
Identitas Buku:
Judul: Entrok
Penulis: Okky Madasari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (GPU)
Tahun Terbit: 2010
Cetakan ke-: 6, Juli 2025
ISBN: 978-602-06-5219-1
Kebangkitan Entrok setelah sekian purnama hengkang dari etalase toko-toko buku di Indonesia rupanya menyajikan kesegaran baru bagi pembaca yang telah lama padam. Buku populer karya Okky Madasari ini sukses besar menghadirkan keterbukaan, kejujuran, sekaligus kebobrokan negeri ini. Berkaca dari kedalaman peristiwa tahun 80an, Entrok jelas lahir kembali seperti terbawa arus kehidupan generasi Z yang berarti ceritanya masih relevan hingga kini.
Okky Madasari dengan bangga mengumumkan lahir kembalinya Entrok di perayaan 15 tahun lahirnya buku tersebut. Tak sendirian, deretan judul-judul lawas karya tangan Okky pun mengikuti, yakni 86, Maryam, dan Pasung Jiwa dengan sampul yang baru. Tentu pembaca yang telah lama mencari buku-buku tersebut tak ingin ketinggalan memilikinya.
Entrok, dalam bahasa Jawa ialah bra atau pakaian dalam perempuan. Judul yang unik dan menarik perhatian karena tentu saja novel tersebut akan berbicara tentang kehidupan perempuan. Pertama kali saya mencari sebuah buku bertemakan perempuan dan feminisme, lantas Entrok karya Okky Madasari muncul di mesin pencarian sebagai rekomendasi populer. Sayangnya, di hari saya menginginkan Entrok, buku tersebut sudah tak diterbitkan dalam bahasa Indonesia.
Saya tak bisa berekspektasi apa-apa tentang Entrok kala itu. Namun, yang pasti, saya benar-benar menginginkannya. Tertanam di kepala saya bahwa suatu saat, jika Entrok lahir kembali, dengan segera saya akan memilikinya. Momen itu pun terjadi.
Kini, Entrok sudah habis saya baca. Saya telan semua isi, emosi, dan akhir yang membuat kepala saya cukup pening. Namun, saya begitu menikmatinya. Sebab kisah ibu dan anak yang disajikan membuat saya mengingat ibu saya tercinta.
Hubungan Rumit Marni dan Rahayu
Marni, seorang gadis yang tumbuh dan berjuang pertama kalinya demi sebuah entrok. Tak terima diupahi singkong setiap bekerja di pasar bersama sang ibu, Marni memilih nguli demi dapat membeli dan memakai entrok agar payudaranya tidak kendor. Rupanya, sifatnya yang pekerja keras itu bertahan hingga ia dewasa. Ia terus-menerus bekerja sampai digadang-gadang sebagai juragan di kampungnya.
Hidup Marni yang bergelimang harta tak cukup sempurna sebab anaknya, Rahayu, memilih jalan hidupnya sendiri. Jalan yang terjal dan berduri. Marni tidak pernah paham mengapa Rahayu begitu nyaman dengan hidupnya yang penuh perlawanan. Akhirnya, Rahayu tak dikenal sebagai anak juragan, tetapi sebagai seorang anggota PKI.
Hubungan Marni dan Rahayu kian memburuk sebab keduanya berbeda pandangan dalam menyembah Tuhan. Marni memilih bertahan dengan tradisi berdoa di bawah pohon asem saat tengah malam, sementara Rahayu memeluk agama Islam yang berketuhanan. Keduanya mulai sering bertengkar karena Marni terus-menerus dicap sebagai penyembah berhala dan Rahayu enggan menerima ibunya yang tak bertuhan.
Menaruh kisah pada tahun 80an tak membuat Entrok tampak usang dan ketinggalan zaman. Cerita yang dibawakan justru sangat melekat dengan kondisi Indonesia dewasa ini. Kisahnya terasa begitu nyata, dan sampai detik ini bisa dirasakan oleh generasi muda. Mulai dari polisi yang suka meminta uang dari rakyat biasa, kecurangan pemilu, hingga ditekannya partisipasi perempuan dalam urusan rumah tangga.
Kemenangan Golkar kala itu tak lepas dari campur tangan Marni sebagai seorang juragan dan debt collector. Marni melalui kehidupan dengan suka dan duka mendalam karena banyaknya masalah yang dihadapi. Mulai dari suami yang suka gendakan dengan perempuan lain, orang-orang yang berhutang tapi tidak mau membayar, hingga Rahayu yang memilih menjadi istri kedua seorang dosen di kampusnya.
Marni hadir sebagai simbol dari perlawanan dan kebertahanan perempuan dalam memeluk harga diri yang telah ia pupuk sekian lama. Sebuah entrok tak membuatnya puas begitu saja. Dari situ, Marni tumbuh menjadi seorang yang tangguh. Di sisi lain, Rahayu adalah simbol perlawanan dan kemunafikan. Karakternya yang agamis berhasil menjebloskannya ke dalam dosa. Namun, perlawanannya hingga akhir perlu diacungi jempol.
Reformasi Semu dan Matinya Demokrasi
Buku ini lahir tahun 2010 dan berlatar tahun 1980an. Kondisi sosial politik di era tersebut terbilang menyedihkan. Banyak kekerasan dan intimidasi terjadi. Okky Madasari blak-blakan menguak kebusukan pemerintah dan bagaimana mereka memperlakukan rakyat biasa dengan semena-mena. Memeras, membunuh, dan memperkosa. Semua itu terjadi dalam Entrok.
Semasa setelah tahun 1980an berakhir, ada yang namanya era reformasi. Di masa itu, kehidupan rakyat membaik dan berubah sedikit demi sedikit. Sayangnya, di tahun 2025 ini. Masa-masa orde baru kembali gentayangan di tengah-tengah kita.
Saya rasa, Entrok dilahirkan kembali bukan tanpa alasan. Untuk mempertahankan sastra Indonesia tetap berdiri tegak, Entrok muncul dengan ceritanya yang masih relatable. Bukan hanya karena pemerintah sekonyong-konyong bertingkah seperti pada masa orde baru, tetapi rakyat juga mengalami kesulitan yang sama. Sekadar membeli entrok saja, mereka limbung ke tanah—mengais-ngais untuk mendapatkan upah. Sampai detik ini, 19 juta lapangan kerja tak pernah terhirup realisasinya.
Membaca buku ini membuat saya menyadari betapa bobroknya negeri ini. Melewati 9 pemimpin, kondisi di negeri ini tak ada perbaikan. Bahkan, buku yang lahir tahun 2010—di mana sudah 15 tahun berlalu—masih dapat disesap penderitaannya.
Tulisannya begitu sederhana dan rapi. Meskipun memakai dua sudut pandang berbeda, saya bisa dengan mudah membedakan cerita Marni dan Rahayu. Membaca buku ini memberikan saya pemahaman baru tentang kondisi Indonesia di tahun 80an. Saya jadi tahu bagaimana Indonesia runtuh bahkan setelah merdeka.
Ada hal-hal yang perlu pembaca tebak. Apakah Rahayu benar diperkosa? Apakah Marni benar berdoa pada berhala? Semua itu adalah pertanyaan-pertanyaan kritis yang perlu pembaca refleksikan setelah membaca Entrok.
Meskipun, tulisannya begitu baik, sekaligus sampul baru yang begitu indah. Tentu, sebuah karya tak luput dari yang namanya kesalahan. Sejujurnya, saya tak begitu suka cerita dengan dua sudut pandang. Di awal, pembaca akan disuguhkan oleh akhir sebuah cerita. Membuka halaman pertama membuat saya bingung. Tetapi, setelah berjalannya waktu, cerita menjadi lebih jelas.
Saya masih mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi pada Rahayu. Mengapa ia harus “laporan” seminggu sekali? Dan mengapa Okky Madasari menaruh agama Islam dan obsesi Rahayu yang dikonstruksi dengan cara negatif?—menjadi istri kedua, berselingkuh dengan kyai, dan melawan ibundanya.
Akhir kata, saya rasa semua orang perlu membaca buku ini sebelum benar-benar dilarang dan dibumihanguskan. Buku ini mengingatkan saya pada Indonesia terkini, yang perlahan telah dirusak oleh pemimpinnya sendiri.
Penulis: Marricy
Editor: Diaz