![]() |
Dok. Hayamwuruk |
Semarang (06/03/2019). Berlangsung di lantai satu Gedung B, Pelataran
Perpustakaan, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), sebuah kelompok independen asal FIB yang bergerak di bidang literasi
bernama “Kelompok Coba Coba” mengadakan nonton film sekaligus diskusi bersama seputar
media perfilman. Khususnya, mengenai film-film pendek karya media alternatif.
Perpustakaan, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), sebuah kelompok independen asal FIB yang bergerak di bidang literasi
bernama “Kelompok Coba Coba” mengadakan nonton film sekaligus diskusi bersama seputar
media perfilman. Khususnya, mengenai film-film pendek karya media alternatif.
Saat ditemui Hayamwuruk, Gregorius T. H. Manurung anggota “Kelompok Coba Coba” sekaligus Ketua
Pelaksana dalam acara bernama “Nobar Pilem” ini menyampaikan tujuan acara ini untuk
menambah pengetahuan tentang media alternatif dan meramaikan kampus. Pun
harapannya, penonton yang hadir juga mendapat banyak referensi soal film di
luar film bioskop dan Hollywood.
Pelaksana dalam acara bernama “Nobar Pilem” ini menyampaikan tujuan acara ini untuk
menambah pengetahuan tentang media alternatif dan meramaikan kampus. Pun
harapannya, penonton yang hadir juga mendapat banyak referensi soal film di
luar film bioskop dan Hollywood.
Acara dimulai dengan memutar enam film pendek, yaitu Dopamine Show,
Perbincangan Malam Itu, Jong, Sebelas, Suwung, dan Error Terror Horror. Acara ini turut
mengundang empat narasumber.
Diantaranya, Tatang A. Riyadi dan Dhimas Tirta Franata (berhalangan hadir) dari Sarekat Kine Semarang, Timothy Stevano dari Kronik Filmedia dan Pupung Barokah dari
Festival Aksara yang dimoderatori oleh Greg,
sapaan akrab Gregorius.
Perbincangan Malam Itu, Jong, Sebelas, Suwung, dan Error Terror Horror. Acara ini turut
mengundang empat narasumber.
Diantaranya, Tatang A. Riyadi dan Dhimas Tirta Franata (berhalangan hadir) dari Sarekat Kine Semarang, Timothy Stevano dari Kronik Filmedia dan Pupung Barokah dari
Festival Aksara yang dimoderatori oleh Greg,
sapaan akrab Gregorius.
Greg membuka diskusi dengan membahas ekosistem perfilman yang ada di kota
Semarang. Greg mempertanyakan mengapa film pendek yang dipilih sebagai wadah untuk berkarya.
Tatang A.
Riyadi memiliki pandangan
tersendiri. Baginya, film pendek memiliki pasarnya sendiri.
Semarang. Greg mempertanyakan mengapa film pendek yang dipilih sebagai wadah untuk berkarya.
Tatang A.
Riyadi memiliki pandangan
tersendiri. Baginya, film pendek memiliki pasarnya sendiri.
“Ekspektasi ketika saya memproduksi film semacam ini menguatkan
potret-potret sosial. Yang jelas semacam membuat sesuatu dan itu diobral ke
khalayak umum dan penonton bebas menerjemahkan atau mengapresiasi film tersebut. Jarang orang yang menangkap
film yang kita putar karena film pendek punya pasar sendiri,”ujarnya.
potret-potret sosial. Yang jelas semacam membuat sesuatu dan itu diobral ke
khalayak umum dan penonton bebas menerjemahkan atau mengapresiasi film tersebut. Jarang orang yang menangkap
film yang kita putar karena film pendek punya pasar sendiri,”ujarnya.
Selain itu, Tatang juga menyampaikan mengenai
kesulitan-kesulitan dalam pembuatan film pendek yang ia garap bersama
kawan-kawannya.
kesulitan-kesulitan dalam pembuatan film pendek yang ia garap bersama
kawan-kawannya.
“Kesulitan ada pada kru,
karena mengingat faktor usia dan waktu. Namun hal tersebut tidak menutup kemungkinan
kami untuk patah arang,”tambahnya.
karena mengingat faktor usia dan waktu. Namun hal tersebut tidak menutup kemungkinan
kami untuk patah arang,”tambahnya.
Timothy Stevano menyampaikan
harapannya pada penonton untuk tidak terjebak pada satu
genre film saja.
harapannya pada penonton untuk tidak terjebak pada satu
genre film saja.
“Pertama, harapan saya film itu jadi. Kedua
film itu ditonton dan dipikirkan banyak orang. Masalah suka atau nggaknya
itu belakangan. Cobalah menonton film yang belum pernah kita tonton sebelumnya. Janganlah
terjebak pada film dalam satu genre saja,”jelasnya.
film itu ditonton dan dipikirkan banyak orang. Masalah suka atau nggaknya
itu belakangan. Cobalah menonton film yang belum pernah kita tonton sebelumnya. Janganlah
terjebak pada film dalam satu genre saja,”jelasnya.
Pupung Barokah menyampaikan pentingnya membangun media alternatif. Dalam hal ini,
sebuah media yang dibangun sendiri, dan berdiri sebagai alternatif ketika banyaknya
orang yang sudah tidak percaya pada media (mainstream)
sebuah media yang dibangun sendiri, dan berdiri sebagai alternatif ketika banyaknya
orang yang sudah tidak percaya pada media (mainstream)
“Bahwa setiap orang harus
melek informasi dengan cara kita harus menjadi media itu sendiri, agar bisa
tahu tentang informasi yang valid atau tidak. Kalau kita membenci media (mainstream), maka
jadilah media itu sendiri agar orang tahu tentang apa yang terjadi,”ujarnya.
melek informasi dengan cara kita harus menjadi media itu sendiri, agar bisa
tahu tentang informasi yang valid atau tidak. Kalau kita membenci media (mainstream), maka
jadilah media itu sendiri agar orang tahu tentang apa yang terjadi,”ujarnya.
“Kami juga mengajak teman-teman untuk mebuat media sendiri yang itu
bisa dijadikan tempat untuk
menginformasikan di sekitarnya,”tambahnya.
bisa dijadikan tempat untuk
menginformasikan di sekitarnya,”tambahnya.
Cintya, mahasiswi Ilmu Komunikasi FISIP mengaku senang ikut serta dalam
acara nonton bareng dan diskusi yang diselenggarakan.
acara nonton bareng dan diskusi yang diselenggarakan.
“Aku senang hadir dalam acara-acara seperti ini karena orang-orangnya
beragam,”ungkapnya.
beragam,”ungkapnya.
Reporter/Penulis : Demita, Istina, Della
Editor : Qanish