Beberapa hari lalu dunia maya dihebohkan dengan kematian seorang dokter sekaligus mahasiswi berinisial ARL dari Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang.
Informasi yang beredar, almarhumah melakukan bunuh diri dengan menyuntikan obat penenang ke tubuhnya, tetapi informasi ini segera dibantah oleh pihak kampus melalui Siaran Pers bertanggal 15 Agustus 2024. Pihak kampus menduga almarhumah menyuntikkan obat ke tubuhnya dengan maksud agar mudah tidur dan istirahat, kita bisa berdebat tentang apakah almarhumah melakukan bunuh diri atau tidak, atau berdebat tentang apa penyebab kematiannya sambil menunggu penyelidikan lebh lanjut.
Namun, fakta yang tak bisa dipungkiri adalah segala kesulitan dan tekanan yang dirasakan oleh almarhumah berkaitan erat dengan adanya bullying atau perundungan yang dilakukan oleh para seniornya di PPDS yang kemudian Humas Undip membantah adanya perundungan tersebut.
Ditutupnya PPDS Anestesi Undip oleh Kementerian Kesehatan sendiri sebenarnya sudah menunjukan bahwa perundungan itu benar adanya, dapat diliat dari bagaimana mereka yang diminta keterangan dibungkam oleh senior mereka, maka sudah tak perlu ditutupi lagi bahwa kultur kerja dan belajar di PPDS Anestesi memang toxic dan tidak wajar.
Beberapa informasi yang saya temukan di media sosial X mengenai kultur tata krama di PPDS Anestesi Undip antara lain: Selalu sebut “Ijin” bila bicara dengan senior, Semester nol hanya boleh bicara dengan semester satu, dilarang keras bicara dengan semester di atas, kecuali bila senior yang bertanya langsung.
Juga ada beberapa aturan lain seperti: handphone dilarang off, wajib on 24 jam; setiap ada pesan Whatsapp harus segera respon; jika senior menelpon lalu tidak diangkat, maksimal batas menelpon tiga kali. Informasi yang saya dapat ini bisa benar atau keliru, akan tetapi dari informasi yang beredar memang perlu adanya investigasi lebih lanjut dari pihak berwenang.
Bagi nalar saya, aturan-aturan seperti bicara langsung ke senior dsb. itu aneh dan berlebihan, mungkin melebihi senioritas yang ada di Akademi Militer, mungkin juga karena saya terbiasa dengan kultur di kampus budaya tercinta yang egaliter dengan sesama.
Sekilas dari kasus yang sedang hangat dibicarakan ini ada beberapa hal yang perlu kita garis bawahi demi membangun kultur akademik yang sehat di Fakultas Kedokteran.
Pertama, perlu adanya perhatian dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, meski PPDS itu merupakan ranah kerja dari Kementerian Kesehatan, kita perlu ingat bahwa almarhumah merupakan mahasiswa dan memiliki nomer induk mahasiswa di kampus yang bernaung dibawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pihak-pihak terkait perlu melakukan pengawasan dan pengungkapan tentang masalah perundungan ini.
Kedua, pihak Undip tak perlu menutupi adanya budaya perundungan yang ada di lingkungan PPDS Anestesi atau di program-program serupa, telah nyata adanya korban sebagai akibat dari perundungan itu. Janganlah atas nama baik kampus lantas menutupi atau memutar balikan fakta yang ada.
Jika benar, Prof Suharnomo selaku rektor Undip menegaskan bahwa Fakultas Kedokteran Undip menerapkan kampanye “Zero Bullying”, sebagaimana yang diklaim pada siaran pers 15 Agustus lalu, maka pak rektor harus siap memecat atau men-drop-out mereka yang terbukti terlibat dalam kasus perundungan yang ada sebagai konsekuensi klaim “Zero Bullying” tadi. Harapan saya, Pak Rektor tidak hanya pandai berjoget membersamai mahasiswa baru, tapi juga mau membersamai nasib mahasiswa yang ditindas oleh seniornya.
Ketiga, kita selaku mahasiswa yang sadar perlu mendukung upaya-upaya pengungkapan penindasan dan perundungan, baik oleh pihak unsur mahasiswa atau pihak di luar mahasiswa seperti Kementerian Kesehatan.
Dan keempat, yang paling penting adalah bagaimana setelah kasus ini diselesaikan, kita dapat mencegah kasus-kasus serupa. Bagamana PPDS Anestesi Undip bisa terbebas dari budaya toxic senioritas. Bagaimana bisa memutus tali dendam dari generasi ke generasi yang sudah mengakar selama bertahun-tahun.
Saya memang bukan orang yang berkecimpung di dunia kesehatan, akan tetapi saya yakin bahwa ada banyak cara yang bermartabat untuk membentuk mental seorang dokter spesialis.
Tabik.
Penulis: Faqiru Ilallah Muhamad Farhan Prabulaksono
Editor: Fajri