Culture Cup merupakan acara tahunan di FIB yang dikomandoi oleh UKM-F, dalam acara tersebut terdapat lomba cabang olahraga (cabor) futsal, basket, badminton, dan voli. Teruntuk cabor voli terakhir kali diadakan pada tahun 2022. Nilai guna dari Culture Cup tentu saja diharapkan untuk terus menjadi wadah dalam meningkatkan minat dan bakat (non-akademik) para mahasiswa/i di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) . Culture Cup diikuti setiap program studi (Prodi) di FIB dengan mengirimkan delegasi di setiap cabor.
Culture Cup bukan acara gratisan karena venue yang digunakan harus disewa. Kecuali venue cabor badminton yang menggunakan Gedung Serba Guna FIB, jadi tidak mengeluarkan biaya. Tetapi, terdapat biaya-biaya untuk perangkat pertandingan seperti wasit, papan skor, kok badminton, sewa bola, air minum, alat medis dan lainnya. Sehingga setiap kontingen prodi wajib membayar biaya iuran Culture Cup yang telah didiskusikan dan ditentukan oleh penyelenggara bersama perwakilan di setiap jurusan.
Terdapat hal menarik perihal biaya yang wajib dibayar oleh setiap jurusan untuk Culture Cup. Adanya tradisi urun dana atau crowdfunding di setiap jurusan dengan meminta sumbangan dari perorangan mahasiswa.
Culture Cup Kurang Membudaya
Setelah vakum karena COVID-19 dan dimulai kembali secara offline di tahun 2022. Dimasa kini memandang Culture Cup dengan sudut pandang lain seperti melihat hanya acara hura-hura, tidak ada keseriusan membangun ekosistem minat dan bakat dari berbagai dimensi. Di tahun 2024, hanya terdapat tiga cabor dan dilaksanakan 1-2 hari per cabor. Apalagi pada sektor putri, cabor basket putri hanya terdapat 3 jurusan dan cabor futsal putri hanya 2 jurusan yang mengirim delegasi. Perlu digaris bawahi, bukan berarti jurusan yang tidak mengirim delegasi cabor sektor putri menandakan jurusannya tidak dihuni oleh mahasiswi yang mempunyai minat dan bakat, tapi minat dan bakatnya tidak berkorelasi dengan Culture Cup. Disamping itu, output lain dari Culture Cup yaitu mendelegasikan atlet-atlet pilihan tampil di acara ajang olahraga se-Universitas Diponegoro, yaitu Olimdipo. Namun, Olimdipo bukan hanya terdiri atas cabor futsal, basket, badminton, tapi ada cabor karate, voli, renang dan masih banyak lagi.
Mengapa dianggap hura-hura dan tidak ada keseriusan? Karena tidak ada perubahan yang signifikan dalam mengembangkan minat dan bakat para mahasiswa/i di FIB. Culture Cup kurang membudaya dalam arti masih minimnya komitmen mengeksistensikan minat dan bakat tertentu dari komunitas yang kecil sekalipun agar mendapatkan ‘panggung’. Diluar cabor futsal, basket dan badminton.
Di tahun 2024, perubahan hanya terjadi pada venue cabor futsal dan basket. Hal disayangkan lainnya yaitu Culture Cup 2024 yang diselenggarakan pada saat weekdays, menjadikan acara tersebut tidak dapat disaksikan oleh mereka yang tidak bertanding di Culture Cup karena bentrok dengan jadwal kuliah. Sehingga pesta dan atmosfer dari Culture Cup tidak dirasakan oleh warga FIB, hanya seperti angin lalu. Karena acara Culture Cup dilaksanakan sekali dalam setahun, jadi sangat sedihnya rasanya jika kemeriahannya hanya dirasakan sedikit orang. Oiya, jika terus-terusan seperti ini, sedikit saran untuk mengubah nama menjadi Culture Sport Cup. Mengingat tiga tahun belakangan hanya menyelenggarakan lini keolahragaan.
‘Memulai Sedikit’ Adalah Jalan Terbaik
Pastinya mahasiswa/i di FIB mempunyai minat dan bakat yang sangat beragam, bukan hanya futsal, basket dan badminton. Hanya saja tidak ada wadah sekecil dan sedetikpun untuk mengasah minat dan bakat mereka. Pemilihan cabor untuk Culture Cup dengan paradigma dasarnya yaitu mementingkan cabor yang ada ‘pasar’ atau penonton banyak, karena lebih menguntungkan dan memberikan engagement yang tinggi. Jika benar ada paradigma semacam itu, rasanya pemikiran seperti itu haruslah dihancurkan. Pada kenyataannya, cabor basket dan futsal menelan biaya yang mahal, jauh lebih murah seandainya dibuat kompetisi monolog, membaca puisi, stand up, pantomim, live sketching, debat, e-sport, esai, solo dance, dan catur.
Mengapa murah? Lomba semacam puisi, stand up, pantomim, monolog, live sketching, catur cukup dilakukan di Crop Circle FIB atau disudut-sudut kampus yang bisa dilihat orang banyak. Apalagi sekarang sudah ada gedung Art Center yang merupakan milik FIB. Untuk perlengkapannya yang dasar-dasar saja dulu, seperti mic, sound dan kopi enak. Perihal juri tidak perlu sewa-sewa dari luar fakultas, ada dosen-dosen dari Sastra Indonesia, Sejarah atau Antropologi. Bayangkan betapa riuhnya pesta Culture Cup yang dapat diakses secara mudah dan cuma-cuma oleh warga FIB. Timbul pertanyaan baru, bagaimana kalau jumlah peserta hanya sedikit? Lho itu pertanyaan yang menghina sekali. Kalau ada 3 jurusan yang mengirim delegasi untuk cabor monolog, ya sudah lanjutkan saja, jangan diberhentikan atas dasar sepi peserta.
Lalu bagaimana dengan cabor futsal, basket, badminton? Lebih baik dibuatkan liga. Di tahun 2023 wacana tersebut pernah muncul, namun entah mengapa tidak terealisasi. Format liga lebih cocok untuk menciptakan atlet-atlet kompeten, karena para pemain diasah bertanding secara konsisten dan berkelanjutan, tidak hanya bertanding dalam satu ada dua hari saja. Perihal membuat liga, sinergi antar bidang minat dan bakat (Mikat) di setiap himpunan jurusan menjadi kunci utama agar berjalan lancar.
Tentu bukan hal mudah mereformasi Culture Cup, karena terdapat faktor-faktor seperti terbatasnya anggaran, minimnya dukungan dari Dekanat, tempat penyelenggaraan dan sumber daya manusia yang memadai. Tapi tidak ada salahnya untuk memulai, setidaknya mulai merancang peta konsep agar bisa dieksekusi oleh generasi selanjutnya di tahun depan. Sehingga pesta Culture Cup tidak lagi hanya dirasakan oleh sedikit orang, tapi seluruh warga Kampus Budaya. Langkah kecilnya dapat dimulai dengan mengganti nama Culture Cup menjadi Pekan Olahraga dan Seni (POS) FIB.
Tulisan ini tidak mengandung unsur merendahkan, hanya sebuah saran untuk ekosistem non-akademik dan akademik supaya bisa berjalan seimbang serta berkelanjutan di Kampus Budaya, FIB. Jaya, Jaya, Jaya!
Penulis: Zenit Damar Boer (Kontributor)
Editor: Farhan