[OPINI] Monolog Najwa Itu Sah-Sah Saja

 

Ilustrasi: Widya
Oleh: Teguh Bhagaskara
 
Tujuh bulan sudah pandemi Covid-19 hadir di Indonesia. Dan per 7 Oktober 2020, sudah 315.714 masyarakat Indonesia yang terkonfirmasi positif, dengan angka kematian mencapai 11.472 orang, dan 240.291 orang yang berhasil selamat (data dari Pemerintah Indonesia). Kita tahu, sebelas ribu bukanlah angka yang sedikit. Terlebih, angka itu merepresentasikan bapak, ibu, kakak, saudara, anak, dan orang-orang terkasih lainnya. Angka itu merepresentasikan manusia.
 
Sayangnya, kematian banyak orang tersebut—yang besok masih bisa terus bertambah—hanya membuat Menteri Kesehatan Indonesia, Terawan Agus Putranto, tampil begitu sedikit di muka publik. Saya bahkan tidak tahu apa yang dilakukannya. Dan karena gentingnya situasi itulah Najwa Shihab, pembawa acara Mata Najwa, menghadirkan wawancara kursi kosong—yang disebut oleh Wisnu Prasetya Utomo, seorang peneliti media dan dosen Fisipol UGM sebagai momen terbaik dalam jurnalisme televisi di Indonesia selama pandemi—pada 28 September lalu.
 
Wawancara berdurasi empat menit itu menghadirkan Najwa bermonolog bersama kursi kosong. Ya, kosong, gak ada siapa-siapa, dan ia berbicara seolah-olah di depannya sedang duduk Terawan, menteri kesehatan kita yang dianggap paling bertanggungjawab atas krisis Covid-19 oleh Asia Times dalam artikel “The Man Mostly Responsible for Indonesia’s Covid Crisis”. Tentu, wawancara itu masih bisa diakses di kanal Youtube Najwa Shihab. Jadi, saya tidak akan berbicara lebih jauh tentang itu—kecuali pertanyaan “Jadi, kapan bapak siap mundur?” di akhir wawancara tersebut yang saya anggap keren sekali.
 
Setelahnya, format wawancara yang baru di Indonesia itu, tetapi di negeri lain sudah ada yang pernah mempraktikkannya—seperti di Inggris misalnya saat Kay Burley menjejali pertanyaan ke arah tempat duduk kosong yang seharusnya diduduki oleh James Cleverley, Ketua Partai Konservatif Inggris—membawa banyak perdebatan di dunia maya. Banyak yang mendukung langkah Najwa, tak sedikit pula yang mencibir.
 
Pendapat seperti ‘Wawancara itu bukan produk jurnalistik’ atau ‘narasumber punya hak tolak’, sampai ke yang paling absurd ‘Mata Najwa butuh rating’ bertebaran di media sosial. Salah satunya Usman Kansong, Dewan Redaksi dari Media Group, yang menyatakan bahwa Najwa sedang tidak menjalankan pekerjaan jurnalistik ketika dia bertanya pada kursi kosong yang ia bayangkan sebagai Menkes Terawan, melansir dari Media Indonesia. Jurnalisme, katanya, mengenal konsep wawancara imajiner. Sebuah konsep yang dilakukan ketika tokoh yang ingin diwawancarai sudah meninggal sehingga secara teknis, tidak mungkin diwawancarai. Tapi, toh, Najwa sudah membantah melalui pernyataannya di Instagram pada 1 Oktober lalu, kalau “Saya tidak melakukan wawancara. Saya hanya sedang mengajukan pertanyaan,” ungkap Najwa.
 
Kreativitas Jurnalis
Namun, Edi Faisol, ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang, memiliki pendapat yang berbeda. Baginya, yang dilakukan Najwa dengan kursi kosong itu adalah “bagian dari kreativitas jurnalis,” kata Edi ketika dihubungi pada Rabu (7/10/2020). Dan karenanya, monolog Najwa itu tetap merupakan sebuah produk jurnalistik.
 
Apa yang dilakukan Najwa, bagi Edi, merupakan sebuah tindakan yang dijamin oleh undang-undang. Sebab sebagai seorang jurnalis, Najwa bertanggung jawab untuk memberitakan sebuah informasi kepada publik yang sudah menunggu informasi tersebut. Karena sangat sulit untuk menghadirkan pejabat sekelas Menkes yang sudah sejak bulan Maret itu dipaksa mundur, membuat Najwa akhirnya perlu melakukan kreativitas seperti bertanya pada sebuah kursi kosong.
 
“Itu tetap sebuah produk jurnalistik,” kata Edi, “Maka, ketika dia (Najwa) menyampaikan (pertanyaan ke kursi kosong) itu, ya, sah-sah saja,” lanjutnya.
 
Lantas, soal hak tolak yang dimiliki oleh narasumber—yang juga jadi argumen utama pendengung pemerintah—Edi mengatakan adanya pemahaman yang keliru mengenai hak tolak. Menurutnya, ada dua kondisi yang memungkinkan narasumber untuk menolak diwawancarai seorang jurnalis.
 
Pertama, ketika pertanyaan yang diajukan adalah pertanyaan bersifat privat, seperti kepercayaan atau skandal. Kedua, adalah ketika pewawancara belum memiliki sertifikat jurnalistik. Dua hal itu memungkinkan narasumber untuk berkata “tidak” seperti kader Partai Demokrat di iklan anti-korupsi jelang Pemilu tahun 2009 silam kepada pewawancaranya. Namun, bagaimanapun juga, Menkes Terawan adalah seorang pejabat publik.
 
“Secara moral, seharusnya pejabat publik itu bertanggung jawab atas jabatannya terhadap publik. Dia ‘kan seorang menteri. Menteri itu dibiayai negara. Negara itu bertanggung jawab terhadap rakyat dan bangsa. Maka, secara moral, dia harus bertanggung jawab,” ucap Edi.
 
Artinya, seorang pejabat yang bertanggung jawab atas pandemi dan berbagai penanganannya yang penuh masalah seperti Menkes Terawan, tidak bisa menghindar dari kewajibannya mengurus krisis kesehatan, menjabarkan hal-hal yang sudah dan akan dilakukannya, atau menenangkan masyarakat. Lagi pula, seperti pernyataan Najwa di Instagramnya, pertanyaan-pertanyaan itu tak perlu harus dijawab di Mata Najwa.
 
Karena di atas pundak dokter tentara itu, “urusan kesehatan tetap pengampunya adalah Menteri Kesehatan,” tulis Najwa, tak peduli sebanyak apapun tim ad-hoc dengan Luhut lagi-Luhut lagi yang dibentuk.
 
Namun seribu namun, kemunculannya yang tiba-tiba setelah aksi Najwa dengan kursi kosongnya, bukan malah menjawab keresahan publik melainkan malah meminta pers untuk “tidak memperkeruh dan membuat gaduh,” kata Menkes Terawan, melansir dari Tirto.
 
Pelaporan Najwa
Sedikit beranjak dari Menkes Terawan yang kantornya, Kementrian Kesehatan, sempat jadi klaster penyebaran virus Corona terbanyak di DKI Jakarta pada 17 September lalu dengan 139 kasus itu, Najwa Shihab dilaporkan ke Polda Metro Jaya pada Selasa (6/10/2020) oleh Ketua Umum Relawan Jokowi Bersatu, Silvia Dewi Soembarto. Ya, Relawan Jokowi Bersatu.
 
Silvia melaporkan tayangan Mata Najwa dengan kursi kosong itu karena Najwa dianggap merendahkan Presiden Jokowi dalam episode itu. Menkes Terawan, katanya, adalah representasi dari Presiden dan karenanya Silvia menganggap tindakan Najwa yang mewawancarai kursi kosong itu tidak mendidik.
 
Sebenarnya, kalau ingin yang mendidik, saya akan jawab seperti yang sering diucapkan sahabat saya: “Tonton saja Natgeo 24 jam!”. Namun, bagi Edi Faisol, melaporkan Najwa ke kepolisian adalah kekeliruan. Undang-undang pers sudah menjamin adanya perlindungan pers, sehingga melaporkannya dengan undang-undang pidana adalah tindakan yang tidak tepat.
 
Mata Najwa itu bagian dari kebebasan pers untuk menyampaikan sesuatu terhadap publik. Termasuk, mendorong agar menteri bertanggung jawab terhadap publik,” jelasnya.
 
Baginya, sebuah produk jurnalistik harus ditanggapi dengan mediasi di dewan pers. Dan berita terakhir dari kasus ini pun, Polda Metro Jaya menolak laporan Silvia dan menyerahkannya ke dewan pers—walaupun sampai saat ini belum ada laporan yang masuk, melansir dari Kompas.
 
“AJI Semarang tidak sepakat dengan cara-cara melaporkan wartawan ataupun jurnalis dengan pasal pidana. Dan narasumber itu punya hak jawab. Di hari berikutnya, menteri kesehatan itu (seharusnya) datang dan memberikan penjelasan lewat media atau pernyataan apapun,” pungkas Edi.
 
Namun, seperti yang sudah ditulis di atas, kemunculan Menkes Terawan di hari berikutnya hanya untuk mengingatkan media agar tidak usah membuat kegaduhan—tanpa menyinggung apalagi menjawab pertanyaan Najwa Shihab di Mata Najwa. Seolah, selama ini dirinya cukup bertanggung jawab untuk tidak membuat kegaduhan.
 
Editor: Restutama

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top