Tiga Gejala Situasi Revolusioner: Akankah Indonesia Bernasib Seperti Sri Lanka dan Bangladesh?

Dok: diplomatmagezine.eu/Prothom Alo

Selama Agustus 2024 ini, Indonesia dilanda beberapa aksi demonstrasi besar. Aksi-aksi ini merupakan respons gerakan rakyat terhadap upaya Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dalam membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas calon usia kepala daerah dan batas suara partai untuk pencalonan kepala daerah.

Menariknya, pada tanggal 5 Agustus 2024 sebelum kejadian demonstrasi rakyat Indonesia, rakyat negara Bangladesh berhasil melakukan aksi demonstrasi dan melengserkan Perdana Menteri negara mereka, Sheikh Hasina. Menariknya lagi, ini bukan pertama kali aksi rakyat di negara Asia Selatan menjatuhkan pemerintahan negaranya pada dekade 2020-an. Dua tahun sebelumnya dari Maret sampai Juli 2022 di Sri Lanka, aksi demonstrasi rakyat juga berhasil memaksa Presiden Gotabaya Rajapaksa dan Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa untuk mundur dan membuat mereka mengasingkan diri dari ancaman amukan rakyat Sri Lanka.

Pemerintahan dua negara di Asia Selatan ini selama dua tahun terakhir akhirnya jatuh karena rakyat yang sudah muak terhadap pemerintahannya yang otoriter dan korup. Situasi politik dan ekonomi yang memburuk menjadikan alasan rakyat Bangladesh dan Sri Lanka untuk melakukan aksi demonstrasi hingga revolusi. Dua revolusi ini menimbulkan sebuah pertanyaan, apakah Indonesia akan mengalami nasib yang sama?

Sri Lanka dan Bangladesh memiliki situasi yang paralel, Sri Lanka yang dikuasai oleh Dinasti Keluarga Rajapaksa dan Bangladesh yang dipimpin oleh Perdana Menteri Sheikh Hasina. Kedua pemimpin negara ini telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia dan menimbulkan krisis dari segi ekonomi dan politik. Sri Lanka sejak tahun 2005-2015 dan 2019-2022 berada dalam kekuasaan Keluarga Politik Rajapaksa yang awalnya membawa stabilitas bagi Sri Lanka setelah perang saudara, akan tetapi Dinasti Rajapaksa juga membawa bencana bagi Sri Lanka karena tindakan korupsi, nepotisme, brutalitas aparat, dan mismanajemen kebijakan pemerintahan.

Sheikh Hasina, yang menjabat sebagai Perdana Menteri Bangladesh dari tahun 1996 hingga 2001 dan 2009 hingga 2022, pernah dipuji sebagai ikon pejuang demokrasi karena perjuangannya melawan pemerintahan junta militer (dikuasai oleh militer). Namun, memasuki masa jabatan keduanya sebagai perdana menteri sejak 2009 hingga 2024, ia mulai menunjukkan tanda-tanda kepemimpinan otoriter. Beberapa kebijakan yang ia terapkan, seperti salah kelola ekonomi yang memicu inflasi dan pengenalan sistem kuota pegawai negeri sipil yang kontroversial, mendapat banyak kritik. Selain itu, insiden kekerasan yang menyebabkan kematian mahasiswa, aktivis, dan masyarakat yang kemudian dikenal sebagai “Pembantaian Juli” pada tahun 2024, semakin memperburuk citranya.

 

Di tengah krisis tersebut, muncul gerakan protes di Bangladesh yang menuntut perubahan, mirip dengan protes di Sri Lanka yang dikenal dengan nama “Aragalaya” atau “Perjuangan.” Pada awalnya, gerakan di Bangladesh yang dimulai pada tahun 2022 belum memiliki nama resmi, tetapi pada tahun 2024, gerakan tersebut mulai dikenal dengan sebutan “Gerakan Revolusi Juli” yang kemudian berkembang menjadi “Gerakan Non-Kooperasi.”

Kedua tujuan aksi ini sama, yakni menuntut paksa rezim pemerintah untuk turun dari jabatan mereka.

Gerakan rakyat di Bangladesh dan Sri Lanka memang memberikan pelajaran penting tentang bagaimana kekuatan masyarakat yang bersatu dapat menumbangkan rezim otoriter dan memulihkan demokrasi. Di Sri Lanka, keberhasilan gerakan “Aragalaya” terjadi berkat mobilisasi luas dari berbagai elemen masyarakat, mulai dari mahasiswa, partai oposisi, diaspora, buruh, profesional, pemuka agama, hingga veteran perang. Meskipun kelompok-kelompok ini memiliki pandangan yang berbeda, mereka bersatu dengan satu tujuan utama, yaitu mengembalikan demokrasi di negara mereka. Peran media sosial sebagai alat penggerak yang memobilisasi masyarakat secara efektif juga menjadi faktor kunci. Formula ini kemudian diikuti oleh gerakan rakyat di Bangladesh yang juga mencapai keberhasilan serupa dengan memperkuat solidaritas lintas kelompok.

Apabila kita menerapkan analisis ini pada situasi di Indonesia, secara teoritis, gerakan rakyat seperti di Bangladesh dan Sri Lanka bisa mempengaruhi dinamika politik Indonesia, terutama jika terjadi situasi yang mendorong ketidakpuasan massal, seperti krisis ekonomi yang parah, kebijakan yang dianggap represif, atau penyalahgunaan kekuasaan yang berkelanjutan. Faktor kesuksesan di kedua negara ini, yaitu keterlibatan berbagai elemen masyarakat dan pemanfaatan media sosial, juga sangat relevan di Indonesia, dimana mahasiswa, buruh, kelompok masyarakat sipil, dan pemuka agama memiliki sejarah panjang dalam memimpin gerakan protes. Namun, perlu diingat bahwa setiap negara memiliki kondisi sosial, politik, dan budaya yang berbeda.

Di Indonesia, gerakan serupa dapat berhasil jika mampu menyatukan berbagai elemen masyarakat yang memiliki tujuan sama. Namun, tantangan seperti fragmentasi politik, dinamika etnis, dan peran aktor-aktor politik tertentu dapat mempengaruhi keberhasilannya. Gerakan besar seperti Reformasi 1998, yang menggulingkan Soeharto, menunjukkan bahwa rakyat Indonesia memiliki potensi untuk bersatu dalam menuntut perubahan, tetapi momentum dan penyebabnya harus kuat dan jelas seperti yang terjadi di Sri Lanka dan Bangladesh.

Indonesia memang sudah memiliki elemen-elemen penting untuk memicu gerakan massa, seperti serikat buruh, mahasiswa, aktivis, tokoh politik, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), serta jaringan media sosial yang aktif dalam memobilisasi netizen. Semua ini merupakan fondasi kuat untuk menggerakkan perubahan, sebagaimana yang terjadi di Bangladesh dan Sri Lanka. Namun, perbedaan mendasar di Indonesia adalah bahwa tujuan utama demonstrasi sebelumnya lebih bersifat parsial, seperti pembatalan RUU Pilkada atau isu-isu tertentu, bukan gerakan yang menyasar perubahan sistemik yang lebih luas, seperti pengembalian demokrasi secara keseluruhan.

Meski situasi ekonomi Indonesia mulai menunjukkan tanda-tanda kelesuan serta kebebasan berbicara serta berpendapat terancam, aksi represif oleh aparat keamanan setempat seringkali menjadi faktor yang membatasi ekspresi masyarakat. Namun, jika kondisi ekonomi semakin memburuk—seperti inflasi yang tinggi, pengangguran yang meningkat pesat, atau ketimpangan ekonomi yang semakin terasa—dan kebebasan sipil terus ditekan, kemungkinan besar gerakan massa yang lebih besar bisa terjadi di masa depan.

Faktor penting untuk kesuksesan gerakan massa di Indonesia adalah sejauh mana berbagai kelompok tersebut dapat bersatu di bawah panji tujuan yang sama. Jika gerakan hanya terbatas pada isu-isu tertentu tanpa menyentuh akar masalah, seperti korupsi sistemik atau pelanggaran hak asasi manusia yang meluas, kemungkinan besar gerakan tersebut tidak akan mencapai momentum besar seperti yang terjadi di Sri Lanka atau Bangladesh. Namun, bila kepentingan berbagai elemen masyarakat bisa disatukan di bawah satu tujuan yang lebih besar, terutama dalam konteks krisis ekonomi atau pengekangan kebebasan politik, gerakan massa yang lebih besar mungkin tak terhindarkan.

Nasib akhir perjuangan rakyat Bangladesh dan Sri Lanka memang berbeda. Menurut artikel “Why Bangladesh didn’t go the Sri Lanka way?” dari “The Hindustan Times,” disebutkan bahwa Sri Lanka telah menunjukkan komitmen terhadap demokrasi, sementara di Bangladesh, komitmen tersebut masih lemah karena pengaruh militer yang sering ikut campur. Sepanjang sejarah politik Bangladesh, telah terjadi beberapa kudeta, termasuk pada tahun 1975, 1982, dan 1996, serta pemberontakan oleh perwira militer lainnya. Pertanyaan apakah Bangladesh akan kembali jatuh ke tangan pemerintahan junta masih belum terjawab. Namun yang jelas, militer akan selalu memiliki peran dalam politik negara berkembang, termasuk Indonesia.

Guna memahami kondisi Indonesia kedepannya maka kita perlu membaca kondisi saat ini, munculnya kelesuan ekonomi, bayang-bayang ancaman kebebasan berpendapat dan pelanggaran konstitusi. Situasi seperti ini akan semakin parah karena pemerintahan Prabowo akan terus melanjutkan kebijakan neoliberalisme Jokowi/Mulyono. Situasi yang semakin parah berarti mematangnya situasi revolusioner rakyat Indonesia.

Secara lebih lanjut, Lenin pada tahun 1915, dalam tulisannya yang berjudul “The Collapse of the Second International” menjelaskan bahwa:

“Bagi seorang Marxis, tidak dapat dibantah bahwa sebuah revolusi tidak mungkin terjadi tanpa sebuah situasi revolusioner; lebih jauh lagi, tidak semua situasi revolusioner akan mengarah pada revolusi. Secara umum, apa saja gejala-gejala dari sebuah situasi revolusioner? Kita tentu tidak akan salah jika kita mengindikasikan tiga gejala utama berikut ini: (1) ketika kelas-kelas yang berkuasa tidak mungkin mempertahankan kekuasaan mereka tanpa perubahan; ketika ada krisis, dalam satu atau lain bentuk, di antara “kelas-kelas atas”, sebuah krisis dalam kebijakan kelas yang berkuasa, yang mengarah pada sebuah celah di mana ketidakpuasan dan kemarahan kelas-kelas yang tertindas meledak. Agar revolusi dapat terjadi, biasanya tidak cukup hanya dengan “kelas bawah tidak ingin” hidup dengan cara yang lama; perlu juga bahwa “kelas atas tidak dapat” hidup dengan cara yang lama; (2) ketika penderitaan dan kekurangan dari kelas tertindas telah menjadi lebih parah dari biasanya; (3) ketika, sebagai konsekuensi dari sebab-sebab di atas, ada peningkatan yang cukup besar dalam aktivitas massa, yang tanpa mengeluh membiarkan diri mereka dirampok di “masa damai”, tetapi, di masa-masa yang penuh gejolak, ditarik baik oleh semua keadaan krisis maupun oleh “kelas-kelas atas” itu sendiri ke dalam aksi historis yang independen.”

Lenin menekankan bahwa supaya revolusi atau perubahan kekuasaan dapat benar-benar terjadi, harus ada krisis dalam tatanan kekuasaan yang membuat kelas atas atau kelas penguasa tidak lagi mampu memerintah seperti dulu, penderitaan kelas bawah harus mencapai tingkat yang tak tertahankan, dan massa harus siap mengambil tindakan aktif secara kolektif, revolusi adalah hasil dari kondisi material dan krisis dalam struktur sosial, politik, dan ekonomi yang ada, bukan hanya sekedar hasil dari agitasi politik atau ideologi. Ketiga gejala dan katalis yang Lenin sebutkan diatas sedang tumbuh dalam tubuh negara Indonesia.

Kembali ke pertanyaan awal, apakah Indonesia akan bernasib sama seperti Sri Lanka dan Bangladesh? pertanyaan ini perlu menjadi catatan bagi gerakan rakyat sipil di Indonesia, gerakan rakyat perlu membawa wacana yang lebih mendasar dan radikal, yang mampu menyatukan berbagai lini gerakan rakyat yang selama ini terkotak-kotak dalam berbagai wadahnya masing-masing.

 

Penulis: Mahes, Farhan.

Editor: Fajri

 

.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top