Dr. Arief Budiman atau Soe Hok Djin dikenal luas sebagai aktivis angkatan ’66 bersama adiknya Soe Hok Gie, Arief Budiman merupakan sosok sosiolog yang punya pendirian tegas di hadapan rezim Soeharto saat itu, Arief Budiman juga turut berperan dalam pendirian majalah sastra Horison. Karir intelektualnya dimulai sepulang dari kuliahnya di Universitas Harvard, sebagai dosen Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga sejak 1985 hingga 1995, kondisi kampus yang dilanda kemelut pemilihan rektor saat itu memaksa Arief Budiman itu mogok kerja dan akhirnya dipecat, kemudian ia mengajar di Universitas Melbourne Australia.
Tulisan berjudul “LSM dan Demokratisasi” ini termuat dalam majalah Hayamwuruk edisi 1/IV tahun 1988. Isi tulisan ini merupakan suntingan ceramah materi diskusi, disampaikan secara lisan, dalam Seminar Sehari “Prakarsa Masyarakat dalam Proses Demokratisasi” yang diselenggarakan Yayasan Pranacitra bekerjasama dengan Third World Network dan SEAFDA, pada 13 Mei 1988. Hasil suntingan ceramah ini kemudian ditranskripsikan oleh Gunawan Budi Susanto dan dimuat seizin Arief Budiman.
Tulisan ini kami muat kembali dalam website Hayamwuruk dalam rangka merawat memori kolektif mengenai sosok almarhum Arief Budiman, juga bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Selamat membaca.
***
I
Problem kita di Indonesia sekarang ini adalah pemerintah atau government, sebagai political society, yang terlalu kuat. Sedang civil society, atau masyarakat yang nonpemerintah, sangat lemah. Civil society ini terdiri dari dua komponen, baik yang berada di kelas menengah maupun di kalangan rakyat. Ketidakseimbangan ini menimbulkan pelbagai macam implikasi. Negara menjadi mendominasi segala macam aspek kehidupan. Tidak hanya di bidang politik, tapi juga dalam bidang ideologi. Dalam bidang ideologi, negara merasuki semua bidang kehidupan kita. Sehingga, hanya sebagian kecil intelektual yang bisa lepas atau melepaskan diri, mentransendensikan ideologi pemerintah. Ya, kita menerima ideologi, misalnya, bahwa kestabilan itu baik. Padahal, stabilitas tidak dengan sendirinya baik. Stabilitas itu apa dulu? Tetapi, saya kira, di Indonesia banyak orang yang mengatakan bahwa stabilitas itu sesuatu yang baik, bahwa siapa yang menentang stabilitas adalah orang yang memang mengacau.
Jadi, ideologi-ideologi seperti itulah yang masuk kepada kita. yang harus kita lawan dengan kritis. kendati begitu banyak ideologi negara yang masuk kepada kita.
Kenyataan yang ada menunjukkan negara, political society. menjadi sangat kuat merasuki aras ideologi maupun pada aras praktis, yaitu organisasi politik. Segala macam organisasi politik dipotong. Terutama, yang dikhawatirkan, adalah organisasi politik yang menuju kepada rakyat, kepada kelas bawah. Ini bisa kita lihat dengan adanya konsep massa mengambang dan konsep desa harus dibikin tenang, dikaitkan dengan stabilitas dan pembangunan. dan sebagainya.
II
Suatu gerakan demokratisasi sangat ditentukan oleh siapa aktor dari gerakan tersebut. Kalau aktornya itu kelas menengah, yang dihasilkan memang semacam demokrasi, tapi demokrasi kelas menengah. Demokrasi ini berbeda dengan demokrasi rakyat, sama sekali berbeda. Revolusi Perancis adalah revolusi kelas menengah, yang memang berteriak tentang kebersamaan liberty, egality, fraternity (persaudaraan, persamaan, kemerdekaan). Tetapi, persamaan dan kemerdekaan itu tidak dimaksudkan sebagai persamaan dan kemerdekaan yang juga diberikan kepada kaum tani dan buruh. Karena, ketika mereka (kaum tani, ed) menuntut lagi, justru pemerintah yang demokratis itulah yang menghalangi tuntutan-tuntutan kaum tani, Kelas menengahlah yang menggerakkan revolusi tersebut. Memang dibantu oleh kaum tani, tapi sasaran revolusi adalah kaum aristokrat. Jadi kelas menengah bersaing dengan kaum aristokrat, dibantu oleh kaum tani. Tapi, kaum tani lebih banyak diperalat. Karena ideologinya adalah ideologi kelas menengah, untuk melawan aristokrasi. Sehingga, memang suatu perubahan sosial atau revolusi itu juga sangat ditentukan oleh, aktornya. Kalau aktornya, aktor kelas menengah, yang dihasilkan juga demokrasi kelas menengah. Sedang suatu revolusi yang aktornya rakyat, dengan ideologi kerakyatannya, maka bisa menghasilkan demokrasi rakyat, demokrasi kerakyatan, yang bisa memberikan konsesi banyak sekali kepada rakyat.
Dengan demikian, sebetulnya, kalau kita berpihak kepada rakyat di bawah, maka sistem apapun yang kita lakukan, kita harus mendasarkan gerakan kita, baik ideologi maupun organisasinya, sebagai gerakan yang sangat rakyat oriented.
Kita ini bagaimanapun juga kelas menengah. Maka, selama ideologi kita masih ideologi kelas menengah – persamaan dan persaingan bebas, yang kita hasilkan tetap demokrasi kelas menengah. Karena itu, saya kira, sejak sekarang kita harus sadar betul kepada suatu ideologi yang kerakyatan, juga suatu organisasi kerakyatan.
Yang menjadi persoalan sekarang di Indonesia, organisasi yang paling baik, secara teoritis adalah partai. Partai memang suatu organisasi masyarakat, dengan ideologi tertentu. Partai memang macam-macam, tapi yang saya maksudkan adalah partai kerakyatan, yang bisa masuk ke bawah. Tetapi, karena partai dibatasi dan dicurigai, atau praktis memang dikebiri, maka sekarang praktis tidak ada lagi partai. Golkar praktis adalah perpanjangan birokrasi belaka. Kalau mau disebut partai, silakan. Tapi, yang jelas, itu perpanjangan dari birokrasi. Golkar tidak mempunyai kekuatan pada diri sendiri. Tanpa dukungan birokrasi, dia akan kempes.
Yang jelas, partai sangat dicurigai. Dipotong masuknya ke desa. Dipotong masuknya ke mana pun juga. Sehingga, tiba-tiba, dalam fase sejarah ini yang bisa masuk ke bawah adalah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), NGO (Non Government Organization).
III
NGO penting, bukan karena dia memang penting. Atau bukan karena dia hebat, lebih hebat dari partai, tapi oleh suatu situasi tertentu di negara kita menjadikan mereka satu-satunya yang bisa masuk ke bawah. Tentu dengan batas-batas tertentu; harus apolitis, harus teknis, dan sebagainya. Karena itu, sebetulnya, akibat lumpuhnya peran partai politik, maka LSM adalah satu-satunya gerakan di Indonesia yang bisa berhubungan langsung dengan rakyat jelata. Karena itu dia jadi penting.
Hanya sayang, pada LSM sendiri masih banyak kekurangan. Saya kira, hampir semua atau kebanyakan LSM di Indonesia apolitis.
Saya ditolong oleh saudara Adi Sasono, dengan analisis David Korten, tentang tiga generasi LSM. Pertama, adalah yang bercorak charity, yang bersifat menolong individual. Misalnya, Rotary Club, Lions Club, dan yang sejenisnya. Kedua, yang menumbuhkan swadaya masyarakat. Tapi ini masih apolitis dan sifatnya teknis saja. Memang yang dilakukan tidak individual lagi, tapi sudah satu desa misalnya. Seperti Dian Desa, misalnya, yang mengajarkan cara bagaimana mendapatkan air bersih. dan sebagainya. Ketiga, yang mungkin masih sedikit sekali di sini, yaitu LSM yang mempersoalkan atau mempertanyakan struktur dari masyarakat ini. Misalnya, tentang penindasan, atau ketidakadilan sosial, dan lain-lain.
Bukankah LSM itu maksudnya menolong rakyat dan kemiskinan? yang pertama memberi barang; apa yang dibutuhkan rakyat, kita beri. Yang kedua menumbuhkan daya produktif. Dan yang ketiga mempertanyakan apakah kemiskinan ini bukan suatu akibat dari mesin struktural. Sehingga persoalannya, bagi LSM generasi ketiga ini, bukan memberi barang yang dibutuhkan, atau menumbuhkan kesanggupan untuk berproduksi menghasilkan barang yang dibutuhkan. Tapi, mau mengubah mesin yang melahirkan kemiskinan itu sendiri.
Namun persoalannya, LSM generasi ketiga – yang di Filipina jelas timbul pada beberapa LSM – di Indonesia masih sangat sedikit, masih sangat kecil, saya kira. Apalagi LSM di Indonesia, secara struktural, masih sangat tergantung pada dana asing. Kenyataannya memang begitu. Bahkan, LSM yang termasuk sangat radikal pun masih sangat tergantung pada dana asing. Sehingga, LSM di Indonesia lemah sekali. Tapi dalam keadaan politik sekarang ini, kelihatannya hanya LSM satu-satunya yang mempunyai kemungkinan mengorganisasikan masyarakat. Tanpa LSM, tak ada lagi yang bisa menolong rakyat.
Coba Anda bayangkan, di Semarang banyak sekali orang-orang digusur akhir-akhir ini. Juga di Yogya. Tapi yang lebih banyak di Semarang. Alasannya, demi keindahan kota, dan sebagainya. Dan coba saja bayangkan, Anda sebagai salah seorang yang tergusur. Kepada siapakah Anda mau mengadu? Partai? Tidak bisa. Golkar nggak berpengaruh, karena tergantung dari atas mau menolong atau tidak. Kalau menolong pun cuma untuk di mic (pengeras suara, ed), biar kelihatan merakyat. LBH (Lembaga Bantuan Hukum)? LBH merupakan suatu LSM yang masih sangat kecil. Sehingga, tidak ada yang bisa menolong rakyat.
Sampai sekarang, tidak ada sama sekali.
Maka, dalam keadaan seperti ini. LSM-lah yang bisa masuk ke sana. Karena LSM satu-satunya yang mempunyai kontak, selain LBH. Pada LSM-lah satu satunya harapan bisa ditumpukan untuk bisa melakukan ini, sebetulnya bukan LBH saja. Banyak gerakan rakyat. Kalau LSM lebih kuat. lebih terorganisasi dengan baik, tidak hanya melalui jalur hukum dia bisa menolong. Masih banyak cara lain. Dan di Indonesia belum mengarah ke sana. Tapi, saya anggap, dalam kondisi sekarang, barangkali LSM-lah yang relatif mempunyai kontak ke bawah. Lembaga-lembaga lain tidak ada yang punya, kecuali lembaga keagamaan seperti pesantren. Atau lembaga keagamaan orang-orang Kristen yang turun ke bawah. Tapi yang lebih banyak Islam, karena Islam adalah agama yang dianut banyak kalangan di kelas bawah. Sedang Kristen. relatif menjadi agama kelas menengah. itulah yang saya lihat, mengapa LSM menjadi penting.
Dan, sebenarnya, saya berharap LSM menjadi semacam embrio dari partai politik. yang pada momennya bisa melahirkan suatu partai politik yang merakyat. Tapi, tentu saja, saya belum tahu bagaimana mekanismenya. dan sebagainya. Tapi, itu satu harapan saya.
Editor: Farhan