Sebuah Refleksi: Bui Tanpa Jeruji dalam Hikayat Kadiroen karya Semaoen sang Pendiri PKI

Illustrasi: Alberto

Kreativitas membutuhkan keberanian untuk melepaskan kepastian dan meruntuhkan standar palsu kebenaran. Momentum bersejarah selalu lahir dari mereka yang muda, tetapi tidak mati kutu minat bacanya. Buktinya, embun-embun pergerakan, fajar nasionalisme dan kemerdekaan, pergolakan pijar kemenangan pada terminal 1928, serta penumbangan elit binatang pada Orde Lama dan Orde Baru beberapa tahun silam, semuanya diprakarsai oleh kedaulatan dan kutukan pada mereka yang muda, tetapi dewasa cita-citanya.

Hikayat Kadiroen karya Semaoen, salah satu jejak bukti bahwa menjadi idealis, kritis, dan radikal adalah kutukan bagi anak muda yang berkualitas daya pikirnya. Secara sosiologis, Semaoen adalah anak muda yang lahir dari jerih keringat seorang buruh kereta api. Ia lahir di Mojokerto dibarengi dengan konflik etis, nasabnya bukan priyayi. Secara historis, sejak usianya belum genap 14 tahun ia sudah terlibat dalam pergerakan Sarekat Islam (SI). Tahun-tahun berikutnya ia bergabung dengan Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) kemudian Vereniging van Spoor-en Tramwegpersoneel (VSTV). Pada 23 Mei 1920 ia diakui sebagai Ketua Perserikatan Komunis di Hindia Belanda setelah Mei 1917 ia diangkat menjadi Ketua Sarekat Islam (SI) Semarang. Demikianlah Semaoen mendedikasikan masa remajanya pada pergerakan untuk bangsa.

Barangkali berangkat dari darah mudanya itu Semaoen dan generasi muda pasca perang lainnya merasa menemukan alat dan medan geraknya pada organisasi-organisasi sosialis. Liberalisme kapitalis sejak 1870-an juga menjadikan mereka pribadi yang kritis dan radikal terhadap imperialisme Belanda. Sederhana, dipelopori oleh desahan putus asa milik rakyat yang tertindas. Meskipun demikian, menjadi tangguh, idealis, kritis, dan pemberani tidak selalu dimaknai sebagai ruang kebebasan. Beberapa dari pejuang dengan karakteristik tersebut justru hidup dalam kecaman kutukan. Semaoen dalam sejarah tak lagi diceritakan sebagai pejuang tetapi dicap sebagai bahaya laten.

Hikayat Kadiroen lahir dibalik jeruji besi ketika Semaoen menikmati duka yang pelik akibat persdelict tahun 1919. Prosa yang akhirnya lahir bersambung dibawah naungan Sinar Hindia sejak 5 Mei – 22 September 1920-an ini merekam kegelisahan, keberanian, dan kemarahan kaum muda pergerakan terhadap imperialis Belanda. Prosa ini adalah bui tanpa jeruji yang sirat perlawanan terhadap sistem yang menindas. Mendominasinya narasi dengan gagasan yang diungkapkan secara telanjang dalam Hikayat Kadiroen dianggap (menurut rezim estetika literer tertentu) tidak layak termuat pada karya sastra yang bermutu.

Sinopsis Cerita Hikayat Kadiroen karya Semaoen

Kadiroen, anak seorang lurah yang bejo dalam meniti karir di Hindia Belanda. Kadiroen digambarkan sebagai sosok laki-laki yang sempurna, “Kadiroen memiliki perawakan yang sedang, tidak besar tidak juga kecil, tetapi di dalam tubuhnya tampak tersimpan kekuatan yang besar. Wajahnya ganteng. Kulitnya hitam bersemu merah halus. Matanya terbuka lebar, serta bersinar tajam jika memandang. Hal itu menandakan bahwa pemiliknya mempunyai kepribadian yang kuat, berwatak ksatria, dan tidak suka berbuat dosa,” (Semaoen, 2000: 11).

Jalan hidup Kadiroen berubah sejak ia mendengar pidato seorang tokoh komunis bernama Tjitro pada sebuah propaganda vergadering di alun-alun Kota S. Pidato tersebut berisi mengenai kapitalisme dan asal usulnya, tentang pentingnya berserikat dan mendirikan koperasi, serta Komunisme. Pidato tersebut berpengaruh cukup banyak pada keyakinan ideologi Kadiroen, ia memilih melepas karirnya di gupermen (pemerintah kolonial) dan memilih menjadi penulis pada Harian Sinar Ra’jat (harian partai komunisme). Ia juga sempat terkena delik pers. Pada seratus lembar pertama prosa Hikayat Kadiroen karya Semaoen menceritakan alur maju perihal kecemerlangan Kadiroen dalam berkarir. Mulai dari menjadi mantri polisi hingga menjadi wedana dan menjadi wakil patih di Kota S. Tak hanya itu, prosa Hikayat Kadiroen karya Semaoen juga menyelipkan kisah romansa antara Kadiroen dan Ardinah dengan narasi yang cengeng. Cinta Kadiroen yang sulit bersemi karena Ardinah adalah seorang wanita korban kawin paksa, sekarang jadi istrinya pak lurah. Sebuah simbolisasi perlawanan juga karena mencintai Ardinah sama dengan menentang pak lurah.

Gaya narasi yang coba dibawakan prosa ini sangat khas dengan realisme sosialis. Prosa ini memaparkan bagaimana tertindasnya kaum proletar atas kesemena-menaan kaum borjuis dan budaya feodal. Nadi narasinya juga kental dengan nilai-nilai ketuhanan, bahkan nilai ketuhanan menjadi dasar utama atas ideologi yang Kadiroen pilih. Jikapun terjadi guncangan dalam hidupnya, Kadiroen selalu yakin bahwa itu adalah guncangan terhadap karirnya bukan ideologinya. Membaca prosa ini setelah mengenal noktah hitam Semaoen sebagai pendiri Partai Komunis Indonesia (PKI) rasanya memberikan cita rasa yang sama getirnya dengan tokoh Kadiroen. Apakah Kadiroen adalah Semaoen dalam bingkai karya sastra agar kisah hidupnya kekal tak lekang masa?

 

 

Naratologi cerita Hikayat Kadiroen karya Semaoen

Dengan mata telanjang kita dapat menikmati gagasan-gagasan komunisme dengan realisme-sosialis dalam prosa Hikayat Kadiroen karya Semaoen. Semaoen mengisahkan Kadiroen sebagai amtenar muda idealis yang sangat peduli pada nasib rakyat proletar. Tema yang diangkat selayaknya karya sastra periode kedua (Sastra era Balai Pustaka 1920-1942-an) yang erat dengan konflik etis, budaya feodal, imperialisme Belanda, dan kesenjangan antara borjuis dan proletar. Namun, dalam sejarah perkembangannya Hikayat Kadiroen karya Semaoen termasuk dalam sastra bacaan liar. Semaoen dikenal sebagai pemberontak yang beroposisi dengan penindasan oleh pemerintah Hindia-Belanda. Kendati demikian, warna-warna romantis klasik menghiasi prosa ini sebagai tema minor. Tidak hanya itu, prosa Hikayat Kadiroen juga menjunjung nilai-nilai kemanusiaan.

Hikayat Kadiroen karya Semaoen lebih terkenal sebagai sastra perlawanan, orang-orang kemudian memberinya gelar sebagai sastra bacaan liar. Melatarbelakangi lahirnya peraturan undang-undang Pers Hindia Belanda regeringsreglement yang mengklaim bahwa karya sastra yang diproduksi, distribusi, dan konsumsi harus sesuai dengan kepentingan pemerintah Hindia Belanda. Novel-novel karya aktivis sosialis dan komunis seperti Hikayat Kadiroen karya Semaoen ini kemudian dilarang beredar, pengarangnya juga dikenakan sanksi delik pers yakni denda atau bui penjara selama 4 bulan (atau lebih).

Konflik utama pada prosa Hikayat Kadiroen karya Semaoen adalah sebuah misi perlawanan terhadap imperialisme Belanda, sekaligus mengenalkan ideologi komunisme melalui narasi perjalanan Kadiroen. Kritik terhadap Gupermen dilugaskan secara langsung tanpa diksi isyarat. Dengan alur maju yang menggambarkan kisah hidup Kadiroen beberapa kali terbaca seperti narasi biografi Kadiroen (re: Semaoen). Warna-warna konflik dalam prosa ini tersaji secara kompleks nan runtut. Dimulai dari penggambaran tokoh Kadiroen dan keberhasilannya melenggang karir di Hindia-Belanda, mencintai istri seorang lurah, hingga pengabdian berkepanjangan kepada rakyat pribumi.

Alur cerita pada Hikayat Kadiroen karya Semaoen memiliki alur maju-mundur, dimana Kadiroen sebagai sudut pandang orang ketiga serba tahu. Hikayat Kadiroen menggambarkan tokoh Pribumi, Kadiroen juga digambarkan sebagai pemuda Bumiputera yang hidup sejahtera. Kendati demikian, cintanya kepada rakyat lebih besar dari kepengan gajinya sebagai mantri polisi, Wedana, bahkan wakil patih Kota S. Kadiroen juga terjun dalam organisasi pergerakan setelah pidato panjang seorang tokoh marxisme di alun-alun Kota S. Awalnya ia mendukung partai tersebut secara diam-diam sebelum akhirnya memutuskan untuk bergabung sepenuhnya dan meninggalkan pekerjaannya di gupermen. Kadiroen digambarkan sebagai seorang laki-laki yang (nyaris) sempurna untuk ukuran laki-laki pada masa itu. Pada isi lain muncul karakter lain seperti pak Tjitro yang memengaruhi ideologi Kadiroen. Kemudian tokoh Ardinah, istri dari Pak Lurah desa Meloko yang amat Kadiroen cintai. Belum lagi pejabat-pejabat pemerintahan yang turut menyumbangkan sebab kemiskinan pada para rakyat.

Secara sosiologis kita dapat memaknai bahwa prosa Hikayat Kadiroen mengambil latar era 1900-an, era yang dekat dengan masa itu. Beberapa kali Semaoen menggambarkan budaya jawa sebagai latar dalam ceritanya, ia juga menerangkan Kota S (beberapa orang membacanya: Kota Semarang), selain gupermen Hindia Belanda dan desa-desa kecil di sekitarnya. Suasana yang digambarkan sangat khas dengan penindasan budaya feodal pada masyarakat proletar dan kesewenang-wenangan rakyat bourjois. Dengan sudut pandang orang ketiga serba tahu, Semaoen seperti menghipnotis pembaca untuk menarik garis sosiologis antara Kadiroen dan dirinya.

Bahasa yang digunakan Semaoen dalam menarasikan Hikayat Kadiroen adalah bahasa Melayu Lingua Franca (bahasa melayu rendah/pasar). Tidak terlalu menarik diksi yang teknis atau tinggi, Hikayat Kadiroen sebagai cerita bersambung lebih menggunakan bahasa yang dapat dinikmati semua kalangan. Bahasa ini juga dipilih sebagai pemuasan strategi pasar. Bahasa Melayu Lingua Franca yang digunakan dalam penulisan karya sastra tak ayal menjadi jejak eksistensi etnis Tionghoa. Hikayat Kadiroen karya Semaoen termasuk ke dalam sastra melayu rendah. Selain dibuktikan pada jejak historis dan sosiologisnya, penggunaan bahasa juga melegitimasi stigma tersebut. Bahasa yang digunakan cenderung bahasa lisan sehari-hari, terdapat juga kata-kata dalam bahasa Jawa atau dialek setempat seperti bahasa Belanda dan dialek lainnya.

Ruang kolonial dan resistensi Hikayat Kadiroen karya Semaoen sebagai sastra liar

Oposisi binarian dan mimikri pada Hikayat Kadiroen karya Semaoen tergambar melalui bagaimana Semaoen menggambarkan ruang kolonial dengan ekslusifitas relasi dan interaksi antara penjajah dan yang dijajah. Hal tersebut menjadi karakteristik utama dalam hikayat Kadiroen karya Semaoen ini, tak hanya suara-suara kiri tetapi juga penggambaran kesengsaran pribumi dalam penindasan gupermen Hindia-Belanda. Semaoen sebagai propagandis Sarekat Islam (SI) sekaligus pendiri Partai Komunis Indonesia (PKI) secara jelas meluaskan pandangan dan ideologinya dalam prosa ini. Ia menempatkan Kadiroen sebagai tokoh yang dapat diatur agar hal-hal diskursif nampak begitu nyata. Hal yang menarik dari prosa Hikayat Kadiroen karya Semaoen selain pada naratologi ceritanya juga terletak dari bagaimana Semaoen memasukkan pandangan distingsi(perbedaan) mengenai Barat dan Timur melalui pandangan tokoh Asisten Wedana yang merupakan orang pribumi.

“Untuk orang desa macam Soeket, tentu berbeda aturannya dengan Tuan Administratur pabrik gula meskipun keduanya sama-sama melaporkan sedang kecurian.” (Semaoen, 2000:7).

Prosa Hikayat Kadiroen karya Semaoen lahir sebagai tindakan subversif atau perlawanan melalui penggambaran dua tokoh paling dominan. Pertama, Tjitro yang telah menganut paham marxisme. Kedua, Kadiroen yang telah melakukan mimikri (transmigrasi paham) dengan berkolaborasi pada paham atau ideologi Tjitro untuk melakukan perlawanan dalam ruang kolonial. Pada prosa Hikayat Kadiroen karya Semaoen pidato Tjitro yang memuat pandangannya soal Marxisme ditulis 48 lembar, Semaoen jelas memiliki tujuan untuk mendistribusikan paham marxisme pada pembaca. Selain melalui Tjitro, paham marxisme (realisme-sosialis) juga coba dikenalkan melalui tokoh Kadiroen sendiri yang akhirnya memiliki paham marxisme (realisme-sosialis) dan berani mengambil langkah untuk mempertaruhkan jabatannya demi membela rakyat proletar. Kadiroen melakukan perlawanan melalui surat kabar Sinar Ra’jat untuk menyatakan gagasannya karena dianggap subversif dan bersifat menantang pemerintah Kadiroen dikenakan sanksi delik pers dengan hukuman 4 bulan penjara.

Prosa Hikayat Kadiroen karya Semaoen menjadi media narasi dan artikulasi Semaoen untuk menggambarkan ruang kolonial dan suara untuk melakukan perlawanan. Distingsi Barat dan Timur merupakan gambaran representasi kaum superior dan inferior, sebagaimana terlihat pada narasi prosa Hikayat Kadiroen karya Semaoen melalui penokohan Asisten Wedono yang menempatkan rakyat pribumi (representasi kaum timur) sebagai pihak inferior. Sedangkan Tjitro dan Kadiroen mengadopsi karir penguasaan (representasi paham barat) untuk hal yang berbeda, tidak untuk menindas dan superior tetapi untuk mengatur strategi perlawanan. Semaoen menggambarkan resistensi perlawanan melalui tokoh Tjitro dan Kadiroen. Hal tersebut melegitimasi bahwa Hikayat Kadiroen karya Semaoen memiliki pretensi prosa sebagai artikulasi dan propaganda ideologi komunis yang digagas oleh pengarangnya, yakni Semaoen.

 

Daftar pustaka

Semaoen. 2000. Hikayat Kadiroen. E-Book Beng Beng Sulistiyono: pdf bebas.

Penulis : Indri

Editor : Fajri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top