Ini hanya sebuah surat imajiner: seandainya saja Minke keluar dari dunia fiksi dan menulis surat untuk Affiq Malik dan BEM FIB 2024. Sebuah ironi (jika tidak terlalu lebay menyebutnya seperti itu) tentang nepotisme dalam bungkus hak prerogatif.
Orang-orang memanggil saya: Minke. Nama saya sendiri sepertinya tak perlu kusebutkan. Jika kalian ingin memanggil saya, ikut sajalah orang-orang itu memanggil Minke. Sebelum jauh surat ini tertulis, saya rasa lebih etis jika saya meminta maaf karena begitu lancang menulis surat ini. Saya bukan aktivis kampus ataupun oposisi atau apalah namanya itu. Saya hanyalah seorang tokoh fiktif dalam semesta Bumi Manusia.
Mungkin perlu sedikit saya tegaskan dan luruskan agar tidak menjadi rancu nantinya bahwa Minke yang sedang menulis ini adalah minke yang terceritakan di Novel Bumi Manusia saja, bukan Minke pada novel lanjutan dalam semesta Tetralogi Pulau Buru lainnya. Sebab minke yang ada dalam Anak Semua Bangsa, apalagi dalam Jejak Langkah adalah Minke yang saya rasa sudah bukan waktunya menulis surat seperti ini. Sekali lagi maaf apabila terasa lancang.
Dengan segala hormat,
Izinkanlah saya, Minke, sebuah entitas yang tersedot dari dunia fiksi, menumpahkan pikiran dan keprihatinan saya melalui coretan ini. Saya tak berniat mengganggu namun, saya merasa tak mampu lagi untuk berdiam diri menghadapi ironi yang menggurita di dalam lorong-lorong kekuasaan. Mungkin terdengar tak lebih dari sekadar kata-kata yang tercermin dari lembaran-lembaran kertas berdebu di perpustakaan masa lalu. Namun ketahuilah, saya tidak muncul di sini untuk mengintervensi dunia nyata, melainkan sebagai suara yang menumpahkan kegelisahan dan kekecewaan atas apa yang terjadi saja.
Tidak banyak yang ingin saya sampaikan. Ini hanya sebuah ungkapan keprihatinan saya terhadap situasi yang terjadi di dalam BEM FIB 2024. Betapa ironisnya, sebuah entitas yang seharusnya menjadi wadah aspirasi dan representasi mahasiswa, justru tercemar oleh aroma nepotisme dan penyalahgunaan kekuasaan.
Sebagai seorang yang hidup dalam semangat perlawanan terhadap ketidakadilan, saya tidak bisa mengabaikan fakta bahwa dalam pemilihan dan pengangkatan para dewan inspektorat dan kepala bidang, terlihat jelas adanya preferensi yang didasarkan pada hubungan personal dan bukan atas dasar meritokrasi. Mungkin saudara bisa menyebutnya menjadi hak prerogatif saudara, akan tetapi mungkin perlu juga diingat bahwa hak prerogatif, yang seharusnya menjadi instrumen kebijakan yang digunakan dengan bijak demi kepentingan banyak orang, sayangnya seringkali disalahgunakan sebagai alat untuk memperkuat kekuasaan personal dan kelompok tertentu. Ironisnya, prerogatif yang seharusnya menjadi sarana untuk mewakili dan memperjuangkan aspirasi, justru sering kali menjadi alat untuk mempertahankan status quo dan kepentingan sempit. Dalam konteks BEM FIB 2024, penyalahgunaan hak prerogatif dapat merusak prinsip demokrasi dan menghambat proses partisipasi mahasiswa dalam pengambilan keputusan yang adil dan transparan.
Saudara Affiq, sebagai pemimpin BEM FIB 2024, saya mengajak anda untuk merenungkan kembali esensi kepemimpinan yang sejati. Kepemimpinan bukanlah sekadar tentang menciptakan kekuasaan atau memenuhi kepentingan pribadi, tetapi lebih dari itu, kepemimpinan adalah tentang melayani dan membela kepentingan bersama. Maaf kalau ini terkesan menasehati.
Saya pernah menyampaikan dalam semesta Bumi Manusia bahwa ” betapa kekuasaan adalah tanggung jawab yang besar”. Kekuasaan harus dijalankan dengan penuh integritas, transparansi, dan akuntabilitas. Nepotisme dan penyalahgunaan kekuasaan hanya akan merusak struktur sosial dan menciptakan ketidakadilan.
Saudara, anda memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa setiap keputusan dan tindakan yang diambil adalah untuk kepentingan bersama dan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Saya menjadi begitu ingat ketika saya melakukan sebuah kesalahan dan sahabatku Jean Marais mengingatkan dengan kalimat yang begitu menjadi legendaris. Bunyinya kurang lebih seperti ini; “Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan”.
Perkataaan sahabatku itu mungkin juga bisa menjadi sedikit pengingat kepada saudara. Tak perlulah saya uraikan makna yang terkandung dalam perkataan sahabat saya itu karena saya rasa saudara sudah sedemikian cerdasnya untuk bisa mencernanya sendiri. Saudara terpelajar bukan?
Tidak banyak yang ingin saya sampaikan, hanya sedikit ini dan semoga menjadi pengingat saja, atau bisa juga disimpan sebagai lelucon saja karena apalah daya saya. Saya hanya Minke, tokoh fiktif dalam semesta Bumi Manusia.
Penulis: Zulkifli Muhammad
Editor: Juno