
Senin, 10 November 2025 lalu, kita kembali mengenang mereka yang telah gugur demi bangsa Indonesia ditambah dengan pengesahan nama-nama baru sebagai pahlawan. Suharto, mantan presiden ke-2 Republik Indonesia menjadi salah satu yang termasuk di daftar pahlawan tersebut. Kejutan besar akhir tahun bagi rakyat Indonesia, terutama para aktivis dan korban pemerintahan 32 tahunnya, biasa dikenal dengan sebutan Orba (Orde Baru). Mengingat periode kepresidenan yang hampir dijabat seumur hidup, Orba menyisakan bekas luka yang masih basah hingga saat ini.
Serangan 1 Maret, Pertempuran Ambarawa, Penumpasan G30S PKI, sebagai Komandan operasi Mandala perebutan Irian Barat, dan memajukan ekonomi Indonesia adalah dasar-dasar yang digunakan untuk membangun tangga agar Suharto bisa sampai di titik “menjadi pahlawan”.
Lantas bagaimana dengan genosida 19965-1966, penembakan misterius 1982-1985, pembungkaman pers, penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1998, tragedi Trisakti, pembunuhan Marsinah, serta tragedi Semanggi I dan II ?
Kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi adalah buntut pemerintahan Orba yang menyalahi harkat dan martabat rakyat.
Jika alasan “itu hanya dugaan, belum terbukti kebenarannya” Suharto bisa bersih dari keterlibatan pelanggaran hak asasi maka para eks Tapol (Tahanan Politik) juga sah menghapus tinta hitam bahwa PKI adalah dalang kerusuhan karena sampai detik ini tidak ada bukti konkret untuk membenarkan narasi tersebut.
Sangkalan-sangkalan lainnya terkait kasus HAM Orba menjadi penanda kematian moral bagi siapa pun yang menyetujui Suharto tidak memiliki keterkaitan dengan pencederaan HAM. Rekam jejak kepemimpinan tidak akan sekotor sekarang jika memang pemerintahan Suharto adalah cerminan pemerintah yang ideal. Sederhananya, jika Orba bukanlah era yang kontroversial untuk apa presidennya sampai dilengserkan.
Pelengseran yang dilakukan peserta aksi adalah bentuk ketidakbecusan kepala negara memenuhi hak rakyatnya. Dengan begitu sistem kuasa akan kembali sepenuhnya ke tangan rakyat untuk menata ulang negaranya. Jangan menyalahkan rakyat jika restruktrukturisasi ketatanegaraan dilakukan secara radikal sebab melobi sesuai dengan regulasi yang berlaku mereka hanya bisa membisu.
Reputasi buruk Suharto turun dari kursi presiden secara tidak hormat adalah bukti kuat dia tidak memenuhi syarat sebagai pahlawan yang tercantum dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan Pasal 25 Ayat b bahwa pahlawan harus memiliki integritas moral dan keteladanan. Ketidaklayakannya juga diperkuat dengan namanya yang tercantum pada Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Cacat Reformasi, Orba bereinkarnasi
Keberhasilan penyematan gelar pahlawan kepada Suharto bagi saya adalah pelecehan terhadap reformasi. Kemerdekaan rakyat dengan mengorbankan nyawa selama masa penjajahan oleh bangsa sendiri menjadi nol besar karena kehendak penguasa yang terlalu dipaksakan.
Dalih Suharto menjadi pahlawan juga merupakan persetujuan dari rakyat, menurut saya adalah keputusan invalid karena adalah penyimpulan pemerintah yang terburu-buru dan terkesan mengeneralisir aspirasi. Sebagaimana ucapan mantan Wakil Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (2010-2015), Jimly Asshiddiqie “Golkar bisa saja mewujudkan Suharto jika bisa memastikan tidak ada penolakan dari aktivis dan korban pelanggaran HAM.” Faktanya aktivis dan korban HAM secara terang mengecam keras Suharto menjadi pahlawan.
Jika pemerintah bisa memahami perkataan Jimly Asshiddiqie yang menurut saya sudah disampaikan dengan pemilihan diksi yang mudah dimengerti, pemerintah tidak akan mengesahkan gelar kepahlawanan Suharto. Namun, perilaku penghapusan Suharto dari Pasal 4 Ketetapan MPR No. 11 Tahun 1998 sebagai upaya agar Suharto bisa memenuhi kualifikasi kepahlawanan adalah ilustrasi pemerintah yang sengaja melangkahi kehendak rakyat tanpa negosiasi kekeluargaan.
Pokok pentingnya, pemerintah sedang melakukan pengkhianatan reformasi karena pada dasarnya reformasi hadir untuk meruntuhkan Orba yang sama halnya dengan memukul mundur Suharto dari sistem ketatanegaraan. Saya menyarankan pemerintah perlu melakukan kajian analitis bahwa reformasi adalah koreksi dari Orba yang dilakukan untuk mengembalikan sistem pemerintahan yang lebih manusiawi bukan upaya mengembalikan tirani yang menyalahi demokrasi.
Pun dilema saat ini juga menyangkut kompleksitas historis Indonesia yang kian menyisakan ruang kecil untuk rakyat. Manipulasi sejarah akan terulang kembali dan menurut saya akan terjadi secara brutal dengan penghapusan catatan-catatan hitam Suharto selama masa kepemimpinan.
Kita memang masih leluasa menyelami tragedi-tragedi Orba, tetapi di masa depan mungkin generasi kita akan memandang Orba adalah masa kejayaan. Sejarah yang dibiarkan liar ditulis sesuai karangan pemerintah secara suka-suka akan semakin menyulitkan kita yang bersusah merawat lupa.
Saya khawatir generasi mendatang akan terbentuk menjadi generasi krisis nurani karena berkaca dari pemerintahan yang secara tidak langsung menormalisasikan kejahatan-kejahatan berat melalui penutupan pelanggaran HAM. Akan hadir paradigma bahwa sekeji apapun pembunuh akan ditolong negara membuat penerus bangsa tidak ragu menghalalkan pelanggaran, pembungkaman, penindasan, dan pemanipulasian untuk melanjutkan sistem ketatanegaraan yang semakin pekat dengan darah calon korban pemerintahan di masa mendatang.
Bersama Tolak Kembali Masa Kelam Bangsa Ini
Kemunduran negara semakin menjadi nyata. Tidak usah berharap banyak dengan visi Indonesia Emas 2045, 100 tahun kemerdekaan kita hanya akan sia-sia jika pemerintah tidak bisa mengembalikan kemenangan reformasi rakyat secara utuh. Saya berharap politik negara bisa jauh dari keegoisan pribadi pemilik tahta. Kesalahan fatal jika rakyat dibiarkan kembali memerangi penguasa yang seharusnya bisa bersama membangun bangsa yang lebih sejahtera. Keresahan saya boleh diabaikan jika yang terhormat bapak/ibu yang duduk di singgasana pemerintahan enggan membacanya. Saya hanya ingin meninggalkan jejak, kalau-kalau keresahan saya bisa menjadi alarm satu sama lain untuk kita lebih bijak dalam bernegara.
Tiga puluh dua tahun sudah teramat cukup bagi Indonesia melewati kesuraman. Hentikan skenario egois anda-anda sekalian yang akan semakin menghinakan citra kita sebagai negara yang katanya berdemokrasi dan berperi kerakyatan. Saya hanya tidak mau moral Indonesia menyusul mati para korban yang terbunuh oleh bangsa kita sendiri. Selamat memperjuangkan kembali keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia di negara yang semakin kritis empati.
Referensi:
Abdurrahman, S. (2024, Oktober 24). Catatan Buruk Soeharto Selama Jadi Presiden. Tempo. https://www.tempo.co/politik/catatan-buruk-soeharto-orde-baru-2082708
BPK. (n.d.). UU No.20 Tahun 2009.Trikarinaputri, E. (2025, November 7). Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, Wakil Ketua MPR: Setiap Manusia Punya Kelemahan. Tempo. https://www.tempo.co/politik/soeharto-diusulkan-jadi-pahlawan-nasional-wakil-ketua-mpr-setiap-manusia-punya-kelemahan-2087321
Yanwardhana, E. (2025, November 10). Fadli Zon Buka-bukaan Alasan Soeharto Dijadikan Pahlawan Nasional. CNBC Indonesia. Retrieved November 20, 2025, from https://www.cnbcindonesia.com/news/20251110140536-4-683862/fadli-zon-buka-bukaan-alasan-soeharto-dijadikan-pahlawan-nasional
Penulis: Nadia Rahmah