
Identitas Buku:
Judul: Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati
Penulis: Brian Khrisna
Penerbit: PT Gramedia Widiasarana Indonesia
Tahun Terbit: 2025
Halaman: 216 hlm
ISBN: 978-602-05-3132-8
Apakah kematian solusi dari segala permasalahan hidup?
Di tengah hiruk-pikuk dunia, Ale, pria 37 tahun bertubuh gempal dan berkulit hitam legam, sering diejek karena tubuh dan baunya. Ia merasa hidupnya tak layak dijalani dan tak seorang pun peduli, hingga didiagnosis depresi akut. Trauma masa kecil membuatnya percaya kebahagiaan hanyalah ilusi, sementara orang sekitar menuntutnya selalu tampak bahagia tanpa memberi ruang bersedih.
Kita sering mendengar cerita tentang orang yang menyerah hingga akhirnya memilih untuk mengakhiri hidupnya. Tetapi, kita jarang menyelami alasan di balik keputusan mereka. Dalam buku ini, Brian mengajak pembaca masuk ke kehidupan Ale yang diliputi rasa tidak berharga dan keputusasaan.
Dalam keputusasaan, Ale berencana mengakhiri hidupnya setelah menyantap seporsi mie ayam. Namun, rencana itu gagal karena kedai mie ayam tutup, sang penjual telah meninggal dunia. Perjalanan menuju kedai itu justru membawanya pada pertemuan dan kisah-kisah tak terduga yang perlahan mengubah pandangannya tentang hidup. Buku Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati karya Brian Khrisna menggambarkan perjalanan hidup Ale yang menyentuh dan penuh makna.
Dalam perjalanannya, Ale bertemu dengan orang-orang yang tanpa ia sadari telah memberikan makna kehidupan. Ada Murad—seorang bandar narkoba—dan Mami Louisse—seorang yang keras tapi penuh luka tersembunyi. Tak hanya mereka berdua, Ale juga bertemu dengan sosok-sosok penuh kesederhanaan yang justru memiliki kebijaksanaan luar biasa.
Misalnya, pertemuannya dengan Pak Uju—penjual layangan yang ia tolong saat ditagih Murad—terjadi percakapan sederhana namun penuh makna. Pak Uju menggambarkan hidup seperti layangan. Semakin kuat tali ditarik, semakin tinggi ia terbang. Namun jika dilepas begitu saja, layangan akan jatuh.
Nasihat itu sederhana tetapi filosofis. Pak Uju menekankan bahwa hidup memang penuh cobaan, dan justru pergulatan itu yang membuat manusia bertahan. Sama seperti layangan yang tetap melayang meski diterpa angin besar. Harapan, meski kecil dan rapuh, tetap menjadi pegangan penting agar manusia tidak jatuh.
Pertemuan Ale dengan Pak Jipren tak kalah berkesan dan lebih mendalam. Pak Jipren—penjual tunanetra yang hampir tertipu pembeli. Meski tidak dapat melihat, ia memiliki kepekaan luar biasa hingga mampu menebak suasana hati Ale hanya dari nafas dan nada bicara.
Baginya, banyak orang yang memiliki mata, tetapi tidak benar-benar melihat. “Sometimes, we need to close our eyes to truly see the world,” berarti mata hati kadang lebih jujur daripada penglihatan.
Untuk pertama kalinya, Ale merasa dianggap sebagai manusia, bukan sekedar dari penampilan fisiknya. Momen ini menjadi titik balik kesadaran Ale bahwa yang ia butuhkan bukan kematian, tetapi pemahaman dan kepedulian.
Buku ini menyadarkan pembaca untuk membuka mata lebih lebar dalam memahami sisi dunia yang sering terabaikan. Melalui pertemuan-pertemuan tak terduga, meski singkat, buku ini menyajikan perjalanan emosional yang hangat dan menyentuh hati tanpa drama berlebihan atau motivasi klise. Brian Khrisna menghadirkan isu nyata dengan bahasa lugas dan realistis, membuat pembaca merasakan emosi dan pergulatan Ale secara natural.
Setiap tokoh membentuk karakter Ale, yang tumbuh dan belajar dari pengalaman. Percakapan terasa alami dengan pesan moral mendalam tanpa menggurui, sehingga mampu membangkitkan empati lewat cerita sederhana.
Buku ini cocok bagi pembaca yang ingin merenung tentang makna hidup maupun yang sedang hilang arah dan lelah . Setiap pertemuan, percakapan, dan tindakan kecil dalam cerita mengingatkan bahwa hidup tetap layak dijalani, dan kebaikan kecil bisa memberi makna inspiratif.
Pada akhirnya, buku ini mengajak pembaca merenungkan kembali, apakah kematian benar solusi dari segala permasalahan hidup? Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati mengingatkan bahwa hidup bukan sekedar soal besar kecilnya masalah, tetapi juga keberanian untuk tetap mencari alasan hidup—sesederhana bertahan demi seporsi mie ayam.
Penulis: Silvy
Editor: Marricy