
Petrus Hariyanto atau yang kerap disapa dengan nama Peter Hari, adalah seorang alumnus jurnalis Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Hayamwuruk, Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya), Universitas Diponegoro (Undip) saat lokasinya masih terletak di Jalan Hayam Wuruk, Pleburan, Semarang, pada awal tahun 1990-an. Peter juga mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang saat itu diketuai oleh Budiman Sudjatmiko.
Sebagai oposisi yang menentang rezim Orde Baru, Peter bersama Budiman dan beberapa aktivis lain pernah ditahan pada 17 Agustus 1996 di Gedung Pidana Umum kejaksaan Agung (Pidum Kejagung) atas tuduhan menjadi dalang di balik Peristiwa Kerusuhan 27 Juli 1996.
PRD sendiri didirikan pada 15 April 1996 dengan tujuan mengkonsolidasikan gerakan multisektor yang kemudian mendeklarasikan diri sebagai sebuah partai pada 22 Juli 1996. Berdirinya partai ini bermula dari gerakan mahasiswa yang mulai muncul kembali pada sekitar 1988. Kemunculan gerakan mahasiswa pada masa itu menggerakkan sebagian kelompok mahasiswa dan gerakan rakyat (buruh dan tani) untuk mendirikan PRD. Hal tersebut didasari perlunya organisasi sebagai payung untuk mewadahi perlawanan di sektor mahasiswa, buruh, dan tani.
Seiring berjalannya waktu, PRD mampu menginspirasi mahasiswa untuk kembali berpolitik. Jumlah mahasiswa, buruh, tani, kaum miskin kota yang melawan meningkat. Kampanye anti kebijakan Orde Baru yang menindas mulai meluas ke masyarakat. Perlawanan kemudian dilanjutkan dengan digelarnya mimbar bebas di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia (DPP PDI) di Jalan Diponegoro, Jakarta. Mimbar bebas berlangsung selama berhari-hari dan saat itu jumlah massa yang menghadiri acara semakin banyak setiap harinya.
Pada tanggal 27 Juli 1996 pagi hari, kantor tersebut diambil paksa oleh PDI Soeryadi dengan bantuan aparat militer. Lama-kelamaan, terjadi bentrok antara massa dengan aparat Brigade Mobil (Brimob) yang menjaga kantor tersebut. Menjelang sore, suasana semakin memanas saat massa mulai dipukuli dan digeret, membuat massa membakar gedung-gedung.
Dua hari setelahnya, 29 Juli 1996, Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Soesilo Soedarman mengumumkan ke publik bahwa PRD adalah dalang Kerusuhan 27 Juli dan para pemimpin PRD ditangkap. Sejak Pemerintahan Soeharto mengumumkan bahwa PRD adalah partai terlarang, aparat militer juga memburu anggota PRD di seluruh daerah dan yang tertangkap sebagian besar disiksa.
Selama ditahan beberapa tahun, beberapa aktivis yang dipenjara di LP Cipinang termasuk Peter memiliki kebiasaan bangun di pagi hari sekitar pukul 05.30 sebelum napi kasus kriminal bangun, untuk melaksanakan rapat pagi: mengumpulkan data dan informasi yang mereka terima di ruang besukan dari para pembesuk yang merupakan kader PRD muda yang belum terdeteksi oleh aparat.
Sementara itu, di luar sana terus melakukan perlawanan terhadap rezim Orde Baru. Organisasi menggunakan sistem komando, konsentrasi pengorganisasian perlawanan rakyat diprioritaskan di Jakarta. Seluruh kader terbaik dari tiap daerah disebar ke Jakarta. Gerakan perlawanan semakin besar hingga berbagai organisasi mahasiswa dari beberapa kampus turut serta.
Tahanan di LP Cipinang menyaksikan seluruh hal yang terjadi dari dalam penjara. Saat itu para sipir memperketat penjagaan karena takut terjadi pemberontakan di penjara. Para tahanan begitu bersemangat menyaksikan perlawanan mahasiswa yang semakin masif melalui radio dan televisi. Pada 21 Mei 1998 di pagi hari pukul 09.00, mereka mendengar siaran langsung saat Soeharto menyatakan kemundurannya.
Mengingat perjuangan PRD sebagai oposisi rezim pada saat itu, guna memahami keadaan oposisi Indonesia di masa kini dan menimbang-nimbang bagaimana masa depan oposisi Indonesia dari melihat kondisi saat ini, beberapa waktu lalu Tim Hayamwuruk mewawancarai Petrus Hariyanto melalui pertemuan daring. Hasil wawancara tersebut kemudian kami susun sedemikian rupa untuk memudahkan para pembaca.
Selamat membaca.
Bagaimana Bapak memandang peran oposisi dalam memperjuangkan demokrasi di Indonesia saat ini? Apa yang akan terjadi jika parlemen mayoritas menjadi koalisi partai penguasa?
Seingat saya, bahwa gerakan sipil terlambat kebangkitannya dalam Pilpres kemarin, yang tiba-tiba ketika mereka sudah muncul ada kesadaran bahwa pemerintah bisa begitu menyabotase sistem demokrasi tetapi sudah terlambat karena tidak bisa dicegah manuver-manuver politik Jokowi untuk memenangkan pemilihan presiden ya.
Walaupun saat itu muncul kritik-kritik dari berbagai universitas dan diikuti aksi-aksi mahasiswa, tapi terlambat karena gerakan itu—muncul kesadaran bahwa rezim ini menyalahgunakan kekuasaan itu—agak terlambat, nih. Karena semua rasanya baik-baik saja karena ya itu sunyinya oposisi di parlemen, tidak ada agenda-agenda yang menawarkan alternatif dari partai yang tidak masuk dalam kekuasaan, juga berimbas kepada keterbelakangan dari gerakan masyarakat sipil ketika Jokowi berkuasa.
Seperti itu. Bahkan kalau boleh dikata, aktivis-aktivis yang membela Jokowi itu terlambat mengalami kesadaran akan bahaya Jokowi di kemudian hari. Mereka menyadari ketika kekuasaan Jokowi itu mengintervensi Mahkamah Konstitusi (MK) secara telanjang terbuka dan mendukung Prabowo membuat mereka baru sadar dan berbelok arah untuk melawan Jokowi dan tidak mendukung Jokowi.
Padahal kalau mau dilihat, pemerintahan Jokowi ini sudah banyak melakukan kebijakan-kebijakan yang membuat demokrasi kita mundur, seperti revisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), intervensi Jokowi kepada KPK yang juga terbuka ke publik dan sekarang publik yakin KPK diintervensi oleh Jokowi, juga Undang-Undang yang dalam Omnibus Law yang banyak mencederai gerakan buruh. Saat itu kebijakan-kebijakan itu terlambat disadari dan juga karena faktor tidak adanya oposisi di parlemen, sehingga rasanya keputusan-keputusan pemerintah yang dilahirkan dari kebijakan-kebijakan dalam bentuk Undang-Undang itu rasanya tidak ada masalah karena tidak ada perlawanan yang cukup berat.
Ya ada, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Koalisi Masyarakat Sipil, LSM-LSM yang banyak memonitor terhadap kebijakan-kebijakan Jokowi yang banyak melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan melanggar sistem demokrasi, tetapi karena kecil karena sunyi di parlemen sehingga tidak menggelorakan misalnya ya gerakan mahasiswa yang waktu itu sangat sporadis, tidak besar ya, tidak merata di seluruh kota-kota ya. Lahir gerakan mahasiswa agak terlambat.
Mengenai perlunya ada sinergi antara gerakan oposisi di luar parlemen, di luar partai, dengan PDIP, kira-kira sejauh mana sinergi itu berjalan atau bisa ditarik benangnya secara bersama?
Ya, yang pertama-tama harus dilakukan justru sejauh mana konsolidasi gerakan masyarakat sipil itu terpenuhi, karena saat ini masih berserakan kan, belum ada satu front besar di antara mereka untuk merumuskan strategi taktik menghadapi situasi ke depan yang sudah banyak dirumuskan para aktivis dan juga para intelektual bahwa Indonesia di ambang bahaya demokrasi dan bisa kembali ke negara otoritarian.
Pertanyaannya justru masyarakat sipilnya sejauh mana bisa melakukan konsolidasi. Ini PR yang harus segera dikerjakan karena masih sporadis, ya. Saya adalah salah satu pendiri organisasi yang bernama Gerakan Masyarakat Sipil dan kami berjalan sendiri, belum ada suatu upaya-upaya merumuskan taktik bersama untuk bersama, yang sekarang muncul adalah mencoba masing-masing kelompok masing-masing organisasi eksis untuk memunculkan agenda-agenda politik menghadapi situasi terkini, tetapi tidak diimbangi dengan konsolidasi besar.
Apakah cukup dengan podcast dan media sosial, apakah perlu melakukan agenda aksi-aksi bersama, apakah perlu ada aksi serentak di seluruh tanah air dengan isu bersama yang intinya ya hal itu bisa memunculkan satu energi yang luar biasa pada giliranya, juga akan mendorong radikalisasi di PDI-P terutama menjaga agar faksi-faksi yang mempunyai agenda-agenda, yang bukan petualang-petualang politik di PDI-Perjuangan saat ini tetap tegar mengobarkan perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang, satu; tidak demokratis, dua; merugikan kepentingan-kepentingan rakyat misalnya pajak pertambahan nilai (PPN) 12% atau agenda-agenda anti demokrasi seperti pemilihan gubernur atau pemilihan kepala daerah (pilkada) dipilih oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) 1 dan 2.
Seperti waktu menjelang kejatuhan Soeharto, semua kekuatan meninggalkan egonya dan bisa duduk bersama merumuskan taktik, bahwa rezim Soeharto itu terlalu besar kalau hanya dilawan oleh teman-teman sendiri-sendiri.
Kebersatuan itu penting agar dia semakin membuat efek besar juga. Sekarang saya pikir sama, masih sendiri-sendiri juga antara gerakan-gerakan masyarakat sipil juga dia tidak akan menjadi energi yang besar. Ya taruhlah, jangankan tokoh-tokoh oposisi yang terkemuka sekarang, gerakan mahasiswalah, apakah punya platform? Apakah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Indonesia juga pernah merumuskan kebijakan bersama, merumuskan program-program koalisi yang sifatnya strategis yang menjadi panduan bagi gerakan mahasiswa dan itu bisa mempunyai energi yang luar biasa, membangun tekanan-tekanan dan opini publik di tengah situasi politik, di mana partai-partai politik mayoritas mendukung kekuasaan Presiden Prabowo.
Tadi sempat disinggung juga tentang gerakan oposisi itu masyarakat sipil masih sporadis ya. Berarti apakah di masa depan ini perlu adanya organisasi yang struktural seperti partai atau cukup berbasis jejaring saja?
Ya, kalau pengalaman kami kepada rezim Orde Baru tidak cukup berjejaring tetapi juga membentuk organisasi bersama. Pengalaman yang sudah terbentuk waktu itu membentuk KIPP. KIPP itu kan Komite Independen Pemantau Pemilu waktu itu terdiri dari berbagai tokoh, terdiri dari berbagai organisasi yang juga menyatukan diri, sudah punya keputusan-keputusan walaupun bersifat teknis, tetapi hal-hal yang teknis itu juga menjadi sesuatu yang harus dijalankan oleh masing-masing anggota yang bergabung dengan KIPP.
Ada KIPP di Jakarta, ada KIPP di daerah-daerah, terhubung relatif rapi. Saya pikir aspeknya perlu luas dan harus menggalang multisektor bukan hanya sektor mahasiswa saja tetapi juga sektor-sektor lain karena persoalan bangsa ini juga bukan hanya yang menderita mahasiswa misalnya, tapi sektor buruh, sektor petani, dan sebagainya kan punya problem-problem berdirinya rezim Jokowi, terus berkelanjutan rezim Prabowo yang di situ juga Jokowi masih bercokol dengan anaknya menjadi wakil presiden dan sebagainya.
Ya, kalau dipandang perlu dan bisa terwujud ya lebih bagus ada organisasi seperti itu tetapi kita mulailah dengan intensitas berjejaring, intensitas berinteraksi, intensitas duduk bersama untuk merumuskan agenda-agenda yang saat ini saya pikir masih buruh dengan buruh, BEM dengan BEM, guru besar dengan guru besar, belum ada gerakan yang sangat solid guru besar se-Indonesia atau gerakan lingkungan hidup dan sebagainya karena kita butuh satu kekuatan front masyarakat sipil yang luas.

Bagaimana sih cara oposisi khususnya dari gerakan sosial ini bisa memastikan suaranya tetap relevan, Pak? Apalagi sebelumnya tadi sudah disebutkan juga bagaimana sebenarnya dalam pemerintahan Jokowi ini suara oposisi tidak terlalu dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan.
Gerakan oposisi masyarakat sipil di pemerintahan Jokowi itu kan justru yang terjadi mereka yang mempunyai keteguhan, integritas, mempunyai track record yang begitu baik dalam melakukan perlawanan justru terserap menjadi orang-orang yang banyak mendukung Jokowi.
Sebenarnya juga terjadi perlawanan dan ada aksi-aksi massa dan sebagainya yang waktu itu berhenti karena Prabowo diangkat menjadi Menteri Pertahanan kan. Karena perlawanan-perlawanan waktu Jokowi itu sangat bersentuhan dengan persoalan kepentingan partisan dalam Pilpres ya kan, digerakkan oleh suatu rekayasa-rekayasa dengan kekuatan uang dan sebagainya untuk melawan Jokowi karena kekalahan dalam Pilpres.
Bisa dilihat kan 5 tahun yang lalu ketika ada Pilpres, aksi-aksi bakar-bakaran, aksi-aksi ingin menjatuhkan Jokowi juga terjadi, tapi lebih kepada digerakkan direkayasa oleh kekuatan-kekuatan yang kalah Pilpres. Meredup karena bilangan amunisi di mana bosnya diambil oleh Jokowi menjadi menteri pertahanan kan kita lihat. Nah sementara gerakan yang lebih mempunyai integritas, mempunyai tingkat kepercayaan publik yang tinggi itu banyak pendukung Jokowi. Sudah saya katakan tadi terlambat untuk memahami kebijakan-kebijakan Jokowi yang banyak mencederai demokrasi. Sehingga kesunyian parlemen semakin menambah kesunyian gerakan masyarakat sipil juga kan. Bisa katakan juga tadi terlambat jikalau kesadaran itu lebih lama lagi tentunya, lain ceritanya ya.
Lain ceritanya Pilpres ini akan dinamis bukan hanya segi kontestan tapi juga kesadaran non partisan pasti muncul, karena yang menyerang Pilpres Prabowo ini kan bukan hanya kelompok yang partisan mendukung Ganjar atau mendukung Anies, tapi juga ada yang melihat dari aspek lebih jauh lagi bukan kepada Pilpresnya tapi kepada nasib negara ini mau digimanakan sistem demokrasi yang sudah diperjuangkan oleh mahasiswa yang mengorbankan banyak nyawa, air mata dan darah dan sudah terjadi konsolidasi demokrasi setiap tahun ke belakang seperti itu menjadi konsen orang yang melawan Prabowo bukan berarti absah mendukung dua calon lain Anies atau Ganjar, tapi tidak ingin Prabowo menang yang merupakan keberlanjutan dari pemerintahan Jokowi.
Nah kesadaran itu kan terlambat ya kan, kalau terjadi lebih cepat lagi lain ceritanya sangat dinamis dan lain ceritanya hari ini, misalnya Prabowo tetap menang pun komposisi koalisinya juga bisa berbeda karena dinamika masyarakat itu juga mempengaruhi koalisi, di samping koalisi yang sekarang ini lebih mengutamakan memperoleh kue kekuasaan, tetapi kalau gerakan demokratisnya, gerakan masyarakat sipilnya sangat dinamis dan besar, tentunya mereka berpikir ulang untuk bergabung pada koalisi pemerintah karena mereka cukup juga harus memperhatikan faktor opini publik yang terbentuk karena persoalan pemilu kan bukan persoalan Pilpres dan Pileg saja, tetapi juga ada pilkada dan sebagainya. Kalau gerakannya dinamis waktu pemilu mereka tetap mendukung pemerintahan yang walaupun menang tetapi mendapat perlawanan yang cukup masif, mereka berpikir lagi juga karena ada pilkada dan sebagainya.
Apakah bagi Pak Peter sendiri ada optimisme dengan masa depan oposisi di Indonesia khususnya di luar partai politik, Pak? Kira-kira apa saja langkah konkret yang perlu dilakukan untuk memperkuat posisi mereka ini?
Ya di tengah para aktivis 98 yang justru sekarang menyebrang menjadi kekuatan yang bersama dengan Prabowo bahkan teman saya ada 4 yang menjadi wakil menteri, beberapa aktivis sekarang justru mendukung pemerintahan Prabowo, tetapi tetap saya melihat situasinya, arah gerakan masyarakat sipil akan membesar di tengah PDI-P yang masih banyak diragukan tetapi saya melihat gerakan masyarakat sipil membesar dan secara dialektika tentunya akan mencari di parlemennya untuk bersinergi.
Saya optimis karena sekarang sudah ada bayang-bayang bahas agenda-agenda melawan kebijakan-kebijakan yang bersifat otoriter ini mencoba dilawan dan mereka sadar bahwa masyarakat sipil harus dibangun dan mereka mempercayai bahwa masyarakat sipil yang terorganisir ini bisa menjadi kekuatan energi bagi perubahan. Jadi saya tidak melihat arah semakin memundur, tetapi arah gerakan ini atau gerakan masyarakat sipil ini bersatu.
Bagaimana sih pengalaman Bapak dulu di PRD ini masih bisakah dapat diterapkan dalam konteks oposisi saat ini, terutama oleh kita-kita mahasiswa generasi muda?
Kalau perubahan sekarang tentu sangat berbeda ya. Hari-hari ini kita sebenarnya lebih dimudahkan untuk berjejaring, membangun opini, membangun konsolidasi, memberikan pendidikan politik yang luas ya kan, dan mengagendakan aksi bersama lebih mudah lagi. Sebenarnya situasi-situasi saat ini lebih mudah dari yang dulu, tidak serepresif dulu.
Juga, sekarang kita rapat aja belum tentu dibubarkan, kalau dulu rapat ngomong kita mau rapat pasti dibubarkan bahkan ditangkap bahkan kalau ditemukan bukti-bukti ada bahan-bahan yang mengkritik pemerintah bisa diadili dan sebagainya. Saya pikir masyarakat sipil melalui gerakan mahasiswa masih tetap jadi satu hal yang penting di dalam melakukan oposisi. Saat ini bagian terpenting bahkan saya melihat di luar gerakan buruh, gerakan petani, gerakan yang lain, seperti itu.
Reporter: Lia, Rana
Penulis: Lia
Editor: Marricy