Kolektif Hysteria menggelar acara Diskusi Launching Hysteria Magazine Edisi 104 dengan tema “Urgensi Kemajuan Kebudayaan” pada Minggu (22/9) di Taman Budaya Raden Saleh, Kota Semarang, Jawa Tengah.
Diskusi tersebut berangkat dari tema utama majalah “Mengarak Masa Depan Kebudayaan Lewat Undang-Undang Kebudayaan”. Tema ini mengangkat tentang Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan yang telah mangkrak selama berpuluh-puluh tahun.
Diskusi tersebut diadakan bertepatan dengan rangkaian ulang tahun Hysteria yang ke-20 tahun selama aktif di Semarang. Selain itu, diadakan pula penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang dilakukan pada tahun 2024.
Aris Eka Kurniawan, Pemimpin Redaksi dari Tim Majalah Hysteria mengatakan bahwa Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan baru disahkan pada tahun 2017.
Hal ini memberi arti bahwa isu-isu kebudayaan atau kesenian selalu menjadi anak tiri. Padahal kebudayaan bisa menjadi landasan dasar untuk bangsa Indonesia tumbuh besar.
“Bagaimanapun kebudayaan, sebenarnya bisa dijadikan ketika bangsa ini merdeka dari penjajahan, hal itu menjadi landasan dasar bagaimana kemudian bangsa ini tumbuh menjadi bangsa yang besar, hal itu baru tercapai tahun 2017. Itu artinya selama ini, isu-isu kebudayaan atau kesenian selalu menjadi anak tiri,” ucapnya.
Oleh karena itu, Aris Eka Kurniawan menambahkan bahwa ini adalah momen menggembirakan karena kebudayaan telah memiliki landasan regulasi yang berefek pada gerak kebudayaan khususnya bagi para seniman, seni tari, pelaku-pelaku kesenian, seni tradisi, dan seni perfilman.
“Ini adalah momentum yang menggembirakan bagi kami ketika kebudayaan benar-benar mempunyai landasan regulasi, dimana itu nantinya berefek pada gerak kebudayaan, terutama untuk para seniman, pelaku kesenian-kesenian seni tari, seni tradisi, seni perfilman,” tambahnya.
Diskusi tersebut juga membahas tentang permasalah Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) khususnya daerah Semarang.
Dewi Lestari sebagai pelaksana program sekaligus penyusun Hysteria Magazine 104 mengatakan bahwa PPKD khususnya kota Semarang banyak data-data yang kosong.
Hal itu mengakibatkan pelaku seni budaya mengalami kesulitan untuk mengakses ruang dan anggaran dari Pemerintah Daerah (Pemda).
“Data-datanya banyak yang kosong dan itu berakibat pada kesulitan pelaku seni budaya untuk mengakses ruang dan juga mungkin anggaran dari Pemda, kalo misalkan kita mengutip dari koalisi seni itu sendiri, Peraturan Daerah (Peraturan Daerah) itu ngga wajib di daerah-daerah, tapi pada kenyataannya Perda itu dibutuhkan, misalkan Dewan Kesenian,” ungkap Dewi.
Dewi berharap setelah acara diskusi ini, antara dinas dan seniman bisa saling bekerja sama, serta mengawal satu sama lain. Selain itu, Dewi juga ingin mahasiswa lebih sadar akan dinamika budayanya sendiri.
“Dinas itu nggak bisa kerja sendiri dan seniman juga sebenernya nggak bisa kalo kerja sendirian gitu, loh. Kita itu ada sebenarnya, kita itu kayak saling terkait aja sebenernya. Jadi, untuk pengawalan isu-isu kebudayaan kita harus kawal bareng-bareng gitu, ngga bisa menggantungkan semuanya ke satu orang aja. Jadi, diharapkan dari acara malam ini teman-teman sebagai mungkin mahasiswa pada khususnya bisa lebih sadar akan dinamika kebudayaan kita sendiri,” imbuh Dewi.
Zama, mahasiswa Universitas Dian Nuswantoro (UDINUS) yang hadir pada diskusi tersebut mengeluhkan pengalamannya yang sempat mengalami kesulitan saat akan melakukan pentas drama teater.
Ditambah lagi harga sewa yang mahal di daerah Semarang maka dia berharap mendapat kemudahan dalam fasilitas dan mengajukan anggaran kebutuhan pementasan.
“Kalau harapannya dimudahkan untuk fasilitas tempat, ya. Minimal buat fasilitas tempat buat kita adakan pementasan atau suatu kegiatan event kesenian di Semarang, terus juga kalau bisa kita sedikit untuk dapat mengajukan anggaran buat kebutuhan pementasan di ranah kampus gitu,” jelasnya.
Reporter : Diaz dan Akmal
Penulis : Diaz
Editor: Amel