Posisi Kematian dalam Kebudayaan dan Masyarakat

Sumber Gambar: BPPM Balairung

Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung, Universitas Gadjah Mada meluncurkan jurnal terbarunya pada Minggu (13/03/2022) melalui Zoom dan kanal Youtube. Jurnal bertema “Kematian” ini dikaji secara etnografis dan sosial politik, yang mencoba membahas bagaimana persepsi masyarakat dari masa ke masa mengenai kematian.

Delta Bayu Murti (Dosen Antropologi FISIP UNAIR, Kurator Museum Etnografi dan Pusat Kajian Kematian UNAIR) selaku pembicara mengungkapkan ketertarikannya pada kajian tentang kematian. Banyak hal yang tersembunyi dalam kematian dinilai menarik, karena kematian atau sebelum kematian terdapat fenomena-fenomena sosial yang mengikuti, serta dapat dipelajari penyebabnya.

Menurut Delta Bayu, “Ketika seseorang secara biologis mati, dalam urusan lain belum tentu mati karena manusia makhluk sosial, akan ada urusan yang masih berlanjut akibat keterkaitan satu manusia dengan yang lainnya.”

Kematian dimaknai oleh beberapa masyarakat sebagai afterlife journey, kematian hanya satu langkah pijakan (stepstone) untuk menuju kehidupan berikutnya, dan akan menjadi real death ketika mengalami kematian di kehidupan sekarang dan kehidupan yang lain. Kematian dianggap misteri bagi semua orang, mereka mengetahui ajal akan tiba namun tidak tahu tempat dan waktunya.

“Misteri tersebut membuat banyak orang takut menghadapi kematian, takut penyebab kematiannya secara biologis tidak enak (sakit), dan bagaimana kehidupan pasca kematian di alam lain, oleh karena itu masyarakat mencoba berdamai melalui ritual-ritual,” tutur Delta Bayu.

Ritual kematian memperlihatkan bagaimana kematian dimaknai. Orang yang mati mengalami perjalanan dari alam dunia menuju alam keabadian. Ritual yang merupakan sebuah budaya menjadi salah satu bentuk bagaimana manusia memuliakan manusia lain yang meninggal, dan membantu pihak yang ditinggalkan melepaskan duka cita. Contohnya tahlilan, salah satu ritual pasca kematian yang terkenal di Jawa.

Pada karya Ki Ronggo Warsito berjudul “Wirid Hidayat Jati” menjelaskan unsur tubuh manusia berasal dari alam, sehingga ketika tubuh meninggal akan diupacarakan agar kembali kepada unsur-unsurnya seperti api, tanah, air, dan angin. Pandangan orang terhadap kematian muncul, erat hubungunnya dengan keyakinan dan budaya masyarakat, orang melihat kematian berhubungan juga dengan bagaimana pengetahuan mereka tentang kosmologi dan semesta.

Menurut Dr. Yustinus Tri Subagya (Dosen Kajian Budaya, Universitas Sanatadharma), “Banyak simbol yang dipakai dalam upacara kematian yang dapat membantu kerabat untuk melepaskan orang yang meninggal, sehingga mereka dapat menjalani hidup seperti biasanya.”

Kematian juga dinilai menarik karena menciptakan kontraksi sosial. Suatu jejaring yang pada awalnya diam akan bergerak, seperti melakukan takziyah, mengelola warisan, dan mengurusi utang piutang. Kehidupan sosial yang tidak aktif menjadi aktif lagi karena adanya kematian seseorang.

“Terkait kematian, pandemi Covid-19 memunculkan stigma sosial untuk semua orang termasuk yang mati juga, pemakaman diwajibkan dengan protokol kesehatan ketat, akibatnya kerabat baru boleh mengunjungi ketika sudah dimakamkan. Kondisi seperti ini menyebabkan kesedihan pihak yang masih hidup menjadi tidak tuntas,” tutup Yustinus.

Reporter: Dini Septiani
Penulis: Dini Septiani
Editor: Restutama

*Dalam rangka peluncuran Jurnal Balairung “Kematian”, Vol.3 No.1 Tahun 2022.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top