![]() |
Dok. Hayamwuruk |
Sabtu (2/3) sejak jam dua siang, cuaca mendung sedikit menyelimuti Kota Semarang. Tampak beberapa panitia di Gramedia Balaikota Semarang yang memakai kaos putih dan scarf biru tampak mondar-mandir untuk menyambut pengunjung berpartisipasi hadir dalam acara “Semarang dalam Karya NH.Dini”.
Jam setengah tiga lebih sepuluh menit, buku tamu sudah terisi enam puluh nama, sebanding dengan kursi aula di dalam yang hanya menyisakan sedikit bahkan ada peserta yang duduk di latar beralaskan karpet biru. Dua bendel kertas turut dibagikan kepada peserta yang berisi dua buah handout materi kedua pembicara. Musikalisasi puisi oleh Bengkel Sastra Taman Maluku – Semarang
menandakan acara segera dimulai.
Acara “Diskusi dan Apresiasi Sastra, Semarang dalam Karya NH. Dini” dimoderatori oleh Widyanuari Eko Putra, seorang pegiat literasi dengan menggandeng Prasetyo Utomo dan Triyanto Triwikromo, para sastrawan sekaligus sahabat almarhum Nh. Dini.
Bagi Prasetyo Utomo atau sering dipanggil Pras oleh kawan-kawannya, Nh.Dini merupakan tokoh yang konsisten menulis tentang kotanya dengan ciri khas “Semarangannya”.
“Bagi Nh. Dini, Semarang bukan sekadar kota kelahiran dan menjemput takdir. Bukan pula sekadar sebuah kota dengan latar dalam novel-novel dan seri kenangannya. Semarang telah memberinya pengalaman batin dan kenangan yang memahat jiwanya sangat dalam, menjadi pijakan spiritual, yang memberinya arah bagi perkembangan jiwa, saat menghadapi konflik, krisis, dan pergulatan hidup,” ujar Pras.
Pras menambahkan Dini merupakan sosok yang menjadikan Semarang sebagai eksplorasi sosio-kultural. Bertaut dengan atmosfer kebudayaan, kata Pras, membentuk jatidiri Nh.Dini, sebagai “rumah jiwa” setelah mengembara bersama sang suami, Yvess Coffin.
Samahalnya dengan Pras, bagi Triyanto Triwikromo, hubungan Dini dengan Semarang adalah benci dan cinta. Sebuah hubungan ketika jauh dari tanah air, Dini berkali-kali meneriakkan dan menggumamkan Semarang. Begitu pula ketika Dini sedang saat berada di dalamnya, negasi terus ia lemparkan.
“Cinta Dini pada Semarang juga mirip cinta Rieux-Tarrou pada Oran. Tanpa ingin jadi pahlawan yang ‘menyuarakan Semarang’ ke dunia, Dini mencatat apa pun yang terjadi di Semarang pada masa perang hingga Indonesia terkini terutama dalam seri cerita kenangan. Dini tak ingin menjadikan Semarang sebagai kota yang mati dan terlupakan. Dalam bahasa Chairil Anwar, Semarang ‘harus dicatet’, ‘harus dapat tempat’,” ucap Triyanto, dengan senyum yang mengembang di hadapan peserta acara.
“Hasilnya: pada saat ‘menjauh’ Dini justru menghasilkan karya-karya seni cerita kenangan yang membeberkan fakta semacam Dari Rue Saint Simon ke Jalan Lembang atau Padang Ilalang di Belakang Rumah, pada saat mendekat justru memunculkan kisah fiksi semacam Pada Sebuah Kapal atau Tirai Menurun. Itulah rindu-dendam Dini pada Semarang dan dalam skala yang lebih besar lagi kepada Tanah Air,” lanjut Triyanto.
Nh. Dini kembali pulang ke Semarang hingga akhir hayat, tanpa mengalami disharmoni dengan kota kelahirannya. Di sini, Dini mendirikan pondok baca hingga melahirkan seri kenangan ‘Pondok Baca’ yang menjelma menjadi latar tempat dengan suasana tertentu, berisi keakraban, kekerabatan, sahabat, saudara, dan trah.
Triyanto berpendapat untuk mengenang sosok Nh.Dini sebaiknya diabadikan menjadi nama jalan atau dibuatkan sebuah museum yang namanya Dini-Walks in Semarang. Diakhir, Pras berharap acara seperti ini menjembatani apresiasi generasi muda agar tidak menjadi asing terhadap karya Nh. Dini.
Sebelum jarum jam melewati angka lima, moderator dan pembicara pun undur diri. Camilan yang tersedia di belakang kursi peserta pun telah berpindah ke tangan-tangan hadirin. Beberapa peserta berdiri, menyalami kedua pembicara dan moderator yang turun panggung, sedang kawan-kawan dari Bengkel Taman Sastra Maluku – Semarang kembali naik, mempersembahkan musikalisasi terakhir sebelum tirai menurun, masih dengan mendung yang menyelimuti.
“Sabar dan dermawanlah seperti bumi. Dia kauinjak, kauludahi. Namun tak hentinya memberimu makanan dan minuman.” (Nh. Dini dalam ‘Langit dan Bumi Sahabat Kami’)
Penulis : Wulan
Editor : Ulil