Satu Abad Konflik Israel-Palestina: Dari Prinsip Menuju Rafah Berdarah

x.com/timesofgaza

All Eyes on Rafah”, kata-kata tersebut menjadi menjadi trending di berbagai media sosial dan ini menjadi sebuah cerminan dari konflik yang selama satu abad lebih tidak pernah selesai, sebuah konflik yang terjadi di Timur Tengah yang memakan korban jiwa dan bencana kemanusiaan secara masif, yakni konflik Israel dan Palestina.

Perjalanan Konflik antara Israel dan Palestina menimbulkan sebuah pikiran dalam benak kita tentang “mengapa konflik ini tidak pernah selesai?”. Namun penyelesaian konflik ini nyatanya tidak semudah membalikkan telapak tangan, terdapat jalan panjang yang berawal dari sebuah prinsip, mengakibatkan terjadinya salah satu bencana kemanusiaan yang terjadi di Timur Tengah.

 

Prinsip: Tanah Bangsa Arab vs Tanah yang Dijanjikan Tuhan

Pada awalnya, Bangsa Arab Palestina dan Yahudi hidup dengan damai di tanah Palestina pada masa pemerintahan Kesultanan Utsmaniyah. Pada masa itu tidak ada konflik antara orang Yahudi dan Arab. Namun, situasi ini tidak berlangsung lama. Kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah di Eropa dan Asia mulai melemah karena mereka kehilangan pengaruh di Balkan dan Timur Tengah pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Selain itu, kesadaran akan nasionalisme yang muncul pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 menyebabkan perbedaan pandangan antara bangsa Arab Palestina dan Yahudi. 

Bangsa Arab Palestina mulai mengadopsi prinsip nasionalisme yang mengutamakan pembentukan negara nasional untuk mereka sendiri. Hal ini berbeda dengan Yahudi sebagai bangsa yang memiliki prinsip nasionalisme yang dikenal dengan nama Zionisme, digagas oleh Theodor Herzl. Prinsip ini berpendapat pada bahwa tanah Palestina adalah tanah yang dijanjikan oleh tuhan, karena mereka diasingkan secara brutal dua ribu tahun sebelumnya, dan menuntaskan gagasan tentang penebusan dan janji para nabi zaman dahulu tentang pembangunan kembali Kerajaan Israel.

Kesadaran dari kedua pihak yang berbeda ini pada akhirnya menciptakan konflik antara satu dengan lainnya. Berbagai upaya dari Gerakan Zionis seperti bernegosiasi dengan Sultan Turki untuk memungkinkan pemukiman massal Yahudi di Palestina secara otonom, serta hadirnya penentangan tentang pendirian negara Yahudi oleh Kesultanan Utsmaniyah dan Arab-Palestina pada khususnya menyebabkan konflik antara keduanya tidak terselesaikan.

 

Sykes-Picot hingga Nakbah

Kemenangan Inggris dan Perancis pada Perang Dunia Pertama membuka peluang bagi terbentuknya Negara Yahudi di Palestina. Hal ini dipengaruhi dua hal, yaitu Perjanjian Sykes–Picot tahun 1916 antara Inggris dan Perancis untuk membagi Timur Tengah, dan Deklarasi Balfour pada tahun tahun 1917. Kedua perjanjian tersebut berisi bahwa Inggris menyetujui pembentukan “Rumah Nasional” bagi Yahudi di Palestina, dan Tanah Palestina pada akhirnya berada dalam kekuasaan Inggris pasca Perang Dunia Pertama sebagai sebuah Mandat.

Seiring perkembangan waktu, ketidakpercayaan antara pihak Inggris sebagai penguasa Palestina dan pemenang Perang Dunia Pertama, pihak Arab yang merasa dikhianati janjinya oleh Inggris tentang gagasan negara Arab Bersatu setelah membantu mereka melawan Kesultanan Utsmaniyah, serta pihak Zionis yang merasa Inggris tidak menaati Deklarasi Balfour dan bersikap kompromi kepada Bangsa Arab Palestina semakin meningkat. Ketidakpercayaan ini mengakibatkan konflik horizontal antara ketiga pihak tersebut sejak pasca Perang Dunia Pertama hingga Nakbah.

Ketidakpercayaan ini mengakibatkan terjadinya berbagai berbagai pemberontakan di Tanah Palestina. Salah satu pemberontakan terbesar terjadi antara tahun 1936 hingga 1939, dipicu oleh banyaknya imigran Yahudi yang datang ke Palestina setelah Nazi Jerman mengeluarkan Undang-Undang Anti-Yahudi. Akibat kejadian ini dan ketidakpercayaan kedua pihak terhadap Inggris sebagai pengawas Mandat Palestina, bangsa Arab Palestina dan Zionis akhirnya membentuk kelompok paramiliter dan milisi untuk mendukung tujuan masing-masing. Tujuan paramiliter dan milisi ini adalah sebagai alat perjuangan masing-masing bangsa dalam kampanye sabotase, seperti menghancurkan perkebunan, saluran telepon, pembunuhan, dan mengganggu transportasi di Palestina. Dalam hal paramiliter dan milisi, bangsa Arab-Palestina membentuk organisasi Jihad yang berlandaskan ideologi Anti Zionis  seperti Al-Kaff al-Aswad (Tangan Hitam) yang dipimpin oleh Syaikh Izz ad-Din al-Qassam. Sedangkan pihak Zionis Yahudi memiliki paramiliter dan milisi sendiri seperti Haganah, Irgun, dan Lehi.

Inggris pada akhirnya membuat peraturan tentang pembatasan imigrasi Yahudi ke Palestina pada tahun 1939 untuk mendamaikan situasi, namun terjadinya Holocaust, atau Pembantaian Yahudi di Eropa selama Perang Dunia Kedua menyebabkan banyaknya pengungsi Yahudi dari Eropa pergi menuju tanah Palestina. Hal ini pada akhirnya menyebabkan perlawanan antara satu sama lainnya, yakni pemerintah Inggris, Zionis Yahudi, dan Arab Palestina. Karena tidak mampu mengendalikan situasi yang semakin buruk, Inggris mengajukan “masalah Palestina” ke hadapan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang disetujui pada tanggal 29 November 1947 atas pembagian wilayah Palestina menjadi negara Arab dan negara Yahudi, dengan Yerusalem di bawah administrasi internasional.


Dari Nakbah hingga Rafah

Dengan keputusan PBB tersebut, akhirnya Israel memproklamasikan kemerdekaannya pada 15 Mei 1948. Hal ini mengakibatkan negara-negara tetangga Palestina yang berbangsa Arab seperti Mesir, Jordan, Irak, dan Suriah memulai Perang Arab-Israel yang terjadi pada tahun 1948.

Setelah konflik tersebut, Israel berhasil bertahan dari serangan bangsa Arab. Hal ini mengakibatkan terjadinya Nakbah, yaitu pengusiran orang Arab-Palestina dari tanah asli mereka setelah kemenangan Israel dalam perang tersebut. Orang Arab-Palestina ini kemudian mendirikan pemerintahan Palestina di Wilayah Gaza yang pada saat itu dikuasai oleh Mesir pasca perang, dan berakhir pada tahun 1959 ketika Wilayah Gaza digabungkan menjadi wilayah Mesir. Sedangkan wilayah Palestina lainnya di Tepi Barat dikuasai oleh Yordania hingga tahun 1967.

Tragedi Nakbah juga mengakibatkan Bangsa Arab-Palestina mendirikan berbagai organisasi- organisasi perjuangan, salah satunya adalah Gerakan Fatah yang didirikan oleh Yasser Arafat pada tahun 1959, gerakan ini menganut ideologi nasionalis Palestina dan mereka percaya bahwa Palestina akan bebas dengan usaha dari bangsa Arab Palestina. Gerakan ini selanjutnya menjadi basis terciptanya Palestine Liberation Organization (PLO) atau Organisasi Pembebasan Palestina pada tahun 1964, sebagai perwakilan Bangsa Palestina yang terdiri dari berbagai organisasi dan faksi untuk membebaskan Palestina.

Pada perkembangan selanjutnya, terjadi peperangan yang mempengaruhi perkembangan konflik ini, Perang Enam Hari pada tahun 1967 terjadi ketika Israel berperang melawan Mesir, Yordania, dan Suriah. Karena ketiga negara tersebut terkejut oleh serangan mendadak Israel, akhirnya Israel berhasil menguasai seluruh wilayah Palestina di Tepi Barat yang dimiliki Yordania, Dataran Tinggi Golan milik Suriah, serta Gaza dan Sinai yang merupakan wilayah Mesir hanya dalam waktu enam hari, perang ini berakhir dengan kemenangan Israel.

Selain Perang Enam Hari, perang besar yang pernah terjadi adalah Perang Yom Kippur yang terjadi pada tahun 1973, ketika Mesir dan Suriah menyerang Israel demi upaya untuk membebaskan wilayah Sinai, Palestina, dan Tanah Golan yang dikuasai oleh Israel sejak 1967. Dalam hal peperangan, Israel berhasil memenangkan konflik. Namun, upaya perdamaian antara Mesir dan Israel berhasil mengembalikan Sinai kepada Mesir melalui Perjanjian Camp David pada tahun 1978.

Berbeda dengan masalah Sinai, masalah Palestina dan Dataran Tinggi Golan tidak diselesaikan dengan perjanjian perdamaian atau pengembalian wilayah. Israel menganggap kedua wilayah tersebut sebagai bagian sah dari negara mereka, dan tidak ada upaya perdamaian dari pihak Suriah untuk merebut kembali Dataran Tinggi Golan dari kekuasaan Israel.

Hal ini mengakibatkan konflik terus berlanjut, terutama dengan terjadinya al-Intifāḍa al-’Ūlā (Pemberontakan Pertama atau Intifada Pertama) yang terjadi pada tahun 1986, yakni tindakan pembangkangan sipil dan kerusuhan yang dilakukan oleh warga Palestina di wilayah Palestina yang diduduki Israel sebagai protes atas pendudukan militer Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza yang sudah hampir 20 tahun lamanya.

Insiden ini juga melahirkan faksi lain yang nantinya menjadi pihak yang berpengaruh dalam sejarah perjuangan Palestina, yakni berdirinya Hamas pada tahun 1987 yang melanggar monopoli PLO sebagai satu-satunya perwakilan politik rakyat Palestina. Selama tahun 1990-an dan awal tahun 2000-an, Hamas banyak melakukan sejumlah bom bunuh diri dan serangan lainnya terhadap Israel, namun bukan berarti tidak ada upaya perdamaian antara Palestina dan Israel.

Upaya untuk melakukan perdamaian terbuka bagi Israel dan Palestina dimulai oleh PLO pada tahun 1988, yang secara resmi mendukung solusi dua negara dengan prinsip bahwa Israel dan Palestina hidup berdampingan dengan syarat-syarat tertentu. Ketentuan dari PLO ini berlanjut dengan berdirinya Otoritas Nasional Palestina setelah Perjanjian Oslo pada tahun 1993, namun meskipun sering terjadi upaya perdamaian, rekonsiliasi tidak tercapai dan kekerasan antara kedua pihak terus berlangsung hingga hari ini.

 

Memahami Siapa yang Salah

Penyelesaian masalah menuju perdamaian antara Palestina dan Israel jika dikaji dari sejarah, politik, dan budaya pada masa kontemporer ini memiliki jalan panjang yang rumit. Hal ini dikarenakan kedua bangsa yang memiliki prinsip tentang sebuah negara di Tanah Palestina dengan klaim nasionalisme nya masing-masing. Selain itu, berbagai faksi yang berbeda dalam konflik ini, baik dari pihak Israel maupun Palestina, membuat penyelesaian konflik tidak dapat memuaskan semua pihak. Walaupun keduanya memiliki klaim yang kuat terhadap tanah Palestina, namun jika dari kajian sejarah terlihat bahwa Zionis Yahudi yang bisa dibilang “merampas” tanah Palestina.

Hal ini didukung dengan bukti dari karya-karya Theodor Herzl dan konsekuensinya, seperti permintaan kepada Kesultanan Utsmaniyah atas tanah Palestina untuk pemukiman massal Yahudi. Selain itu, Deklarasi Balfour dan pelanggaran status dua negara yang dilakukan Israel sejak tahun 1948 mengunci takdir tentang bagaimana Zionisme melakukan penindasan di Tanah Palestina terhadap Bangsa Arab Palestina.

Selanjutnya, klaim bahwa gerakan Zionis bersalah karena menganggap bahwa bangsa Yahudi yang telah lama hidup dalam pengasingan di seluruh dunia, menciptakan cabang-cabang pemikiran berbeda. Terutama dalam hal gagasan al-Kitabiah tentang penebusan dan janji para nabi zaman dahulu tentang pembangunan kembali Kerajaan Israel, yang sebagian besar kaum Zionis Yahudi percayai.

Meskipun sulit, pada suatu saat mungkin akan ada faktor-faktor yang memungkinkan tercapainya perdamaian yang langgeng antara Palestina dan Israel, entah melalui solusi dua negara atau dengan pengembalian Tanah Palestina kepada bangsa Arab Palestina. Namun, hal ini menjadi tantangan besar pada saat ini, setidaknya sulit untuk dicapai dalam dekade ini.

 

Penulis: Rafi Akmal Rabbani

Editor: Farhan

Referensi:

Ben-Gurion, D. (2024, June 07). Theodor Herzl. Retrieved June 15, 2024, from www.britannica.com/: https://www.britannica.com/biography/Theodor-Herzl

Black, I. (2017). Enemies and Neighbors Arabs and Jews in Palestine and Israel, 1917–2017. New York: Atlantic Monthly Press.

Garner, R.-P. (2022). Nationalism. Oxford Research Encyclopedia of Politics. Retrieved from https://oxfordre.com/politics/view/10.1093/acrefore/9780190228637.001.0001/acrefore-9780190228637-e-2039.

Masalha, N. (2018 ). Palestine: A Four Thousand Year History. London: Zed Books Ltd.

Morris, B. (2009). One State, Two States Resolving the Israel/Palestine Conflict. 2009: Integrated Publishing Solutions.

Robinson, D., Clammer, P., Ardito, F., Gambaro, C., & Torrefranca, M. A. (2019). Jerusalem Israel and The Palestinian Territories. New York: DK Publishing.

Rogan, E. L., & Shlaim, A. (2008). The War for Palestine Rewriting the History of 1948. New York: Cambridge University Press.

Sanagan, M. (2013). Teacher, Preacher, soldier, Martyr: Rethinking ‘Izz al-Din al-Qassam. Die Welt des Islams, 53 (3–4), 315–352.

Segev, T. (1999). One Palestine, Complete. Metropolitan Books.

Yaari, E. (1970). Strike Terror: The Story of Fatah. Sabra Books.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top