Bahaya Nyata Anggota Polri bagi Demokrasi

Illustrasi: Aida

Tragedi meninggalnya Affan Kurniawan akibat dilindas oleh taktis Brigade Bermobil (Brimob) merupakan representasi wajah asli instansi Kepolisian Republik Indonesia saat ini. Sejak kejadian tersebut, demonstrasi di berbagai daerah menjadi pecah. Masyarakat mengamuk dan menuntut keadilan. Namun, Presiden Prabowo justru mengatakan bahwa kejadian selama beberapa hari di bulan Agustus kemarin adalah tindakan makar dan terorisme. Dalam sejarah Indonesia, dua kata tersebut memiliki implikasi berbahaya.

Pelabelan makar dan terorisme kepada massa aksi merupakan bentuk kegagapan pemerintah dalam melihat fakta lapangan. Pernyataan tersebut bisa dikatakan berbahaya karena memberi kesan seolah-olah para demonstran adalah musuh negara. Padahal, demonstrasi tersebut merupakan akibat dari konsekuensi logis cacatnya hukum dan iklim politik di Indonesia. Pernyataan tersebut juga membuktikan bahwa pemerintah enggan memperbaiki diri. Tuntutan publik diabaikan dan tidak digubris. Masalah itu yang pada akhirnya akan melanggengkan budaya impunitas dalam tubuh polri.

Impunitas polri semakin diperparah terkait dengan adanya RUU Polri. Masyarakat sipil mengkritik beberapa pasal yang dianggap melampaui batas dan dirasa sangat berbahaya, seperti Pasal 14 ayat (1) huruf o tentang peraturan mengenai penyadapan. Pasal tersebut dikritik karena menimbulkan disparitas antar penegak hukum, seperti KPK dan BIN. Ditambah lagi, pasal tersebut tidak mencantumkan adanya keharusan perizinan bagi anggota yang bertugas. Alhasil, tanpa adanya badan hukum independen yang memiliki wewenang untuk mengawasi, kekuasaan polri akan semakin leluasa dan sewenang-wenang untuk melakukan intervensi ruang-ruang publik.

Dari titik ini masyarakat adalah korban dari sistem yang terus menerus dilanggengkan. Sedangkan, pemerintah dan para kapitalis adalah aktor yang paling diuntungkan dari segala sisi. Menurut David Correia dan Tyler Wall dalam bukunya berjudul Police A Field Guide mengatakan bahwa relasi antara kapitalisme dan kolonialisme dengan polisi bisa dikatakan cukup mesra. Hal ini karena kapitalisme dan kolonialisme tidak pernah bisa eksis tanpa adanya kehadiran negara dalam mempertahankan dominasinya. Artinya, negara dengan segala perangkat hukumnya secara sadar dan sengaja mempertahankan dominasinya atas masyarakat

Kini, kekuasaan polri semakin memprihatinkan sejak rezim pemerintahan Prabowo. Bukti tersebut diperkuat dengan data dari evaluasi kinerja satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran  dari Celios yang menyatakan bahwa kepercayaan publik terhadap aparat negara hanya mendapatkan nilai 2 dari 10. Nilai tersebut turun yang dari awalnya 4 dalam masa 100 hari kepemimpinan Prabowo-Gibran.

Nilai tersebut meski menyedihkan tetapi tidak mengagetkan. Penangkapan peserta demonstran sebanyak lebih dari 900 orang sejak demonstrasi Agustus kemarin, merupakan bentuk kesewenang-wenangan dan brutalitas aparat kepolisian dalam membungkam suara kritis. Sayangnya, bentuk-bentuk  kriminalisasi tersebut dilegalisasi dan dianggap sah oleh hukum Indonesia.

Kita tentu berharap adanya reformasi polri secara menyeluruh yang seharusnya dimulai dengan mencopot ketua Kapolri, Listyo Sigit Prabowo. Bagaimanapun juga, Listyo memiliki peran penting sebab terjadinya degradasi kualitas kepolisian  seluruh Indonesia. Peran polri sebagai pemelihara serta ketertiban masyarakat telah dilecehkan menjadi kepentingan politik yang menguntungkan oligarki.

Listyo tidak lebih dari sekedar kaki tangan kekuasaan. Ditambah lagi, Listyo merupakan salah satu pemegang  jabatan terlama Kapolri sejak era reformasi, yakni mulai pada masa pemerintahaan Presiden Jokowi. Presiden Jokowi sendiri merupakan penyumbang utama bagi penurunan demokrasi di Indonesia. Walaupun, pergantian kepala kepolisian merupakan wewenang yang dimiliki oleh Prabowo. Namun, sejarah mencatat jika kekuasaan yang terlalu lama dan tidak pernah berbenah akan selalu berakhir buruk.

Namun, di sisi lain, reformasi yang digadang-gadang oleh pemerintahan Indonesia menimbulkan pesimisme di kalangan masyarakat. Sejak kematian Affan pada bulan Agustus kemarin, pemerintahan Prabowo sebenarnya berencana menyusun Komite Reformasi Polri, tetapi sampai sekarang komite tersebut tidak kunjung dibentuk. Alhasil, sikap Prabowo tersebut pada dasarnya belum memperlihatkan keseriusan bahkan terkesan menyepelekan terkait dengan reformasi Polri. Ditambah lagi, para pelaku penabrak driver ojek online hanya mendapatkan pemberhentian keanggotaan kepolisian dan penempatan khusus oleh Komisi Etik Polri.

Selain itu, harapan akan adanya reformasi polri semakin sempit ketika dari pihak Kepolisian RI sendiri justru membuat Tim Transformasi Polri. Pembentuk tim tersebut langsung saja menimbulkan kecurigaan bagi publik bahwa adanya upaya dari internal Polri untuk mempertahankan status quo dan tarik menarik kepentingan politik. Jika sudah begini, reformasi polri hanya akan menjadi omong kosong saja. Impunitas, brutalitas, hingga kesewenang-wenangan dalam tubuh polri akan menjadi pemandangan sehari-hari bagi masyarakat sipil.

Budaya impunitas Polri pada akhirnya akan memberikan kabar buruk bagi masa depan demokrasi Indonesia. Kebebasan menjadi mimpi siang bolong yang selalu diharapkan. Kritik tidak lagi menjadi alat untuk membangun, melainkan barang haram yang harus selalu disimpan di balik gigi. Relasi antara turunnya demokrasi akibat impunitas Polri bisa dilihat dari kasus penangkapan aktivis Delpedro, Direktur Eksekutif Lokataru Foundation.

Penangkapan yang dilakukan oleh polisi terhadap Delpedro tanpa adanya surat pemanggilan merupakan pelanggaran serius terhadap suara-suara kritis. Bahkan kabar terbaru, pada Senin 27 Oktober 2025, Pengadilan Negeri Jakarta justru menolak praperadilan Delpedro dan kawan-kawan aktivis lainnya. Padahal, salah penetapan tersangka dalam Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 adalah penetapan sebagai “calon tersangka,” sedangkan Delpedro tidak pernah diperiksa sebagai calon tersangka. Jika para aktivis mendapat kriminalisasi dan tidak mendapatkan kepastian hukum. Maka, masyarakat yang terpinggirkan adalah kelompok paling dirugikan dalam sistem hukum di Indonesia.

Lalu masih adakah harapan?

Umur manusia memang pendek, tetapi kemanusiaan akan selalu berumur panjang. Indonesia sendiri memiliki sejarah panjang dalam kekuasaan pemerintahan yang otoriter. Usaha untuk menciptakan tatanan masyarakat yang demokratis memang bukan sesuatu yang mudah. Bahkan lebih sering berbahaya. Namun, terlepas dari berbagai kritik, reformasi tahun 1998 merupakan bukti keberhasilan masyarakat Indonesia dalam menciptakan harapan adanya kebebasan. Soeharto yang saat itu berkuasa selama 32 tahun berhasil diturunkan jabatannya sebagai presiden.  Oleh karena, perlu adanya Gerakan sosial untuk mewujudkan cita-cita tersebut.

Namun, beberapa bulan ini gerakan masyarakat sipil bisa dikatakan masih dalam lingkaran elit, khususnya Semarang. Kecenderungan mengkritik pemerintahan tidak diimbangi dengan membangkitkan kesadaran kritis di kalangan mahasiswa dan masyarakat yang lebih inklusif. Para peserta demonstran masih banyak datang dari BEM, Senat, HIMA, ormawa internal dan eksternal kampus, dan lain sebagainya. Akhirnya  gerakan mahasiswa menjadi stagnan dan buntu. Padahal kesadaran kritis adalah langkah awal untuk menciptakan suatu gerakan secara parsial, lokal, dan terus menerus-menerus. 

Penulis: Diaz

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top