurnya yang berkutat pada bagaimana sang tokoh utama berusaha membuat film. Bukan itu saja, tema mayor tentang film juga dipengaruhi oleh latar belakang Fujimoto, sang kreator yang juga penggemar film.

Kegemaran Fujimoto terhadap dunia film bisa dilihat dari karya-karyanya yang kerap kali menambahkan elemen tentang film. Sebut saja tokoh Togata pada komik Fire Punch yang bertahan hidup di dunia apokaliptik dengan obsesinya terhadap film. Melalui karya terbarunya yang berjudul Goodbye Eri, Fujimoto seperti mengirimkan surat cintanya terhadap dunia film.

Naratologi dan Skema Cerita dalam Komik Goodbye Eri

Menderita penyakit yang mematikan, Ibu Yuta meminta anaknya untuk merekam hari-hari terakhir sebelum kematiannya. Hari demi hari berlalu, Yuta memutuskan untuk memformulasikan kisah hidupnya dengan sang ibu menjadi sebuah film. 

Reaksi tak terduga dari pemutaran filmnya di sekolah membuat Yuta terpuruk, sebelum akhirnya ia bertemu dengan gadis bernama Eri. Jatuh hati pada film Yuta, Eri memutuskan untuk membantu Yuta membuat film dan menghancurkan konstruksi film yang lama. Dengan demikian, Yuta dapat membuktikan pada teman-temannya bahwa film Yuta berkualitas.

Menuju akhir cerita dengan Yuta yang beranjak dewasa, ia merasa kurang puas dengan film buatannya bersama Eri. Cerita diakhiri dengan Yuta yang sudah puas dengan karya filmnya dan gedung yang meledak secara literal.

Sebuah Mahakarya dalam Intepretasi Pembaca

Akhir cerita yang mengaburkan fiksi dan fakta membuat pembaca bertanya-tanya, apa maksud dari gedung yang meledak? Apakah Eri benar-benar vampire? Fujimoto selaku kreator seperti memberikan remot kembali pada pembaca untuk menginterpretasikan cerita sesuai fantasi mereka.

Goodbye Eri memiliki alur cerita yang bagus dan tidak terduga. Bagaimana Fujimoto merumuskan ‘hadiah’ yang tiba-tiba muncul membuat Goodbye Eri memiliki kesan yang mendalam bagi pembaca. Dengan memberi elemen fantasi pada karyanya, Fujimoto membuat karya-karyanya susah dilupakan. Sama seperti Quentin Tarantino dengan kakinya, Fujimoto memiliki bumbu tersendiri dalam komiknya.

Film sebagai sebuah ikatan yang menghubungkan satu orang dengan yang lainya adalah salah satu klimaks utama dalam komik ini. Sama seperti Yuta dan ibunya, ikatan dalam komik tercipta dari kontradiktif antara kenyataan dan manipulasi gambar tentang ibu Yuta. Yuta hanya mengambil adegan di saat-saat yang indah saja dalam memotret citra ibunya. Hal tersebut dilakukan agar kenangan terakhir dia dan ibunya penuh dengan nuansa yang romantik, begitu juga dengan Eri yang digambarkan demikian. 

Rasa sedih, takut, dan rasa kehilangan  masih tetap ada, maka perlu suatu jawaban untuk mengakhirinya. Ledakan adalah jawaban Yuta di akhir komik ini, terlihat dia begitu puas seolah terlepas dari bebannya. Memasukkan ledakan dalam sebuah film tentang ibunya adalah ungkapan rasa Yuta terhadap emosi yang terpendam. 

Hal yang sama juga diterapkan untuk filmnya dengan Eri, dimana Yuta terus bertanya-tanya apa kekurangan dari film itu. Sampai akhirnya jawaban datang dari Eri sang vampir yang berkata bahwa rasa fantasi penting dalam sebuah film. Entah apakah pertemuan Yuta dan Eri di akhir cerita adalah nyata atau tidak, tapi menambahkah unsur ledakan adakah bagian dari cara Yuta melepaskan diri dari masa lalu. Usaha untuk move on dan terus bergerak ke depan.

Bagi para penikmat komik,  paneling untuk karya Goodbye Eri sangat luar biasa. Kadang satu halaman terbagi menjadi empat kolom berjejer dari atas ke bawah. Hal itu dirumuskan sebagai pengulangan dalam menggambar adegan. Sekilas tiap gambar sama, namun bila diperhatikan lebih detail terdapat perubahan di tiap gambar. Cara itu mirip dengan potongan gambar yang begitu banyak disusun menjadi sebuah gerakan di film. Hasilnya teknik ini membuat seolah-olah komik Goodbye Eri menghadirkan nuansa sebuah film.

Kualitas gambar Fujimoto yang hebat tidak perlu dipertanyakan lagi. Cara Fujimoto menggambarkan sudut pandang tokoh utama dengan kameranya sangat detail. Terlihat seperti ada efek blur pada beberapa adegan.  Hal tersebut biasa dilihat saat kamera tidak stabil namun dengan cara tersebut dia menghadirkan suasana unik di dalam komiknya. Sama halnya dalam perspektif saat menggambar objek, beragam angle diambil persis seperti saat merekam memakai kamera. Fujimoto sangat ahli dalam memainkan elemen ini sehingga membuat Goodbye Eri begitu terkesan bagi para pembaca.

Goodbye Eri adalah sajian yang akan memberikan rasa baru bagi kalian dalam membaca komik. Ceritanya simple namun  memiliki arti mendalam tentang film, hubungan, dan pelepasan. Dengan teknik penceritaan yang dibuat secara jenius oleh Fujimoto, bisa dibilang Goodbye Eri adalah salah satu mahakaryanya. Sebuah karya yang membuat perasaan pembaca berakhir dengan ‘meledak’.

Penulis : Ijas
Editor: Indri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top