Sebuah negara didirikan atas dasar adanya cita-cita atau wacana guna mencapai suatu masyarakat yang adil dan sejahtera. Wacana dalam mendirikan negara pada umumnya berbasis pada ideologi atau Weltanschauung (pandangan dunia) tertentu.
Dalam perjalanannya, sebuah negara sering kali mengalami dialektika dari satu ideologi ke ideologi yang lain, dari satu spektrum politik ke satu spektrum yang lain. Hal ini sebagai akibat dari adanya percakapan filsafat dan politik di ruang publik dan ruang parlemen, semua ini menunjukkan adanya dinamika pemikiran di antara para negarawan dan masyarakat. Namun, perubahan wacana bernegara sendiri terkadang juga dipengaruhi oleh kekuatan politik negara asing, misalnya apa yang terjadi di negara-negara Eropa timur pasca Perang Dunia Kedua.
Wacana bernegara dapat diartikan sebagai ruang diskursif yang berkaitan dengan tata kelola, kebijakan, dan nilai-nilai yang mendasari suatu negara dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Wacana bernegara juga dapat diartikan sebagai ideologi negara, konstitusi, hukum, dan kebijakan negara, serta bagaimana kepemimpinan negara dijalankan.
Penyempitan wacana bernegara dapat terjadi karena beberapa hal, salah satunya hegemoni ideologi. Antoni Gramsci, seorang pemikir Marxis Italia memperkenalkan konsep hegemoni sebagai cara bagaimana kelompok penguasa mempertahankan kekuasaannya tidak hanya melalui kekuatan fisik, tetapi juga melalui dominasi ideologi.
Ketika satu ideologi atau narasi tertentu menjadi dominan maka wacana bernegara cenderung mengarah pada pembenaran ideologi tersebut tanpa ruang untuk kritik atau diskusi alternatif.
Hal ini dapat dilihat pada rezim-rezim otoriter, di mana narasi negara didominasi oleh satu visi tentang kebangsaan yang sempit. Misalnya di Indonesia, Orde Baru memaksakan konsep “Pancasila sebagai asas tunggal”, yang pada gilirannya menekan kebebasan berorganisasi dan berpendapat di luar batas-batas yang telah ditetapkan oleh negara.
Hegemoni ideologi ini tidak hanya menekan keragaman gagasan, tetapi juga menyingkirkan pandangan-pandangan kritis yang mungkin mempertanyakan legitimasi kekuasaan atau menuntut keadilan sosial yang lebih luas. Dengan demikian, wacana bernegara hanya berputar pada isu-isu yang mengukuhkan posisi elite yang berkuasa, tanpa mempertimbangkan kepentingan masyarakat yang lebih luas.
Dampak terburuk dari penyempitan wacana bernegara adalah terjadinya krisis demokrasi. Saat ini, perpolitikan Indonesia dimonopoli oleh elite oligarki yang secara kurang lebih tak memiliki visi dan misi ideologis bernegara yang jelas –selain kepentingan mereka sendiri— Ketika wacana bernegara hanya berputar pada isu-isu yang sempit dan didominasi oleh kepentingan oligarki maka partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan akan menurun.
Apa yang terjadi di Indonesia saat ini dapat disebut sebagai “Demokrasi Prosedural”, di mana institusi-institusi demokratis, seperti pemilu dan parlemen tetap ada, tetapi substansi demokrasi —yakni, perdebatan yang bebas, partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan, dan akuntabilitas— menghilang. Semua proses demokrasi telah merosot menjadi sekedar kesepakatan-kesepakatan antar elite, keputusan berbangsa dan bernegara hanya didasarkan pada hasil negosiasi antar oligarki.
Warga negara tidak lagi dipandang sebagai subjek aktif yang dapat berpartisipasi dalam wacana kebangsaan, melainkan sebagai objek pasif yang hanya mengikuti keputusan-keputusan yang dibuat oleh elite. Hilangnya partisipasi publik ini dapat berbahaya karena melemahkan legitimasi negara dan menciptakan ruang untuk ketidakpuasan sosial yang pada gilirannya bisa memicu instabilitas politik yang dapat mengarah kepada revolusi atau pemberontakan.
Lihat bagaimana DPR RI mengesahkan UU Cipta Kerja, penolakan dan protes dari masyarakat, khususnya kelas buruh, tak dihiraukan. Perlu atau tidaknya pengesahan UU Cipta Kerja hanya berdasar kesepakatan antara rezim dengan para konglomerat dan investor asing.
Sisi lain dari dampak menyempitnya wacana bernegara ini dapat dilihat dari merosotnya ideologi partai-partai politik, apa bedanya partai Gerindra dengan partai Nasdem secara ideologis? Hampir dapat dikatakan tidak ada. Masyarakat pun akhirnya memilih partai politik berdasarkan ketokohan atau tendensi non-politis lainnya.
Secara lebih lanjut, penyempitan wacana bernegara juga dapat terjadi akibat polarisasi sosial yang tajam. Dalam situasi ini, wacana bernegara terpecah-pecah menjadi kelompok-kelompok yang berseberangan secara ideologis, politik, atau identitas.
Polarisasi ini sering kali diperparah oleh media sosial yang memfasilitasi terbentuknya “echo chambers”, di mana individu hanya terpapar pada informasi yang sejalan dengan keyakinan mereka. Terlebih di era media sosial saat ini, konten yang muncul di beranda kita adalah hasil algoritma dari apa yang kita sukai.
Kasus seperti di atas pernah terjadi di negara kita pada beberapa pemilu yang lalu, masyarakat terbelah antara kubu “Kadrun” dan “Cebong”. Akibatnya, wacana bernegara menyempit karena perdebatan tidak lagi berfokus pada isu-isu substantif, melainkan pada serangan pribadi atau perdebatan identitas yang dangkal, seperti menuduh Jokowi sebagai anak keturunan PKI.
Situasi perpecahan dan pembelahan seperti ini tidak hanya melemahkan kemampuan masyarakat untuk mencapai konsensus, tetapi juga menciptakan situasi di mana isu-isu kebangsaan yang lebih luas—seperti kebijakan sosial, hak asasi manusia, ekonomi, dan keadilan—diabaikan. Diskusi politik lebih sering berfokus pada konflik identitas (seperti agama, ras, atau etnis) daripada pada isu-isu struktural yang lebih mendesak.
Dengan demikian, penyempitan wacana ini tidak hanya menciptakan kebuntuan politik, tetapi juga memperlemah kemampuan masyarakat untuk mendorong perubahan yang berarti, serta memperlemah daya pandang masyarakat dalam melihat kemungkinan-kemungkinan lain dalam tata cara bernegara dan bermasyarakat.
Penulis: Muhamad Farhan Prabulaksono
Editor: Amel