Polemik Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) agaknya masih menjadi mimpi buruk bagi para pekerja. Kebijakan yang diteken oleh Joko Widodo (Jokowi) pada 20 Mei 2024. Kebijakan tersebut dimungkinkan menjadi beban baru bagi kelas pekerja maupun para pemilik perusahaan.
Wacana Tapera sendiri bukanlah suatu kebijakan yang muncul begitu saja. Tapera muncul sejak 2016 melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016. Undang-Undang tersebut selanjutnya diturunkan menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 yang juga mengatur perihal penyelenggaraan Tapera. Pemerintah lalu merevisi peraturan tersebut dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 yang nantinya kebijakan ini akan diterapkan pada 2027.
Secara garis besar kebijakan ini mengatur para pekerja untuk menyisihkan sebagian penghasilannya sebesar 2,5% untuk “membantu” menyediakan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Dalam program yang terdengar “Dermawan” ini perusahaan turut berpartisipasi sebesar 0,5% sehingga genap menjadi 3% sesuai dengan besaran simpanan peserta yang ditetapkan.
Berbeda dengan kebijakan jaminan sosial seperti BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan atau Ketenagakerjaan yang pesertanya turut merasakan manfaatnya, peserta Tapera yang berhak merasakan manfaat pemberian kredit hanya pekerja dengan penghasilan maksimum Rp8 juta dan Rp10 juta untuk wilayah Papua. Adapun bagi pekerja dengan penghasilan di atas nominal tersebut yang dijuluki “Penabung Mulia” diberikan janji imbalan berupa dana pensiun di kemudian hari oleh pemerintah.
Selain menjadi beban baru bagi para pekerja swasta, pekerja mandiri, aparatur negara, bahkan pekerja asing, kebijakan Tapera juga menjadi model tabungan pemaksaan bagi generasi sandwich. Generasi sandwich dimaknai sebagai orang dewasa yang berperan untuk menanggung finansial tidak hanya atas dirinya tetapi juga orang tua, adik, anak, bahkan cucu. Posisi yang terhimpit ini lah digambarkan semacam roti isi (sandwich).
Adanya kebijakan pemerintah berupa Tapera, generasi sandwich diibaratkan sebagai peribahasa “sudah jatuh tertimpa tangga pula” Sudah menjadi tulang punggung keluarga turut menjadi tulang punggung bagi negara karena turut ikut menyisihkan penghasilannya untuk penyediaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Biaya hidup seperti pendidikan yang makin mahal, kebutuhan pokok yang tak kalah meroket ditambah dengan penghasilan yang harus dipangkas untuk iuran program asuransi sosial milik pemerintah menjadi bukti beratnya menjadi generasi sandwich.
Sebagai asumsi, katakanlah seorang generasi sandwich dengan nominal pendapatan Rp 7 juta per bulan harus dipangkas untuk asuransi BPJS Kesehatan sebesar 1%, BPJS Ketenagakerjaan Jaminan Hari Tua 2%, BPJS Ketenagakerjaan Jaminan Pensiun 1% serta potongan 2,5% dari kebijakan Tapera. Jika ditotal besar potongan yaitu 6,5% dari beberapa iuran tersebut. Seorang generasi sandwich dengan pendapatan Rp 7 juta jika dipangkas sebesar 6,5% maka penghasilan bersih yang diterima sekitar Rp 6,555 juta itu pun belum dikenai Pajak Penghasilan (Pph21).
Secara syarat peserta program Tapera, seorang generasi sandwich dengan penghasilan Rp 7 juta berhak memanfaatkan program dari Tapera berupa Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Bangun Rumah (KBR), serta Kredit Renovasi Rumah (KRR). Meskipun orang tersebut masuk dalam kepesertaan Tapera yang diprioritaskan (karena dibawah Rp 8 juta), tetapi kebutuhan akan rumah agaknya belum menjadi prioritas utama. Dengan pertimbangan kebutuhan sehari-hari seperti kesejahteraan orang tua, pendidikan anak dari segala jenjang, bahkan cucu, seorang generasi sandwich dengan gaji Rp 7 juta per bulan tentu menarik napasnya lebih panjang jika harus berpartisipasi dalam program ini. Rumah warisan orang tua atau hunian sewa mungkin menjadi dua pilihan yang ideal bagi seorang generasi sandwich untuk urusan tempat tinggal.
Untuk pekerja dengan penghasilan diatas Rp 8 juta per bulan yang dijuluki sebagai penabung mulia agaknya berpikir dua kali untuk menyisihkan pendapatannya sebagai bentuk uluran tangan menyediakan perumahan bagi masyarakat berpendapatan rendah. Meskipun dijanjikan keuntungan pada kemudian hari (dana pensiun) bagi penabung mulia, sepertinya masyarakat sudah kehilangan kepercayaan kepada pemerintah terkait program-program jaminan sosial. Sebut saja beberapa kasus korupsi seperti korupsi Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Taspen), Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri), dan Jiwasraya. Dari kasus-kasus tersebut, masyarakat khawatir apakah uang yang nanti dikelola negara akan benar-benar aman serta mendapatkan manfaat seperti yang telah dijanjikan.
Kebijakan Tapera ini pun seolah-olah juga menjadi bentuk lempar tanggung jawab pemerintah. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman menyatakan bahwa negara bertanggung jawab menyediakan rumah yang layak bagi masyarakat. Tanggung Jawab pemerintah yang berubah menjadi beban bagi warga negara semakin jelas tersurat pada Peraturan Pemerintah terbaru No. 21 Tahun 2024 pada Pasal 64 ayat 5a yang menyatakan anggaran negara lewat Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dapat dihentikan jika Badan Pengelola Tapera beroperasi penuh. Maksudnya, pemerintah nantinya akan menghapus anggaran penyediaan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah dari daftar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Rencana penerapan Tapera pada 2027 nanti perlu ditinjau kembali bila perlu dibatalkan karena program yang diniatkan sebagai bentuk gotong royong ini justru terkesan menjadi petaka. Program Tapera juga rentan tindak penyelewengan dalam proses pengelolaannya.
Fenomena generasi sandwich yang nantinya turut menanggung tugas negara melalui program Tapera juga perlu diperhatikan. Beban bagi generasi sandwich akan semakin berat karena tak hanya harus memenuhi kebutuhan keluarga, tetapi juga kebutuhan masyarakat yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Fenomena ini tentu dapat diantisipasi dengan mempersiapkan dana pensiun atau dana hari tua suatu hari nanti pada saat usia produktif. Selain untuk mengurangi beban finansial juga dapat menjadi solusi agar di masa depan tidak membebani anggota keluarga yang bekerja. Ditambah dengan negara yang tidak bisa menjamin kesejahteraan rakyatnya, perlunya tabungan untuk masa pensiun setidaknya dapat mengurangi beban bagi anak atau anggota keluarga yang berusia produktif.
Penulis : Fajri
Editor : Farhan