“Orang yang cinta fasisme adalah orang yang jiwanya zalim”
- Sukarno
Orientasi Diponegoro Muda Fakultas Ilmu Budaya (ODM FIB) pada tanggal 16 Agustus 2024 tercoreng oleh simbol kontroversial yang terbawa di lingkungan kampus budaya. ODM FIB yang merupakan acara pengenalan mahasiswa baru di lingkungan kampus budaya seharusnya berjalan dengan lancar tanpa hambatan, namun timbul suatu ganjalan. Hal itu terlihat ketika ada oknum yang dengan santainya membawa sebuah bendera Nazi dan potret Hitler sang pemimpin partai tersebut kedalam rangkaian acara ODM FIB . Seperti yang diketahui secara populer, Nazi dan Hitler erat kaitannya dengan fasisme. Bila kita telisik lebih dalam ideologi ini bertentangan dengan ideologi dan jiwa bangsa Indonesia.
Fasisme adalah paham yang mengedepankan superioritas bangsa sendiri di atas bangsa lain, yang berkembang pesat menjelang Perang Dunia II. Ideologi ini pertama kali terkenal di Italia dengan tokoh pentingnya, Benito Mussolini. Selanjutnya, fasisme menyebar ke Jerman dan Jepang. Setelah Jerman kalah dalam Perang Dunia I, negara tersebut dipimpin oleh rezim Republik Weimar, namun pemerintahan ini tidak bertahan lama akibat ketidakpuasan rakyat. Akhirnya, muncul kekuatan baru yang didominasi oleh Partai Nazi. Pemimpin partai tersebut, Adolf Hitler, menggunakan fasisme sebagai alat politiknya. Pada saat itu, Nazi dan Hitler dipandang sebagai penyelamat oleh rakyat Jerman yang berada dalam kondisi putus asa.
Pemerintahan Hitler bercorak totalitarisme bertangan besi yang menghasilkan kengerian tersendiri dalam menjalankan negara. Bermacam teror menyebar ke seluruh negeri Jerman ketika Nazi memegang kendali. Mereka yang memberantas para penentang sang fuhrer dengan cepat. Para oposisi tidak berkutik kala itu, hasilnya menyisakan mereka yang hanya patuh kepada penguasa. Kediktatoran sang Fuhrer membuat semua urusan harus berpusat kepadanya. Ekonomi, politik, budaya, hukum semua atas namanya. Asas akan kebangsaan berdiri di atas kemanusiaan dijadikan doktrin pakem negara. Suara petani tak dikenal, kuli tak bisa bicara, rakyat diam tanpa nada hanya tunduk pada ucapan Hitler semata. Demokrasi telah mati di Jerman, segala ucapan sang Fuhrer tidak pernah salah adalah semboyan mereka.
Ultranasionalis merupakan bagian dari sifat fasisme. Nazi menganggap kesempurnaan bangsa Arya adalah kemutlakan. Akibatnya bangsa non Arya mendapatkan diskriminasi seperti yang tercatat di sejarah. Terdapat begitu banyak persekusi terhadap orang etnis minoritas seperti bangsa Roma Gipsi, Slavia, Yahudi dan Polandia di masa Nazi berkuasa. Pengucilan, pengiriman ke kamp konsentrasi, sampai dijadikan objek eksperimen yang terangkum dalam tragedi Holocaust menunjukan bagaimana menderitanya suatu bangsa karena sikap yang begitu diskriminatif. Semua bangsa tidaklah sama, pemikiran semacam ini menolak kesetaraan dan keadilan. Paham tersebut sama sekali tidak cocok untuk Indonesia yang yang merupakan bangsa yang plural dan beraneka ragam.
Sikap superior dari ideologi fasisme membuat imperialisme dan penjajahan terhadap bangsa lain dibenarkan. Tentu hal itu berseberangan dengan sila kedua Pancasila “kemanusiaan yang adil dan beradab” yang mengisyaratkan sebagai manusia yang beradab janganlah merendahkan antar sesama manusia. Keadilan perlu ditegakkan antar umat sehingga tercipta harmoni bersama. Bilamana fasisme telah merasuk ke dalam sanubari kehidupan Indonesia bisa jadi di kemudian hari pecahlah persatuan di tanah ibu pertiwi.
Sukarno sendiri mencerca Fasisme dalam tulisannya yang dimuat di majalah Panji Islam tahun 1940 yang berjudul “Indonesia versus Fasisme”. Dia menyebutkan bahwa jiwa Indonesia bertolak belakang dengan jiwa fasisme. Sukarno menganggap jiwa Indonesia itu ialah jiwa yang demokrasi dan kerakyatan berbeda dengan fasisme yang anti terhadap keduanya. Fasisme yang anti kerakyatan terlihat dari pandangan manusia tidak memiliki hak yang sama. pemerintahan diktator memutuskan segala macam urusan tanpa butuh rakyat untuk memberi tanggapan. Rakyat tak ubahnya cuma alat yang bisa sembarangan dipakai bagi pemerintah fasis. Fasisme pula tak sejalan dengan demokrasi yang menganggap keadilan manusia sama rata. Kemanusiaan tersisihkan atas nama bangsa. Kejayaan, kedigdayaan dan kuasa bangsa menyepelekan masalah manusia jelata seakan itu dianggap sebagai tumbal remeh temeh fasisme demi mencapai tujuan. Berbagai hal itu mengisyaratkan bahwasanya fasisme begitu tidak sejalan dengan jiwa bangsa Indonesia tercinta.
Begitu banyak mudaratnya fasisme ini. Atribut seperti bendera Nazi dan potret Hitler begitu melekat erat sebagai simbol fasisme yang beringas dan kejam. Panitia ODM FIB seharusnya bersih dari tindakan oknum yang membawa atribut tersebut. Entah apa yang melatar belakangi oknum itu membawa simbol fasisme ke muka publik tanpa urusan yang jelas. Namun, penyematan simbol fasisme di kampus budaya tak ayal menjadi noda dalam kegiatan tahunan yang diselenggarakan.
Panitia ODM sebagai pihak penyelenggara acara hendaknya lebih peka dan waspada terhadap kasus semacam ini. Perlu adanya aturan yang bisa mengakomodasi perihal terkait properti yang kontroversial. Dalam hal ini simbol Nazi memang tidak lebih menyeramkan dari logo palu arit di Indonesia. Namun demikian sebagai mahasiswa tentu seharusnya bisa mengetahui seberapa bermasalahnya simbol fasis ini jika muncul ke muka publik. Kewaspadaan panitia perlu ditingkatkan di acara mendatang sehingga tidak kecolongan terhadap insiden serupa.
Peran Senat Mahasiswa FIB juga bukan sekedar sebagai pengawas anggaran namun juga pengawas kegiatan mahasiswa kampus budaya seperti ODM FIB 2024. Dalam prakteknya jika terjadi situasi seseorang membawa simbol fasis ini ke dalam kegiatan mahasiswa di kampus budaya, seharusnya senat perlu segera melakukan tindakan. Tidak ada aduan tidak ada pergerakan, apakah hal tersebut merupakan kewajaran. Seyogyanya pengawas perlu aktif dalam dalam melihat suatu masalah yang timbul dan melakukan tindakan yang diperlukan untuk mengatasi hal tersebut. Senat diharapkan tidak hanya marah saat ada calon ketua BEM hendak disumpah Al-Qur’an tetapi juga marah saat ada orang-orang yang berpikiran pendek mengglorifikasi Hitler di lingkungan kampus.
Amat memalukan jika mahasiswa baru sejarah tidak melek terhadap rekam jejak sejarah Fasisme, Nazisme dan Hitler yang penuh darah dan bertentangan dengan jiwa bangsa Indonesia. Lagi pula amat aneh orang Jawa memuja-muja Hitler yang rasis, Hitler tentunya akan memandang rendah bangsa Jawa sebagaimana ia memandang rendah bangsa-bangsa non Arya lainnya, bagi Hitler orang Jawa tak jauh beda dengan bangsa-bangsa rendahan lainnya seperti bangsa Slavia misalnya, andaikata Nazi Jerman menguasai pulau Jawa saat Perang Dunia dulu pun pasti bangsa pribumi akan tetap diperbudak dan diludahi martabatnya.
Kampus budaya menjunjung tinggi nilai demokrasi dan kerakyatan Indonesia. Fasisme yang merupakan antitesis dari nilai yang dijunjung kampus budaya tidak seharusnya memiliki tempat dengan begitu leluasa. Pengungkapan simbol fasis tanpa urusan yang jelas di depan umum rasanya mencederai nilai yang telah dipegang FIB. Memang kelihatan sepele tetapi pembiaran yang berkelanjutan perlu dihentikan. Kejadian ini harus dijadikan pembelajaran sehingga kelak tidak terjadi kembali di masa depan yang lebih baik.
Penulis : Khusni Ijas
Editor: Farhan