IWD Semarang 2022 Soroti Kurangnya Payung Hukum Kasus Kekerasan Seksual

Sumber Gambar: Hayamwuruk/Juno

Dalam rangka memperingati International Women’s Day (IWD) 2022 pada 8 Maret 2022, komite IWD Semarang 2022 menggelar diskusi terbuka bertema “Menggugat Negara: Perempuan Angkat Bicara” pada Selasa (1/03/22) di Matera Café, Tembalang. Acara tersebut menghadirkan Noer Khasanah (Serikat Pekerja Rumah Tangga), Citra (LRC-KJHAM), Ria Ardana (Perwaris), dan Kiya (mahasiswi Unnes) selaku pemantik diskusi.

Sebagai pembuka, Citra memaparkan situasi kekerasan seksual (KS) di Jawa Tengah yang semakin meningkat, dengan perempuan menempati angka tertinggi. Pelakunya paling banyak ialah orang terdekat penyintas.

“[Pelaku paling banyak umumnya] guru, orang tua, pacar, orang tua tiri, anak angkat, kakek, dan paman,” jelas Citra yang merupakan bagian dari Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM).

Sebagai lembaga pendamping penyintas KS, LRC-KJHAM telah banyak mengadvokasi penyintas dari beragam usia, anak hingga dewasa. Bahkan, lembaga ini pernah menangani kasus KS pada penyintas lanjut usia.

“Ketika mendampingi banyak terjadi hambatan dan tantangan termasuk dari sarana dan prasarana. Tak hanya itu, hambatan juga terdapat pada lembaga penegak hukum,” ujarnya.

Hambatan lainnya adalah kenyataan bahwa penyintas tidak mendapat haknya secara penuh dan anggaran untuk penanganan kasus semakin menurun. Tercatat, di 2019 anggaran penanganan dari pemerintah sejumlah 2 miliar, 2020 2 miliar, namun 2021 turun menjadi 650 juta. “Padahal kasus banyak sekali. Karena alasan anggaran dialokasikan untuk Covid-19, maka banyak anggaran yang dipotong,” ucapnya.

Kiya, perwakilan mahasiswi Universitas Negeri Semarang (Unnes) menyampaikan konteks yang berbeda, yakni terkait kondisi kerentanan isu KS di lingkungan kampus. Menurutnya, meskipun Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 30 Tahun 2021 sudah disahkan, tidak menjamin keamanan bagi korban untuk melapor dan mendapatkan pendampingan sesuai dengan haknya.

“Jadi pengalaman kami di kampus Unnes sebelum dan sesudah adanya peraturan ini belum ada perubahan yang signifikan jadi kepercayaan untuk korban,” jawabnya.

Menurut Citra terdapat alasan mengapa kasus KS pada usia dewasa sulit dibawa ke ranah hukum dan dilaporkan pada penegak hukum. “Jika mereka pacaran di mata penegak hukum dianggap sama-sama suka kemudian dari cara berpakaian korban dan juga diminta mencari bukti atau saksi saat kejadian kekerasan seksual.” tuturnya.

Hal tersebut, lanjut Citra, menimbulkan beragam dampak pada penyintas mulai dari bunuh diri karena tidak ada dukungan dari orang-orang terdekat sehingga penyintas merasa rendah diri, terjangkit virus HIV AIDS, hingga hilangnya kepercayaan penyintas kepada laki-laki.

“Korban butuh pemulihan secara psikologis. Tidak semua masyarakat paham mengenai kekerasan seksual. Banyak sekali dampak yang dialami oleh korban,” tambahnya. 

Maka dari itu, keduanya mendorong pemerintah untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Selain itu, Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 pun mereka harap segera diterapkan dalam peraturan rektor di seluruh kampus di Indonesia.

Reporter: Lala, Juno, Fajri (magang)
Penulis: Juno
Editor: Rilanda

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top