Saksi Tragedi Kanjuruhan: Suporter Pingsan Ditolak Masuk Mobil Polisi

Sumber Gambar: Kompas.com/Suci Rahayu

Rabu (05/10/22) Koalisi Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan gelar konferensi pers terkait tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur (1/10/22) lalu. Acara disiarkan lewat kanal YouTube Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dengan menghadirkan saksi kejadian dan beberapa perwakilan lembaga hukum.

Sebelumnya, Tragedi Kanjuruhan terjadi pasca pertandingan BRI Liga 1 antara Persebaya versus Arema FC. Usai pertandingan, sejumlah suporter Arema FC, Aremania, turun ke lapangan namun disambut adangan polisi dan tentara. Saat terjadi kerusuhan, polisi menembakkan gas air mata, termasuk ke arah tribun penonton.

Hal itu menimbulkan kepanikan massa. Para penonton yang panik berlarian menghindari gas air mata. Nahas, banyak yang terinjak-injak, pingsan, sesak napas, hingga meninggal akibat pintu keluar yang terkunci. Polri sebut jumlah korban tewas sebanyak 131. Namun, menurut pihak Aremania jumlahnya lebih dari 200 orang.

Menurut kesaksian Indri (Aremania), yang pada saat itu berada di tribun VIP, permasalahan utama dari tragedi Kanjuruhan adalah aparat kepolisian terutama satuan brigade mobil (brimob). Para personel brimob dianggap tidak bisa menahan diri dalam menangani invasi suporter di lapangan pasca pertandingan tersebut.

“Awal kronologi yang saya tahu, penembakan itu pertama ke arah lapangan bola utara ke arah sentel ban (trek lari di pinggir lapangan). Setelah itu  tembakan kedua dari tengah itu meluas ke selatan,” ujar Indri.

Berdasarkan pengamatannya, memang ada sebagian suporter dari tribun selatan yang turun dan mungkin hendak membantu suporter di tribun utara yang lebih dulu ditembaki gas air mata. Namun alih-alih menembakkan gas air mata ke arah sentel ban, aparat justru menembakkannya ke tribun.

“Yang saya heran penonton, kok, ndak mau keluar. Saya ndak tahu kalau ada kabar penutupan gate 10, 11, 12, 13, 14 waktu itu karena saya posisi di [tribun] VIP. Akhirnya banyak korban yang berjatuhan,” lanjut Indri.

Indri melihat seorang suporter perempuan dalam kondisi tidak sadar digendong 3 pria dan menghampiri mobil polisi yang ada di sentel ban depan bangku pemain. Mobil itu dijaga oleh 4 orang personel brimob. Di dalam keadaan genting seperti itu, suporter perempuan yang pingsan itu justru ditolak oleh aparat untuk masuk ke mobil dan dibawa ke rumah sakit untuk diberi pertolongan.

“Malah didorong-dorong dengan tameng begitu. Setelah berkali-kali ditolak akhirnya mereka keluar. Itupun saya ndak tahu hasil akhirnya gimana,” kata Indri.

Terhitung sampai tiga kali ada kejadian serupa namun polisi yang menjaga mobil tersebut tetap menolak korban yang pingsan. Bahkan sampai terjadi bentrokan antara suporter dan polisi yang berjaga tersebut.

Pasca kejadian tragis tersebut, beberapa lembaga hukum turut mengawal kasus, salah satunya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pos Malang.

Daniel Siagian (LBH Pos Malang) mengatakan, 4 hari belakangan ini LBH Pos Malang fokus kepada penyisiran saksi dan korban. Saksi dan korban didata agar dapat dilakukan pendalaman sehingga bantuan hukum dapat dilakukan.

“Kalau kita lihat dugaan pelanggaran hukumnya adalah dugaan adanya penganiayaan, ya,” menurut Daniel.

Adapun aturan-aturan yang dilanggar antara lain pasal 351, 170, dan 359 KUHP. Hal itu berkaitan dengan dugaan kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama dan tindakan kealfaan yang menyebabkan kematian.

Selanjutnya menurut Julius Ibrani, perwakilan dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), pendekatan keamanan yang menyerang merupakan keputusan yang salah. Padahal, suporter yang masuk stadion sudah dilarang membawa benda-benda tajam, flare, kembang api, senjata api, bahkan kosmetik. Dalam konteks kerumunan yang seperti ini dapat dikatakan bahwa kerumunan ini: (1) tidak terorganisir, (2) tidak mengancam keselamatan jiwa, (3) terkonsentrasi di stadion.

“Dengan 3 indikator ini, pendekatan yang harusnya dilakukan bukan dengan pendekatan keamanan dalam negeri (kamdagri) sehingga melibatkan aparat kepolisian atau tentara,” kata Julius.

Penggunaan alat-alat yang melumpuhkan seperti pemukul dan gas air mata seharusnya tidak digunakan untuk menghadapi kerumunan seperti di atas. Alat-alat seperti itu lebih cocok untuk melumpuhkan pihak-pihak yang mengancam jiwa dan keselamatan.

“Jadi dari awal sudah salah,” pungkas Julius.


Reporter : Aan
Penulis : Aan
Editor: Rilanda

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top