Mengurai Benang Kusut Kecacatan Kementerian Kominfo Demi Masa Depan Digital Indonesia

Sumber Gambar : Dok.Hayamwuruk/Amadeus

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Indonesia telah lama menjadi salah satu lembaga kunci dalam mengatur dan mengawasi sektor komunikasi dan teknologi informasi di negara ini. Namun, belakangan ini, Kominfo tengah menerima banyak sorotan karena Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2 di Surabaya yang seharusnya menjadi benteng perlindungan data publik disusupi serangan ransomeware (program jahat) yang mengakibatkan kelumpuhan pada beberapa layanan publik. Melalui permasalahan ini, Kominfo dinilai tidak kompeten menjalankan tugasnya dalam menjaga keamanan data serta tidak mengambil langkah serius dalam penyelesaiannya. Masyarakat juga menyoroti reaksi kementerian Kominfo dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang malah terkesan saling melemparkan kesalahan. 

Belum lagi perihal perbandingan yang dilakukan Kominfo mengenai insiden peretasan yang terjadi di Indonesia dan dunia. Menkominfo mengatakan bahwa hampir seluruh dunia pasti pernah mengalami serangan ransomeware. Sejumlah pengguna aplikasi X mengungkapkan kekesalan yang seragam dalam menanggapi isu yang sedang naik tersebut. Mereka mengatakan bahwa Kominfo baiknya melakukan evaluasi kinerja dan bukan mencari-cari pembelaan supaya tidak disalahkan. Pengguna X juga menyoroti persentase insiden ransomeware di Indonesia yang hanya 0.67% nyatanya berhasil membuat satu negara kelimpungan.

Hal yang semakin membuat masyarakat geram sebenarnya adalah fakta bahwa insiden-insiden serupa sudah banyak terjadi di Indonesia. Berulang kali terdengar berita tentang kebocoran data dari berbagai layanan digital dan instansi pemerintahan. Mulai dari kebocoran data pengguna e-commerce besar seperti Tokopedia dan Bukalapak, layanan kesehatan seperti BPJS Kesehatan, hingga aplikasi pemerintah seperti PeduliLindungi. Fatalnya, data-data yang bocor tidak hanya data pribadi seperti nama, alamat, dan nomor telepon, tetapi juga data sensitif seperti nomor identitas kependudukan (NIK) dan informasi kesehatan.

Salah satu faktor yang perlu menjadi perhatian adalah peletakan tugas atau jabatan di tubuh Kominfo sendiri. Terlihat dengan jelas bahwa posisi-posisi penting di Kominfo atau bahkan lembaga lain seringnya justru dipegang oleh orang-orang yang tidak memiliki latar belakang atau keahlian pada bidang yang sesuai. 

Contohnya Budi Arie Setiadi yang mengemban jabatan Menteri Kominfo. Dengan dua gelar yang mengikuti namanya, yakni S.Sos., M.Si., Budi Arie terbukti tidak memiliki latar belakang pengalaman atau pendidikan keamanan siber. Pengalamannya di luar bangku sekolah dan kuliah pun tidak membantu. Ia pernah menjadi Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) PDI-P Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI) pada 2005-2010. Kemudian ia mendirikan relawan Pro Jokowi (Projo) pada Agustus 2013. 

Tidak hanya Menteri Kominfo yang dengan mirisnya tidak memiliki latar belakang di bidang teknologi informasi, Hinsa Siburian sebagai Kepala BSSN juga demikian. Ia adalah sosok yang tangguh dan menjadi lulusan terbaik Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)  tahun 1986. Pangkat terakhirnya sebagai Letjen menunjukkan kegemilangan karir militernya. Lantas bagaimana hal tersebut dinilai linier dengan tugas-tugasnya sebagai Kepala BSSN yang harus memahami cara mengatasi kejahatan siber yang rumit.

Kondisi ini menciptakan celah besar dalam pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan yang berkaitan dengan keamanan data. Pengetahuan yang seharusnya didasarkan pada pengetahuan teknis dan pertimbangan keamanan sering kali diambil berdasarkan kepentingan politik atau ekonomi jangka pendek. Akibatnya, upaya untuk memperkuat keamanan siber menjadi setengah hati dan tidak efektif. Hal tersebut kemudian memungkinkan terjadinya kecacatan secara terus-menerus di dalam tubuh Kementerian Kominfo.

Kecacatan yang seolah tidak hendak dihentikan ini tentu saja memiliki dampak jangka panjang yang serius, salah satunya adalah kepercayaan publik terhadap instansi pemerintah yang sudah buruk akan semakin menurun. Selain melahirkan budaya masyarakat yang skeptis terhadap pemerintah, kebocoran data ini juga mampu berakibat pada kerugian finansial. Individu yang menjadi korban kebocoran data sering kali harus menghadapi berbagai masalah mulai dari pencurian identitas hingga penipuan.

Tak hanya itu, kebocoran data yang terus terjadi sangat mungkin mengakibatkan tercorengnya reputasi Indonesia di mata internasional. Kemampuan Indonesia dalam mengelola dan melindungi data akan dipertanyakan sehingga turut berpengaruh pada iklim investasi dan kerjasama internasional, terutama di sektor teknologi dan digital.

Selain faktor orang-orang di dalam struktur Kementerian Kominfo yang mulai diperbincangkan, ada faktor lain yang tidak kalah menarik perhatian, yakni anggaran dana belanja. Berdasarkan yang dipaparkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada konferensi pers APBN KiTA, Kamis (27/6/2024), anggaran belanja Kominfo mencapai 4,9 triliun untuk kapasitas satelit, palapa ring, serta pemeliharaan PDN dan Base Transceiver Station (BTS).

Dana yang seharusnya digunakan untuk memperkuat infrastruktur keamanan siber dan meningkatkan proteksi data justru dipertanyakan efektivitasnya. Apalagi secara jelas disebutkan salah satu tujuan dari anggaran tersebut adalah untuk pemeliharaan PDN yang malah berujung pada peretasan. Akhirnya muncul pertanyaan-pertanyaan bernadakan keraguan dari masyarakat. Tuduhan penggelapan dana tentu saja menjadi topik yang mengudara dengan bebas. Masyarakat tidak bisa disalahkan begitu saja atas beredarnya desas-desus tersebut. Dalam hal ini, transparansi penggunaan dana memang sangat diperlukan untuk memastikan alokasi anggaran tersebut sesuai dan berdampak langsung pada peningkatan keamanan data.

Dengan anggaran yang sudah sedemikian besar, belum lagi gaji serta tunjangan pejabatnya yang turut menjadi sorotan, tentu sah bagi masyarakat untuk mengharapkan  kinerja yang optimal. Maka respons pasrah yang diberikan pemerintah dianggap tidak etis dan tidak bertanggung jawab atas kekacauan yang melenyapkan 98% data publik tanpa back up. Premis “Kominfo, m nya makan gaji buta” menjadi ide yang disetujui publik dan objek tertawaan sekaligus wujud kekecewaan masyarakat.

Dalam situasi yang kritis ini, Kominfo harus segera melakukan evaluasi mendalam.  Kepercayaan publik harus dipulihkan melalui perbaikan kinerja yang memastikan tidak terulangnya insiden-insiden serupa. Data masyarakat berhak mendapat perlindungan yang memadai. Penempatan posisi jabatan sampai transparansi alokasi anggaran perlu menjadi perhatian dalam evaluasi. Hanya dengan komitmen dan tindakan nyata, Kominfo dapat menunjukkan bahwa mereka layak mengemban tanggung jawab besar pada era digital ini. 

Penulis : Allegra

Editor : Fajri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top