Seni Ditating Jaman: Optimisme Seniman Penyintas ‘65

Sumber Gambar: Koleksi Foto Oey Hay Djoen/ISSI

Judul : Seni Ditating Jaman
Tahun : 2008
Durasi : 45 menit
Sutradara : Putu Oka Sukanta
Studio : Rumah LKK

Indonesia pada tahun 1965 sungguh kisruh. Bagaimana tidak, sejumlah perwira TNI terbunuh dan (ini yang paling menyedihkan) menjadi justifikasi untuk menangkap bahkan membunuh jutaan yang lain. Dari jutaan itu mungkin ribuannya adalah seniman. Seperti yang dipotret oleh film Seni Ditating Jaman (2008) garapan Putu Oka Sunanta.

Film dokumenter ini menceritakan pengalaman seniman-seniman dan pendapat sejarawan seputar penangkapan dan represi terhadap seniman yang dianggap berafilisasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) pasca tahun 1965. Seni Ditating Jaman berada di tengah-tengah model penceritaan yang intim nan dekat, namun tetap menyentuh berbagai peristiwa besar yang melatarbelakangi pengalaman para narasumber. Bahkan pada bagian awal kita disuguhi perseturuan adiluhung di dunia kesenian Indonesia yang kerap dikenal sebagai “Lekra vs Manikebu”–Lembaga Kebudayaan Rakyat dan Manifesto Kebudayaan.

Dengan menonton film ini kita, bisa mengetahui dua pemikiran kebudayaan yang sangat bertolak belakang karena terdapat narasumber yang merupakan eks anggota Lekra dan Manikebu. Masing-masing kubu mengadvokasi ide-ide kebudayaan mereka masing-masing seperti “politik sebagai panglima”. Kita seperti dibawa kepada tahun 60-an.

Namun ketika menyentuh persoalan represi oleh Orde Baru, keduanya sepakat bahwa peristiwa seperti itu tidak seharusnya terjadi. Bagi seniman Lekra sekaligus pihak yang menjadi korban, Lekra secara organisasi bukanlah onderbouw PKI sehingga represi terhadap anggota Lekra secara membabi buta adalah keliru. Sedangkan bagi Manikebu, yang di film ini diwakili oleh Leon Agusta, tidak semua anggota Lekra adalah komunis dan tidak seharusnya nyawa-nyawa tak berdosa menjadi korban dari konflik politik elite. Ia juga mengatakan bahwa kita bakal kehilangan kesempatan untuk menilai suatu karya kalau untuk terbit saja dilarang.

Soal pelarangan ini juga menjadi kisah tersendiri bagi para penulis yang menjadi korban represi Orde Baru. Lewat film ini kita bisa mengetahui pengalaman dari Koesalah Soebagyo Toer, Misbach Tamrin, Putu Oka Sukanta, Hesri Setiawan yang ruang geraknya dibatasi. Mereka bercerita tentang rutinitas masa lalu mereka ketika hendak menerbitkan buku: ganti nama penulis, didatangi intel, ganti nama penulis, didatangi intel, …(ulangi seratus kali)… lalu benar-benar ketahuan.

Kisah lain datang dari seorang dalang wayang kulit legenderis Alm. Ki Tristuti Rahmadi. Ia menceritakan pengalamannya menjadi tahanan politik sekaligus mendalang di penjara berbagai tempat seperti Ambarawa, Nusakambangan, Salatiga dan Pulau Buru. Semula ia mengaku kehilangan semangat dalam mendalang hingga suatu ketika bertemu dengan seorang pemuda sesama tahanan.

Pemuda itu bertanya padanya kenapa gaya mendalang Tristuti seperti dalang pada umumnya. Gaya mendalang yang menceritakan kisah-kisah perjuangan yang menjadi ciri khas Tristuti hilang. Kemudian Tristuti tersadar bahwa ia harus kembali mendalang dengan gaya dia sendiri. “Dalang itu harus mendalang dalam keadaan apa pun baik ketika sehat atau sakit, kaya atau miskin,” kata Tristuti di film ini.

Tristuti tetap mendalang ketika berada di kamp Pulau Buru. Bahkan dia sendiri mengaku bahwa justru ketika ditahan di Pulau Buru adalah masa keemasannya sebagai seorang dalang. Mungkin ungakapan itu bukan isapan jempol belaka. Soalnya, mana ada dalang di dunia ini yang mendalang dengan wayang yang terbuat dari kulit rusa, gamelan dari drum, dan tampil untuk para tahanan politik yang beberapa bahkan saking depresinya sampai bunuh diri? Belakangan ia menulis naskah pewayangan dengan tema Pulau Buru yang mampu mengorbitkan salah satu dalang yang legendaris juga, Ki Anom Suroto.

Kisah-kisah optimis lain bisa kita jumpai dengan menonton Seni Ditating Jaman hingga tuntas. Bagi mereka, berkarya dengan keadaan dan represi macam apa pun tidak masalah. Mari menonton film ini karena aksesnya terbilang cukup mudah, hanya dengan membuka Youtube. Penulis mengajak pembaca yang budiman untuk menghidupi karya ini karena seni ditating jaman, atau kalau diterjemahkan, seni tidak akan pernah mati.

Penulis : Aan
Editor    : Restutama

One thought on “Seni Ditating Jaman: Optimisme Seniman Penyintas ‘65

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top