Lingkar Aspirasi 2 (selanjutnya ditulis menjadi Lingkar) merupakan wadah bagi mahasiswa FIB (Fakultas Ilmu Budaya ) untuk dapat bertanya dan berpendapat langsung kepada birokrat melalui forum formal. Mirisnya ketika Lingkar yang dilaksanakan beberapa hari lalu berlangsung, konsep “diskusi” yang disuguhkan tidak sesuai dengan harapan peserta. Dibuktikan dengan tanggapan dari birokrat kampus yang tidak cukup menjawab pertanyaan mahasiswa.
Apakah birokrat serius dalam menanggapi permasalahan mahasiswa yang ada di FIB? Pertanyaan ini kerap kali muncul jika melihat kondisi FIB meski sudah sering kali dilakukan dengar pendapat. Tetapi nyatanya tidak ada perubahan signifikan berdasarkan aspirasi mahasiswa.
Jawaban Birokrat dalam Menanggapi Pertanyaan dan Keluhan dari Mahasiswa
Poin tuntutan mahasiswa hanya pada perawatan secara berkala apabila dalam menganggarkan pengadaan fasilitas terasa sulit. Karena mengacu pada jawaban birokrat pada Sambung Rasa 2023 maupun Lingkar Aspirasi 1 sebelumnya, yang dijadikan jawaban template adalah anggaran terbatas dan anggaran pengadaan fasilitas ke universitas sangat sulit. Namun, apa bentuk nyata perbaikan maupun perawatan secara berkala itu?
Hal yang penulis tanyakan kepada birokrat terkait dengan anggaran untuk membuat gunungan wayang yang kini terpampang “nyata” di depan Gedung Departemen Sejarah. Harapan penulis adalah anggaran yang digunakan adalah murni dari Program Studi (Prodi) Sejarah. Amat disayangkan bukan, ketika ternyata anggaran tersebut berasal dari dana fakultas. Mengingat urgensi dari gunungan wayang itu tidak lebih dari fungsi estetika saja. Sedangkan pada saat yang bersamaan mahasiswa mendapatkan ruang kelas yang tidak nyaman untuk disebut sebagai ruang kelas jika dibandingkan dengan fakultas lain.
Penulis juga menyayangkan adanya perbaikan ruang dekanat, karena mengacu pada kajian sebelumnya tidak terdapat tuntutan untuk memperbaiki ruang dekanat. Namun, pada saat ini sedang dilakukan renovasi pada ruang dekanat. Pada saat yang bersamaan pula mahasiswa yang ingin sekedar mengganjal perutnya harus berdesak-desakan di kantin yang besarnya tidak lebih besar daripada ruang C. 6. Pun terjadi ketika mahasiswa Muslim akan melakukan ibadah. Mereka harus berdesak-desakan pada ruang kelas yang kemudian dijadikan mushola, dan ruang terbuka yang kemudian dijadikan tempat untuk beribadah. Bukankah sudah nyata bahwa perbaikan ruang dekanat ini akan menjadi kecemburuan sosial. Perlu menunggu berapa tahun lagi untuk dapat melihat masjid di FIB?
Yang menjadi inti dari opini ini adalah bagaimana birokrat menjawab pertanyaan dari mahasiswa. Berdasarkan jawaban yang disampaikan membuktikan ketidakseriusan birokrat dalam menangani permasalahan yang ada. Janji-janji yang disampaikan sebelumnya pun layaknya hanya omong kosong semata. Janji merampas kekerasan seksual, janji membangun masjid, janji memperbaiki kantin, dan banyak lagi.
Sudahlah memang salah berharap pada birokrat, yang ketika dipertanyakan janjinya selalu menjawab dengan “aman”. Tidak heran raut wajah kekecewaan muncul, terutama dari mahasiswa yang pertanyaannya tidak terjawab. Mungkin perlu penulis cantumkan bagaimana tanggapan dari birokrat yang menimbulkan pertanyaan bagi penulis sendiri.
“Untuk (pengadaan tempat ibadah) agama lain, apakah agama lain juga harus seperti agama islam yang harus 5 waktu untuk shalat, ini juga yang harus dipertimbangkan,” tanggapan Wakil Dekan 2.
“Yang dimaksud ruang aman itu apa ya? saya kurang paham dengan konsep ini,” tanggapan Wakil Dekan 2.
“Terkait suasana FIB ketika malam, kalau malam hari kenapa? yang jelas dong, kalau bicara yang jelas,” tanggapan Wakil Dekan 2.
“Kami juga punya petugasnya (survei tentang fasilitas di FIB),” tanggapan Wakil Dekan 2.
“Kenapa harus ada perbaikan di dekanat, kok kalian kayak cemburu banget ya?” tanggapan Wakil Dekan 2.
“Tadi agak rancu dengan apa yang dimaksud dengan ruang aman. Jadi apa yang disampaikan tadi lebih seperti yang saya tangkap sebuah ruangan secara fisik. Yang saya pahami mengenai ruang aman itu lebih pada safe space,” tanggapan Wakil Dekan 1.
Mungkin singkatnya, apabila tidak bisa memberikan jawaban diplomatis maka sebaiknya tidak menjawab. Jawaban “kok kalian cemburu banget” itu adalah bukti bahwasanya beliau tidak menguasai kajian dengan baik. Apakah kemudian tidak ada jawaban lain yang lebih layak?
Selain itu, pertanyaan mengenai ketidakpahaman terkait Ruang Aman adalah bukti ketidakpedulian beliau terhadap apa yang terjadi pada mahasiswa FIB. Ruang Aman ini sudah banyak dibahas pada forum-forum tertentu seperti pada panggung liar Pemilihan Dekan tahun lalu. Mungkin pada saat ini Ruang Aman memang menjadi program kerja dari BEM FIB, tetapi realitanya keberjalanan Ruang Aman tidak seperti yang diharapkan. Jika melihat keberjalanan Lingkar ini, sudah cukup dijelaskan oleh moderator mengenai (konsep) Ruang Aman itu. Mungkin beliau tidak mendengar atau bagaimana penulis juga kurang tahu.
Ketika moderator menyampaikan terkait ruang kelas yang tidak layak, respons dari Dekan pun tidak seperti yang diharapkan. SM yang mengumpulkan kajian pun ditanya secara detail mengenai ruang kelas yang dijadikan sebagai bukti. Seharusnya ketika sudah menerima keluhan tentang ruang kelas yang tidak nyaman, pihak birokrat kemudian melakukan survei menyeluruh. Terlebih sudah disampaikan oleh Wakil Dekan 2 bahwa sudah ada petugas yang menangani ini, tetapi mengapa harus mahasiswa yang mengumpulkan bukti dengan sangat detail.
Penyelesaian masalah pengusiran kegiatan mahasiswa di Gedung Serba Guna (GSG) yang dianggap sebagai win-win solution, tidak nyata. Bahkan setelah Lingkar ini sudah terlaksana, pada malam harinya penulis menyaksikan langsung Himpunan Mahasiswa Sejarah yang sedang menggunakan GSG untuk gladi Latihan Kepemimpinan dan Manajemen Tingkat Pra Dasar (LKMMPD) “diusir” oleh oknum dosen yang akan menggunakan GSG untuk latihan ketoprak. Apabila memang sudah disampaikan pada pimpinan fakultas, lalu apa yang menjadi dukungan terhadap mahasiswa yang sudah mematuhi regulasi yang ada? Miris bukan? birokrat sebagai regulator tidak mematuhi regulasi itu sendiri.
Tersebut dua kali selama kegiatan Lingkar berlangsung “birokrat menginginkan zero complain”. Penulis tidak memahami apa makna dari zero complain itu. Namun, ketika melihat konteks kalimat pada saat Dekan menyampaikan zero complain yang kedua, maka maknanya adalah penyelesaian masalah yang ada di FIB itu bisa dari mahasiswa dan birokrat. Berbanding terbalik ketika mahasiswa memberikan solusi untuk perawatan, perbaikan, ataupun pengadaan fasilitas, semua dijawab dengan “anggaran kita terbatas” atau terbatas pada “nanti akan kami diskusikan lagi”. Baiklah, mari kita anggap perbaikan ruang dekanat jauh lebih penting.
Kepedulian Birokrat terhadap Ruang Aman atau Satgas PPKS FIB
Sudah penulis sampaikan di atas, bahwasanya Wakil Dekan baru FIB tidak paham mengenai ruang aman ini. Jawaban yang diberikan birokrat terkait dengan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) FIB pun tidak sesuai dengan harapan. Awareness birokrat terhadap kasus ini sangat minim. Terlebih ketika pelaku merupakan dosen, hal ini sudah terbukti lima tahun silam. Ketika dosen Prodi Sastra Indonesia melakukan kekerasan seksual, pelaku tidak mendapatkan sanksi sosial. Akibatnya pelaku serupa dapat melakukan kekerasan seksual.
“Terkait PPKS di fakultas, kalau mahasiswa ada yang menjadi korban silahkan langsung melapor ke pimpinan fakultas, nanti akan ditindaklanjuti oleh fakultas. Nanti akan dilaporkan langsung ke Satgas PPKS atau langsung ditindak pada fakultas,” jawaban Endang Purwaningsih selaku Supervisor Akademik dan Kemahasiswaan.
Jawaban tersebut menimbulkan pertanyaan, sebenarnya apakah birokrat paham mengenai Satgas PPKS dan kekerasan seksual itu sendiri. Hadirnya Satgas PPKS Undip pun tidak membuat korban mau berbicara. Padahal pemilihan anggota Satgas PPKS Undip melalui seleksi, penulis tidak tahu seleksinya seperti apa tetapi setidaknya ada prosedurnya. Mahasiswa, korban, maupun saksi juga perlu melihat latar belakang Satgas PPKS. Lalu bagaimana mahasiswa FIB bisa percaya pada birokrat, sementara birokrat melindungi pelaku ketika pelaku tersebut adalah dosen. Dapat disimpulkan bahwasanya regulasi terkait pengaduan kekerasan seksual di FIB belum ada.
Kesimpulannya adalah permasalahan tentang fasilitas perkuliahan yang kurang layak, musala yang sudah lama dijanjikan, kantin yang katanya akan diperluas, mahasiswa yang mematuhi regulasi mendapatkan perlakuan kurang mengenakkan, serta ruang aman ataupun Satgas PPKS FIB, semua permasalahan di atas tidak terjawab dengan baik oleh birokrat FIB.
Menurut penulis, permasalahan di atas dapat terselesaikan apabila birokrat menjawab dengan jelas bagaimana akan menangani masalah yang ada di FIB. Sebagai mahasiswa FIB, harapan kecil penulis semoga semua permasalahan yang ada di FIB dapat terselesaikan dengan baik dan tanpa ada perdebatan yang tidak dibutuhkan. Pun dengan jawaban yang sudah disampaikan dapat segera direalisasikan. Selain itu penulis juga berharap, mahasiswa FIB lebih peka dengan keadaan sekitar.
Penulis: Diyah Susila Wati
Editor : Fajri