Masih Belajar


Oleh: Iqbal Firmansyah



Pada pukul 08.00, Ketua Panitia Penyelenggara
Pemungutan Suara membacakan seperangkat petunjuk tata cara pemungutan suara.
Ada juga daftar calon yang ditempel di dinding bilik pemungutan sebagai
petunjuk informasi. Lokasi dan perlengkapan pemungutan suara kemudian diperiksa
oleh panitia dan surat panggilan disampaikan kepada para pemilih. Tak lupa
ketua panitia menunjukkan kotak suara dalam keadaan kosong. Bagian luar
kartu-kartu suara diperiksa dan dipastikan tidak ada yang ditandai, kemudian
kotak suara dikunci. Dua orang panitia yang duduk di depan pintu masuk bertugas
memeriksa daftar nama-nama pemilih. Pemilih yang tidak membawa surat panggilan,
diharuskan menunjukkan tanda pengenal. Mereka diminta menandatangani lembar
pendaftaran dan membubuhkan cap jempol.
Kurang lebih seperti itulah
suasana pada hari pemungutan suara di Indonesia. Tak terkecuali di pulau-pulau
yang jarang penduduk. Pemilih dari desa-desa terpencil harus berjalan beberapa
kilometer untuk mencapai lokasi tempat pemungutan suara. Ada pula yang harus
berlayar hingga ke pulau tetangga.
Tanggal 29 September 1955, lebih
dari 43 juta rakyat Indonesia terdaftar sebagai pemilih. Mereka berkumpul di
tempat pemungutan suara tingkat desa untuk memilih anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Setiap partai/organisasi berlomba memperebutkan kursi
parlemen. Partai-partai dan organisasi-organisasi politik bermunculan. Mereka
tampil dengan membawa ideologi masing-masing. “Dunia akan segera mengetahui
perimbangan kekuatan muslim, nasionalis dan komunis di antara delapan puluh
juta penduduk negeri majemuk yang unik ini.” Tulis Boyd R. Compton dalam
Kemelut Demokrasi Liberal.
Tahun 1955, pemilu untuk kali
pertama digelar di Indonesia. Sebanyak 29 partai menjadi peserta
. Mereka bertarung memperebutkan
suara pemilih. Hak suara diberikan kepada warga negara Indonesia yang berusia
lebih dari 18 tahun atau sudah menikah. Partai Masyumilah yang mengusulkan agar
penduduk yang sudah menikah diikutsertakan sebagai pemilih. Sebelumnya
pemerintah mengusulkan hanya penduduk Indonesia yang telah berusia 18 tahun
saja. Akan tetapi usulan dari Partai Masyumi diterima, sehingga penduduk
Indonesia yang sudah menikah, terlepas dari usia mereka, boleh ikut memilih.
Hal ini dinilai menguntungakan Masyumi, karena pernikahan di bawah usia 18
tahun merupakan hal yang lumrah. Terutama terjadi di desa-desa yang menjadi
basis kekuatan partai berlambang bulan sabit dan bintang itu.
Pemungutan suara biasanya
diselenggarakan di gedung-gedung umum atau tempat-tempat tertentu seperti
sekolah, bangunan dari bambu, di tempat-tempat khusus yang sengaja didirikan
bangunan sederhana, atau di rumah tokoh-tokoh desa. Menurut Herbert Feith, dalam
Pemilihan Umum 1955 di Indonesia,
rata-rata terdapat dua sampai tiga tempat pemungutan suara dalam satu desa.
Panitia Penyelenggara Pemungutan Suara beranggotakan lima sampai sebelas orang,
yang terdiri dari perwakilan partai-partai. Mereka dicalonkan dan dilatih oleh
panitia Pemungutan Suara Kecamatan, untuk menjalankan tugas pemungutan suara.
“Di tempat pemungutan suara, hampir di setiap daerah, sekurang-kurangnya dua
dari para anggota Panitia Pemungutan Suara bisa baca-tulis.” Tulis Feith
Suara diberikan di dalam ruangan
tertutup, kemudian pemilih diberi kertas suara yang telah dilipat dan
ditandatangani oleh ketua dan dua anggota panitia. Lalu ia pergi sendirian ke
dalam salah satu bilik yang terpisah. Di dalam bilik, menurut Compton, pemilih
akan melihat daftar lengkap semua simbol pemilu dan semua simbol calon-calon
yang bertarung pada setiap organisasi atau partai. Ada dua cara untuk melakukan
pemilihan, yang pertama yaitu dengan cara melubangi gambar simbol. Alat
pelubang biasanya berupa pensil yang telah disediakan oleh panitia. Sedangkan
cara kedua dengan menuliskan nama dan nomor kandidat pada bagian bawah tanda
gambar.
Terdapat kejadian-kejadian unik
pada saat pemungutan suara berlangsung. Di sejumlah daerah, beberapa pemilih
tampak canggung saat melakukan pencoblosan. Hal ini terjadi mengingat belum ada
pengalaman pemilu dan sebagian besar di antara pemilih masih belum bisa baca
tulis. Feith mengisahkan suasana yang terjadi di tempat pemungutan suara. Saat
itu pemilih memasuki bilik suara. Ia tampak bingung dan malu lantaran tidak
bisa melipat kertas suara dengan baik. Sebagian ada yang melubangi tanda gambar
daftar calon bukan pada surat suara, tetapi pada daftar yang ditempelkan di
dinding bilik pemungutan. Penonton berteriak-teriak memberi petunjuk bagaimana
memperbaiki kesalahan itu. Anak-anak yang turut hadir, ikut-ikutan mengajari
dengan berteriak-teriak gembira, meskipun mereka tidak tahu apa yang sebenarnya
terjadi. Ada juga perempuan hamil tua yang hadir, termasuk pemilih lanjut usia
yang sedang sakit, bahkan ada yang melaihirkan di tempat pemungutan suara.
Sementara Compton mencatat
kebingungan seorang gadis muda yang sedang ikut pemilihan. Ia keluar dari bilik
suara, tampak mencolok dengan mengenakan baju ungu dan sarung batik. Ia tampak
bingung saat hendak menuju kotak suara. Orang-orang menyoraki dan berteriak,
“Salah! Salah! Keliru!”. Surat suara sudah dilipat. Simbol-simbol kelihatan
dari kertas suaranya. Lalu seorang panitia menyuruh gadis itu kembali ke bilik
suara dan memperbaiki lipatannya. Beberapa saat kemudian, ia keluar. “Salah!
Salah!” sahut penonton. Ia kembali melakukan kesalahan. Kali ini ia benar-benar
bingung. Seorang panitia melangkah mendekatinya, namun dicegah oleh ketua
panitia. Jika ia tidak dapat melipat dengan benar, suaranya akan batal.
Akhirnya ia berhasil melipat dan bergegas meninggalkan tempat pemungutan suara.
Ada pula seorang nenek-nenek yang
sigap masuk ke sebuah kamar pemungutan suara. Kemudian ia membuka dan
membolak-balik kertas suara. Gerakannya dapat dilihat oleh pemilih lain bahwa
tangannya gemetar. Ia mencoblos dan melipat. Dari posisi surat suaranya, ia
terlihat melubangi gembar palu arit. Ia berjalan sedikit, lalu mencemplungkan
ke kotak suara. Wajahnya berkerut lantaran tertawa terkekeh-kekeh.
Pemilihan Umum di Indonesia pada
tahun 1955 sangat menarik bagi suatu proses percobaan demokrasi. Kala itu,
Indonesia memasuki tahun keenam, pasca penyerahan kedaulatan dari Kerajaan
Belanda. Kabinet Mr. Burhanuddin Harahap dari Masyumi berhasil menyelenggarakan
pemilihan umum tepat waktu, yaitu pada 29 September dan 15 Desember 1955.
Pemilu untuk memilih anggota parlemen dan anggota Konstituante. PNI, Masyumi,
NU, dan PKI secara
berturut-turut berhasil menduduki posisis empat besar perolehan suara.
Sebuah pertaruhan telah dilakukan
oleh bangsa yang baru memperoleh kedaulatan. Keberanian menyelenggarakan pemilu
secara langsung, ditengah sebagian masyarakat yang masih buta huruf. Seperti
yang diungkapkan oleh Irene Tinker dan Mil Walker, dikutip Feith, “Indonesia
berani mempertaruhkan seluruh proses pemilihan umum pada kecakapan penduduk
desa yang buta huruf dan…
[sic!]
taruhan itu dimenangkannya.”
Setelah 68 tahun proklamasi
kemerdekaan Indonesia, hal-hal unik saat pemilu, terutama pada saat pemungutan
suara masih bisa ditemui. Di sejumlah daerah terdapat kejadian mulai dari
saling mengintip antar pemilih di bilik suara, hingga kebingungan seorang
pemilih pemula saat melihat banyaknya calon angota legislatif yang tertera di
tempat pemungutan suara.
Seperti yang dilansir oleh kompas.com
pada 9 April 2014, di TPS 11 Kelurahan Sidodadi, Kecamatan Wonomulyo Polewali
Mandar, Sulawesi Barat, para pemilih bisa saling mengintip, diskusi, hingga
saling memelototi surat suara pemilih lain. Hal ini disebabkan jarak bilik
suara yang berdekatan. Dari arah belakang dan depan bilik suara tampak pula dua
pria yang ikut meramaikan



diskusi dan bisik-bisik di bilik
suara. Tak jelas apa yang dibicarakan. Salah seorang pemilih mengeluh, “Seharusnya
petugas TPS tidak memperkenankan siapa pun selain pemilih berada di sekitar
bilik suara karena bisa memengaruhi integritas pemilih di bilik suara.”
Sementara di TPS 011
Kelurahan Bangka, Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Tari (19), seorang
pemilih pemula mengaku, caleg pilihannya berdasarkan rekomendasi dari orangtua.
Alasannya, terlalu banyak jumlah caleg membuatnya bingung.  “Calegnya
banyak banget. Jadi enggak tahu pilih mana. Tanya-tanya aja sama orangtua,” kata Tari.
Masih di TPS yang sama, pemilih
pemula lain, Iman (17) terpaku di depan poster yang berisikan nama-nama calon
anggota legislatif DPR, DPRD, dan DPD. Di sampingnya berdiri sang ayah, yang
sesekali memberikan rekomendasi pilihan caleg. “Ini kenal kan? Atau
yang ini aja?” ujar sang
ayah. Iman sama sekali tidak memiliki bayangan siapa calon yang akan menjadi
pilihannya. “Saya belum tahu. Enggak
pernah lihat kampanye juga. Kan sekolah.”
, papar Iman.
Pemilihan legislatif 2014 baru
saja berlalu dengan segala dinamika dan cerita. Setiap pemilu tiba, harapan
akan Indonesia yang lebih baik selalu mengemuka. Pengalaman pelaksanaan pemilu sejak
tahun 1955, semestinya dapat menjadi pelajaran bagi pemilu-pemilu berikutnya.
Kesalahan-kesalahan yang masih jamak dijumpai, tidak perlu terjadi. Mekanisme yang
berubah-ubah menjadi salah satu hambatan terwujudnya pemilu yang ajek. Nampaknya
demokrasi Indonesia masih akan terus belajar, sampai menemukan bentuk terbaik,
sesuai kepribadian bangsa.
***
Daftar
Pustaka:
Compton,
Boyd R.
1992. Kemelut Demokrasi Liberal. Jakarta: LP3ES
Feith, Herbert. 1999. Pemilihan
Umum 1955 di Indonesia
. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Junaedi. 2014. Di TPS Ini, Pemilih Bisa Saling
Mengintip dan Bisik-bisik
. kompas.com 
diunduh tanggal 16 April 2014.
Movanita, Ambaranie N.K. 2014. Bingung Pilih Siapa,
Pemilih Muda “Ngikut” Orangtua
. kompas.com. diunduh tanggal 16 April 2014.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top