September kemarin, Narasi Newsroom membuat thread di X yang memberi informasi bahwa telah terjadi tiga kasus femisida. Femisida sendiri merupakan pembunuhan terhadap perempuan yang timbul atas dasar kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, kenikmatan dan menganggap perempuan sebagai objek kepemilikan sehingga boleh berbuat sesuka hati (Komnas Perempuan, 2020).
Kasus pertama adalah pembunuhan terhadap siswi Palembang berinisial (AA) yang diperkosa dan dibunuh oleh empat teman sebayannya, IS (16 tahun), MZ (12), dan AS (12). Sebelum melakukan tindakan keji tersebut, ternyata para pelaku sesudah terpapar dan kecanduan konten-konten pornografi.
Kasus kedua terjadi kepada gadis penjual gorengan yang diperkosa oleh tetangganya sendiri, Indra Septiarman. Awal mula Kronologi kejadian terjadi ketika pelaku melihat korban sendirian, saat itu juga, pelaku langsung memiliki niatan untuk memperkosa korban. Tidak hanya sampai disitu, pelaku juga melakukan tindakan yang semakin biadab yaitu dengan membunuh dan memutilasi korban.
Terakhir, kasus ketiga menimpa ibu rumah yang ditusuk hingga meninggal oleh suami sendiri bernama Dani Jarjas (31 tahun). Setelah diketahui motif utamanya, pelaku melakukan pembunuhan tersebut atas dasar kecemburuan terhadap istrinya karena telah melakukan perselingkuhan dengan laki-laki lain.
Tiga kasus femisida tersebut merupakan bukti dari masih mengentalnya budaya patriarki di Indonesia. Apalagi sampai sekarang, kasus femisida masih sering luput dari perhatian masyarakat, khususnya di Indonesia. Masyarakat masih menilai pembunuhan terhadap perempuan seperti sebatas kejahatan kriminal pada umumnya. Hal ini dibuktikan tidak adanya payung hukum yang menangani kejahatan keji ini sampai sekarang. Padahal femisida merupakan tindak kejahatan berat yang memiliki relasi kuasa dalam struktur sosial.
Akan tetapi perlu dipahami, tidak semua pembunuhan terhadap perempuan dapat dikategorikan menjadi femisida. Setidaknya terdapat sebelas bentuk femisida berdasarkan deklarasi Wina, salah satunya adalah pelaku melakukan pembunuhan atas dasar kehormatan sebagai laki-laki, istilah tersebut biasanya disebut dengan Masculine Honor Ideology (MHI) atau ketersinggungan maskulin (Kulwicki, 2009).
Laki-laki yang hidup dalam pemujaan terhadap budaya patriarki memiliki kerentanan terhadap sifat ingin menguasai dan hasrat akan mendominasi. Hal ini karena laki-laki merasa memiliki kedudukan tinggi daripada perempuan. Tidak hanya itu, laki-laki juga harus menanggung beban ekspektasi dari masyarakat yang seringkali tidak melihat aspek individual. Hal tersebut menjadi beban tersendiri bagi laki-laki.
Apabila seorang laki-laki tidak mampu menanggung beban ekspektasi tersebut, mereka seringkali memilih untuk menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Maka, tidak heran jika kasus pembunuhan terhadap perempuan menjadi hal yang tidak tabu di masyarakat.
Hal ini tidak bisa lepas dari bagaimana peran masyarakat dalam membentuk identitas laki-laki dan perempuan. Pada masyarakat patriarki laki-laki selalu diidealkan sebagai sosok agresif, independen, tidak mudah terpengaruh, serta dominan. Sedangkan perempuan lebih banyak diidentikkan sebagai sosok yang lemah lembut, emosional, tidak agresif, pasif, dan masih banyak lagi.
Pada ilmu psikologi istilah pemberian ‘identitas’ selalu berkaitan tentang kesadaran, citra diri, pandangan, dan nilai seseorang terhadap dirinya sendiri. Pada masyarakat Amerika, identitas sangat penting karena menunjukan keotentikan ekspresi mereka sendiri. Sedangkan menurut definisi interseksionalitas ‘identitas’ merupakan bagian dari fungsi dalam masyarakat untuk membentuk, mengorganisasi, memperkuat, dan menaturalisasikan hubungan sosial (Shields, 2008)
Padahal pemberian identitas atau label pada gender tertentu bukanlah sesuatu yang tepat. Maksud saya adalah peran setiap manusia bukanlah sesuatu yang statis dan dekaden. Manusia bukanlah entitas pasif yang hanya menerima segala sesuatu bagi dirinya. Melainkan, subjek aktif yang bebas menentukan pilihan-pilihan hidupnya. Bagaimanapun juga, manusia akan selalu berubah mengikuti zaman sebagai dampak dari adanya pendidikan, politik, ekonomi, dan situasi global. Namun disisi lain, masyarakat selalu memarjinalkan individu yang tidak sejalan dengan nilai-nila yang telah ada.
Produk dari pemberian identitas secara kaku dalam masyarakat akan menghasil produk pemikiran misoginis tanpa disadari. Misoginis sendiri merupakan istilah yang digunakan untuk menerangkan kebencian terhadap perempuan baik itu oleh individu dan kelompok. Misoginis juga merupakan salah satu dari pelanggengan budaya patriarki. Perlu diingat, pelaku dari misogi tidak selalu laki-laki, bahkan perempuan bisa saja menjadi pembenci sesamanya.
Pada postingan DW Indonesia yang mengunggah video viral seorang wanita memakai pakaian minim sebagai bentuk protes atas tindakan pelecehan yang dilakukan oleh para militer sukarela kepadanya. Selain itu, aksi protes perempuan tersebut juga dilayangkan kepada peraturan negara yang terlalu ketat dalam mengatur cara berpakaian perempuan.
Pada kolom komentar, kita bisa melihat para netizen Indonesia memberikan ucapan yang tidak sesuai konteks dan lebih menyalahkan perempuan. Salah satunya akun mommy_ryu yang mengatakan “Bagus sebenarnya jadi menjaga Marwah dan mengurangi kejahatan dan pelecehan di kaum wanita. Islam mengajarkan kebaikan yang sebenarnya baik untuk umatnya yang beriman dan berakal.”
Komentar tersebut merupakan bentuk dari misoginis. Kata-kata yang dikeluarkan oleh akun mommy-ryu tidak memberikan pandangan jelas terkait substansi permasalahan. Mommy-ryu justru menjadikan perempuan sebagai objek yang melanggar nilai-nilai agama. Bahkan kebanyakan komentar tidak melihat alasan yang melatarbelakangi perempuan tersebut bisa melakukan protes tersebut. Pelaku pelecehan bahkan tidak mendapat perhatian oleh netizen, seolah hal itu sesuatu yang wajar dan lumrah untuk diabaikan.
Oleh karena itu, masyarakat memiliki peran penting untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan atau gender tertentu. Masyarakat harus berupaya sekuat mungkin dengan cara paling radikal guna mengubah struktur nilai-nilai budaya, yaitu sistem patriarki. Jika tidak, kasus-kasus femisida dan kekerasan terhadap gender akan terus menerus terjadi.
Seperti Eropa pada abad keenam belas, di mana nilai-nilai dominan zaman itu melegalkan pembunuhan perempuan penyihir atas dasar keyakinan bahwa mereka pada dasarnya jahat. Jejak tersebut masih terlihat dari penggunaan kata witch (istilah penyihir bagi perempuan) memiliki konotasi negatif daripada wizard (istilah penyihir bagi laki-laki) yang memiliki makna sebaliknya. Padahal dua kata tersebut memiliki arti yang sama. Apabila melihat fenomena zaman sekarang, nilai-nilai yang sama pada zaman dulu hanya berubah bentuk praktiknya. Bentuk tersebut terlihat pada pemutaran berbagai film-baik film thriller atau pornografi- di mana penyiksaan dan pembunuhan terhadap perempuan digambarkan sebagai kepuasan laki-laki. (Radford & Diana, 1992)
Dunia adalah tempat manusia hidup. Dunia haruslah menjadi ruang aman bagi semua gender tanpa terkecuali. Berbagai bentuk kekerasan dan penghinaan terhadap perempuan adalah kejahatan tertinggi yang tidak bisa ditoleransi. Tidak atas dasar kehormatan, agama, budaya dan politik. Maka sekali lagi, pemangku kebijakan haruslah melihat perspektif gender dalam pembentukan peraturan-peraturan di Indonesia. Kebijakan yang adil akan menghasilkan kehidupan yang aman dan nyaman bagi semua kalangan. Ingat, menyelamatkan satu nyawa manusia, sama dengan menyelamatkan semua umat.
Penulis : Diaz Fatkhur Rohman
Editor : Indri
Daftar Pustaka
Komnas Perempuan, 2020, Siaran Pers – Tuntutan Pembaharuan Hukum dan Kebijakan Menyingkapi Ancaman
Kulwicki, A. (2009). The Practice Of Honor Crimes: A Glimpse Of Domestic Violence In The Arab World. Issues in Mental Health Nursing, 77-87.
Radford, J., & Diana, E. R. (1992). Femicide: The Politics of Woman Killing. New York : Twayne Publishers.
Shields, S. (2008). Gender: An Intersectionality Perspective. Sex Role, 301 – 311.