Jawa merupakan kelompok etnis terbesar di Indonesia yang berasal dari Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Jawa juga terbagi lagi menjadi menjadi kelompok-kelompok berdasarkan kebudayaannya masing-masing, seperti: Jawa Mataraman, Jawa Arek, dan lain sebagainya.
Masyarakat Jawa dalam perjalanan panjang sejarahnya banyak melalui berbagai masa, mulai dari prasejarah hingga kontemporer. Suatu masa yang paling panjang dalam peradaban Jawa adalah masa dimana feodalisme mencengkram hampir seluruh sendi kehidupan masyarakatnya.
Feodalisme memiliki asal kata dari kata feodum yang berarti tanah. Tanah adalah aset yang penting bagi suatu entitas dari masa prasejarah hingga saat ini. Orang laut yang dibahas dalam bukunya A.B. Lapian “Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut” merupakan kelompok-kelompok yang hampir seluruh hidupnya berada di perahu ternyata tetap memerlukan tanah untuk keperluan kehidupan domestiknya. Tanah diibaratkan sebagai “Ibu Pertiwi” yang menghidupi. Dalam kepercayaan Hindu, tanah atau bumi menjadi salah satu dari tujuh sosok ibu yang memberikan semuanya kepada anak-anaknya untuk bertahan hidup.
Tanah adalah sesuatu yang berharga hingga sosok yang mendeklarasikan dirinya sebagai raja di Jawa mengklaim sebagai penguasa tunggal atas tanah. Penguasaan raja secara tunggal atas tanah itu disebut sebagai “Vorsten Domain”. Seorang raja Jawa bermula dari penguasaannya atas tanah yang kemudian bertransformasi menguasai seluruh kehidupan sosial, budaya, dan politik masyarakatnya.
Raja membuat berbagai instrumen peraturan, seperti: penggunaan bahasa yang bertingkat-tingkat sesuai stratifikasi masyarakatnya, proyek memperhalus budaya, dan berbagai produk dalam istana lain yang semakin memperlemah posisi rakyat kecil dan semakin meningkatkan nilai prestise penguasa dan legitimasinya di muka umum.
Dalam tradisi keraton-keraton yang ada di Jawa, umumnya terdapat juru tulis bernama “pujangga”. Pujangga sering diperintah oleh raja Jawa untuk menuliskan kisah-kisah sejarah tentang keagungan kerajaan yang bercorak istanasentris. Kisah-kisah itu secara tidak langsung menjadi doktrin yang secara ironi sebagian ceritanya masih melekat dalam alam pikiran orang Jawa, contohnya “Babad Tanah Jawi” yang sebagian orang Jawa mempercayainya sebagai fakta historis.
Ironinya pada masa kini justru tradisi penulisan sejarah yang bercorak istanasentris masih terjaga dan dilestarikan terus oleh beberapa oknum dalam atau luar istana dengan tujuan untuk meningkatkan nilai prestise raja-raja di keraton Jawa. Penulisan sejarah tersebut tentunya dengan menggunakan metode ala kadarnya dan jauh dari fakta sejarah.
Kekuasaan raja Jawa yang overpower sangat memungkinkan dirinya untuk berbuat zalim. Rijklof van Goens, seorang duta VOC saat berada di Mataram masa Amangkurat I menyatakan bahwa terdapat pembantaian 6.000 orang yang terdiri dari santri, ulama, dewasa, maupun anak-anak selama kurun waktu kurang dari setengah jam. Motif pembantaiannya adalah dugaan makar. Theodore G. Th. Pigeaud dan H.J. de Graaf menyatakan bahwa Amangkurat I sebagai raja Jawa juga pernah menghukum pembantu wanita dari istrinya yang telah meninggal (Ratu Malang) dengan memasukkan mereka ke kerangkeng bambu hingga meninggal kelaparan.
Raja Jawa di era kontemporer ini juga sempat disindir oleh Bahlil, Ketua Umum Partai Golkar yang baru. Bahlil menyatakan jika berani bermain-main dengan seorang raja Jawa akan jadi celaka. Warisan nilai-nilai feodalisme yang diilhami oleh raja-raja Jawa terdahulu yang sangat otoritarianisme belum luntur.
Perampasan hak-hak rakyat yang menggila di masa Orde Baru dan pemimpin yang hobi memainkan peraturan secara sewenang-wenang merupakan salah satu contoh nilai-nilai raja Jawa masih melekat di hati pemimpin negeri ini.
Peristiwa Lengkong yang terjadi di Kecamatan Lengkong Nganjuk merupakan salah satu contoh perampasan hak rakyat oleh kelompok pemimpin era Orde Baru. Peristiwa itu bermula saat 39 petani ditembaki oleh aparat keamanan pada 6 Maret 1996.
Peristiwa serupa juga terjadi di Lengkong pada September 1996 saat 320 aparat melaksanakan kegiatan “polisionil” ke rumah-rumah petani blandong dengan dalih mengurangi kerusakan konservasi hutan. Dalam Majalah Pembebasan No. III/ Januari 1997, hlm. 21 menyebutkan bahwa sasaran aksi aparat adalah petani melarat yang dituduh sebagai blandong. Blandong merupakan istilah bagi pekerja kayu yang pada masa kolonial disebut sebagai Blandong-Volkerens, yaitu tenaga kerja pribumi yang dipekerjakan untuk menebang kayu dan menarik kayu-kayu dari hutan. Istilah “blandong” berubah menjadi negatif pada masa pasca kolonial, yaitu seseorang yang menjadi pelaku illegal logging di hutan. Contoh lainnya yang terjadi sepanjang kepemimpinan Orde Baru sangat banyak, katakanlah seperti Dwi Fungsi ABRI, eksistensi GOLKAR hingga ke pelosok desa, ketidakbebasan media, dan sebagainya yang bertujuan untuk mengamankan hidup kroni penguasa belaka.
Paruh awal abad ke-21, Indonesia disuguhi dengan Presiden Joko Widodo. Raja Jawa sebagai presiden yang menjabat dengan masa jabatan 10 tahun melahirkan banyak kebijakan yang mengkhawatirkan kebanyakan masyarakat Indonesia. Menurut Jimly Asshiddiqie kebijakan yang dibuat DPR pada masanya menunjukkan adanya gejala Diktator Konstitusional.
Banyak kebijakan yang dihasilkan oleh “Raja Jawa” mencerminkan dia sebagai diktator sejati, banyak proses pembuatan UU yang tidak melibatkan publik. Pernyataan itu tercermin dari lima UU yang dibentuk selama pemerintahannya, seperti: UU Mahkamah Konstitusi, UU KPK, UU Minerba, UU Penanganan Covid-19, UU Cipta Kerja, dan UU Pemilu mengenai ambang batas calon wakil presiden.
Terbaru adalah adalah putusan ambang batas ajuan MK mengenai ambang batas pencalonan kepala daerah dan penurunan ambang batas partai mengusung calon kepala daerah pada 20 Agustus 2024. Tidak dapat dipungkiri bahwa keterlibatan “Raja Jawa” dalam pengubahan keputusan mulai dari masa pemilu dengan mengikutsertakan anak sulungnya sebagai peserta pemilu, dimana itu cacat konstitusional tetapi dapat diperbaiki oleh figur “Raja Jawa”.
Saat ini figur “Raja Jawa” dibutuhkan untuk menguatkan posisi dari teman anak-anaknya menyambut pilkada 2024. Secara tidak langsung mengamankan posisi “Raja Jawa” sebagai penguasa negara walaupun dia sendiri tidak menjabat sebagai penguasa. Istilah tersebut pada masa klasik disebut dengan istilah “Chakrawartin” yang tercermin dalam aktivitas politik Gayatri Rajapatni saat mengendalikan seluruh penjuru Majapahit di balik layar, walaupun dirinya tidak menjabat sebagai “Raja Jawa”. Fransiskus Asisi Suhariyanto mengistilahkannya sebagai “Chakrawartin Tanpa Mahkota”.
Penulis: Andi Muhammad Firgiawan dan Wahyu Mada Kuncoro Sakti (Kontributor)
Editor: Farhan