Kota Semarang Kekurangan SLB Negeri, Ratusan ABK Berebut Kuota

Suasana SLB Negeri Semarang, Selasa (23/09/25) – Dok.Hayamwuruk/Arya.

Pagi itu, Senin (22/09/25), suasana kantin Sekolah Luar Biasa (SLB) Widya Bhakti ramai dipenuhi siswa yang sedang beristirahat. Beberapa siswa sedang mengantre dan siswa lain memadati kursi-kursi. Tak jauh dari pintu masuk, Triana Gayo (49) duduk bersama anaknya, Dela (13). 

Di kantin itu, Triana menceritakan rutinitasnya. Setiap hari, Triana harus menempuh perjalanan 30 menit menggunakan sepeda motor dari rumahnya di Kecamatan Genuk, Kota Semarang demi mengantar Dela ke sekolah.

“Kalau jam tujuh baru berangkat, itu sudah harus ngebut. Idealnya ya jam tujuh kurang seperempat saya sudah keluar rumah,” ujar Triana sembari tersenyum.

Bagi sebagian orang, setengah jam perjalanan mungkin biasa saja. Namun, bagi Triana, ada tantangan untuk menjaga suasana hati Dela. Sebagai Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), suasana hati Dela bisa berubah sewaktu-waktu. 

“Kalau mood-nya lagi jelek, saya harus pintar-pintar membangun perasaan dia. Dari bangun tidur sampai ke sekolah itu menentukan,” tutur Mama Dela.

Meski terbiasa dengan perjalanan jauh, pilihan sekolah ini sebenarnya bukan keinginan pertama. Awalnya, Triana berharap Dela bisa bersekolah di SLB Negeri Semarang. Namun, persaingan di sana begitu ketat dengan kuota yang terbatas.

“Dulu tidak tahu SLB swasta yang mana. Tidak punya pengalaman dan sekolah kayak gini di Semarang juga dikit. Paling tahunya juga sekolah alam atau sekolah inklusi gitu, tapi biayanya tinggi. Akhirnya tanya-tanya, ketemu SLB negeri dengan harapan sekolahnya gratis dan kesannya wah bisa masuk sekolah negeri,” ucap Triana.

Ruang Tunggu Wali Murid di SLB Widya Bhakti, Kota Semarang, Selasa (26/08/25) – Dok.Hayamwuruk/Syifa.

SLB Widya Bhakti, sekolah swasta tempat Dela belajar kini, memang bukan tanpa biaya. Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) bulanan yang dulu hanya Rp200.000, baru saja naik menjadi Rp255.000 setelah lebih dari sepuluh tahun tidak berubah. Bagi Triana, pilihan ini masih jauh lebih realistis dibandingkan sekolah inklusi yang bisa menghabiskan hingga Rp1.500.000 per bulan, biaya itu termasuk SPP dan shadow teacher.

“Dari segi biaya dan kualitas memang lebih tinggi. Cuma saya takut Dela tidak bisa beradaptasi dengan anak-anak di sekolah inklusi itu,” ujar Triana.

Cerita Triana bukanlah kisah tunggal. Di Kota Semarang, hanya ada satu SLB negeri. Pendaftarnya datang dari berbagai daerah di sekitar Kota Semarang, misalnya Demak. Akibatnya, akses menjadi semakin sempit dan banyak yang harus beralih ke sekolah swasta

“Pemerintah harus mengedukasi masyarakat dan memantau anak-anak difabel di wilayahnya. Lho mbok yo dibuat SLB yang banyak biar yang jauh enggak kesusahan. Masalahnya SLB negeri cuma satu, tapi yang daftar dari jauh. Demak ada, Kendal ada, itu kan jauh-jauh toh, ” tegas Triana.

Cerita senada datang dari Hanifa (47), warga Kampung Mangunrejo, Semarang Timur. Dua anaknya kini bersekolah di SLB Negeri Semarang, masing-masing duduk di bangku kelas 3 Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) dan kelas 3 Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB). Setiap hari, Hanifa harus menempuh perjalanan dengan bus umum. Ongkos yang ia keluarkan sebesar Rp6.000 untuk sekali jalan, Rp4.000 untuk dirinya dan Rp2.000 untuk anaknya. 

“Kadang busnya macet, nunggunya lama. Jadi sering telat sampai sekolah,” tutur Hanifa saat ditemui di SLB Negeri Semarang, Senin (22/09/25).

Hanifa pernah mencoba mendaftarkan anaknya ke sekolah inklusi yang ada di Simpang Lima, tetapi gagal diterima. Pilihan berikutnya adalah menunggu antrean di SLB Negeri Semarang.

“Dulu sempat inden dua tahun, baru bisa masuk setelah itu. Selama inden anak saya terapi di Kariadi,” kenangnya. 

Krisis Guru Sekolah Luar Biasa

Semilir angin pagi menyusup melalui jendela ruang Kepala SLB Widya Bhakti, Jumat (19/09/25). Saat itu, Ani Kurniasih (51) tengah membereskan ruangan barunya sebagai Kepala Sekolah. Sembari membereskan barang-barang, ia berbagi cerita mengenai beban berat yang dipikul SLB Widya Bhakti.

SLB Widya Bhakti, yang menjadi salah satu SLB swasta di kawasan Pedurungan, menerima banyak siswa dari berbagai wilayah di Semarang, bahkan hingga luar kota. Beban semakin terasa karena jumlah siswa yang ditampung tidak sebanding dengan sumber daya yang ada

“Di SD itu kuotanya 5, tapi kemarin kami menerima 10 siswa. Akhirnya harus dibagi dua kelas paralel, A dan B,” jelas Ani.

Kondisi serupa juga dialami di jenjang SMP. Kuota hanya 8 siswa, tetapi tahun ini jumlah pendaftar mencapai 16 orang. Sekolah pun kembali membuka dua kelas paralel untuk menampung mereka.

Ani mengaku sering mendapat permintaan tambahan dari orang tua murid yang anaknya ditolak SLB negeri. Sayangnya, ia tak bisa serta-merta menerima mereka semua. 

“Kasihan kalau dipaksakan. Satu guru mengampu 5 siswa saja sudah berat, apalagi kalau ditambah. Anak-anak ABK butuh perhatian khusus, jadi kalau overload malah tidak efektif,” tegas Ani pagi itu di ruang Kepala SLB Widya Bhakti.

Kegelisahan juga kerap dirasakan Ani. Saat ini, SLB Widya Bhakti hanya memiliki 5 guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diperbantukan pemerintah, sementara sisanya berasal dari yayasan. 

“Dulu ada 19 guru dari pemerintah, sekarang tinggal 5 dan sebentar lagi juga purna. Padahal jumlah anak semakin banyak,” keluh Ani.

Ani juga menambahkan, guru di SLB dituntut bekerja lebih keras. “Mereka harus lebih sabar, lebih telaten. Tapi dari sisi kesejahteraan masih jauh dari setara. Saya berharap pemerintah memberi insentif khusus untuk guru SLB, apalagi di sekolah swasta,” harapnya.

Suasana SLB Negeri Semarang, Selasa (23/09/25) – Dok.Hayamwuruk/Arya.

Sementara itu, sebagai satu-satunya sekolah luar biasa negeri di Kota Semarang, SLB Negeri Semarang menjadi tumpuan ratusan keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Sekolah ini melayani semua jenis ketunaan, yakni tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, hingga autisme. Dengan fasilitas lengkap, sekolah ini kerap dianggap sebagai pusat layanan pendidikan difabel di Jawa Tengah.

Namun, menurut Aris Wibowo (45), guru sekaligus Wakil Kepala Sekolah Bagian Humas SLB Negeri Semarang, tantangan terbesar bukan pada fasilitas, melainkan keterbatasan tenaga pendidik. 

“Tantangan kami ya tenaga pendidik, karena itu ibarat pasukan infantri. Bayangkan mau maju perang, perisainya sudah ada, pedangnya tajam, kudanya bagus, tapi prajuritnya dialihkan ke tempat lain. Ya gimana mau maju perang?” ujar Aris ketika ditemui di ruang Kepala SLB Negeri Semarang, Selasa (23/09/25).

Tahun ajaran ini, sekolah hanya mampu menerima sekitar 70 siswa baru dari total pendaftar lebih dari 200 orang. “Pendaftar hampir dua ratus lebih, tapi kuota hanya sekitar tujuh puluh. Sisanya ke swasta. Ada 13 SLB swasta di Semarang, sementara negeri hanya satu ini,” kata Aris.

Jumlah tenaga guru yang berkurang drastis memperparah kondisi. Aris menjelaskan, ada sekitar 25 guru di sekolah ini lulus seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), tetapi tidak ditempatkan kembali di SLB Negeri Semarang. 

“Kalau sekolah enggak ada murid, masih bisa jalan. Tapi kalau sekolah enggak ada gurunya, gimana?” ujarnya sembari menghela napas. Dampaknya, banyak kelas terpaksa digabung sehingga rasio siswa per guru menjadi lebih besar dari aturan ideal, yakni satu banding lima.

SLB Negeri Semarang juga memiliki kampus dua di Ngaliyan yang masih dalam tahap perintisan. Kehadiran kampus ini diharapkan bisa memperluas jangkauan, terutama bagi masyarakat di Semarang bagian barat. 

“Walaupun sekolah ini gratis, tapi kalau jaraknya jauh jadi mahal. Itu lah kenapa kampus dua perlu disiram, perlu support, biar bisa tumbuh jadi SLB Negeri Semarang 2,” ungkap Aris dengan nada optimis.

Meski begitu, Aris mengakui perhatian pemerintah provinsi terhadap sarana dan prasarana sudah cukup baik. Bantuan Operasional Sekolah (BOS), tunjangan guru, hingga fasilitas fisik sekolah dinilai memadai. 

Support pemerintah provinsi Jawa Tengah ini sudah bagus. Cuma ya tadi, kendala di tenaga pendidik. Itu isu nasional. Mugo-mugo cepat ditata, cepat ditambah, biar pelayanan anak-anak difabel lebih maksimal,” harapnya.

Lebih jauh, Aris menekankan bahwa pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus bukan soal belas kasihan, melainkan hak. 

“Anak-anak difabel itu bukan produk Allah yang gagal, Allah tidak pernah gagal. Mereka bukan puntung rokok di tumpukan sampah, tapi batang-batang emas yang tertimbun lumpur. Mereka tidak untuk sekadar dikasihani, tetapi diberi kesempatan yang sama,” tegasnya.

Menjaga Hak Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus

Di sebuah ruangan sederhana, Adi Waluyo, konselor psikologi Rumah Duta Revolusi Mental (RDRM), salah satu unit layanan Dinas Pendidikan Kota Semarang mengatakan layanan pendidikan bagi anak penyandang disabilitas masih penuh tantangan. Kuota SLB di Kota Semarang sangat terbatas.

Di Kota Semarang, hanya ada satu SLB negeri dengan dua cabang. Tentu, jumlah itu tidak mencukupi. “Hanya ada 1 SLB negeri dengan 2 kampus, di Ngaliyan yang cabangnya dan di Elang Raya. Tentu itu tidak mencukupi karena kuotanya sangat terbatas,” ungkap Adi, Jumat (26/09/25).

Keterbatasan inilah yang melahirkan konsep sekolah inklusi. Adi menjelaskan, “Pendidikan Indonesia untuk anak penyandang disabilitas itu dulu mengenal istilah pendidikan luar biasa. Namun, karena dari pemerintah itu melihat bahwa banyak anak penyandang disabilitas yang tidak bersekolah, maka harus ada pilihan yang lain. Oleh karena itu, muncul pendidikan inklusif.”

“Sebetulnya aturan dari pemerintah kalau mengamati Permendikbudristek No. 48 Tahun 2023, semua sekolah itu seharusnya adalah sekolah inklusi. Bahkan, kalau sekolah negeri itu ada kuotanya sendiri,” lanjut Adi.

Dalam praktiknya, semua sekolah negeri dari tingkat TK, SD, hingga SMP di Kota Semarang wajib menerima siswa dengan disabilitas. 

“Mereka tidak boleh menolak, setidaknya penyandang disabilitas harus diterima sesuai dengan kebutuhannya,” tegas Adi.

Berdasarkan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) jalur afirmasi penyandang disabilitas, tahun 2025 ada ratusan anak yang diterima. 

“Untuk jenjang TK yang mendaftar melalui jalur afirmasi itu ada satu anak. Kalau yang SD itu ada 53 dan SMP itu ada 155,” jelasnya.

Namun, angka itu masih bisa lebih besar. Ada anak yang mundur, memilih ke SLB, atau masuk sekolah swasta. “Kalau digabungkan seluruh angkatan ya banyak, bisa ratusan atau mungkin tembus lebih dari seribu,” tambahnya.

Salah satu persoalan utama pendidikan inklusif adalah ketersediaan Guru Pendamping Khusus (GPK). Adi menjelaskan, “Idealnya 1 GPK itu mendampingi 5-15 siswa, itu kalau hitungan pemerintahan pendidikannya. Masalahnya adalah ketersediaannya yang memang belum bisa optimal.”

Di Kota Semarang, jumlah GPK aktif hanya 15 orang. Itu pun sebagian besar masih berstatus non Aparatur Sipil Negara (ASN). 

“Jadi kalau dilihat perbandingannya belum ideal. Tapi ini bukan tanpa kendala sebetulnya dan itu terjadi di berbagai daerah di Indonesia,” ujarnya.

Selain terbatas, penyediaan GPK terkendala birokrasi. Lulusan program studi Pendidikan Luar Biasa (PLB) juga sedikit jumlahnya. “Di Kota Semarang tidak ada satu pun kampus yang punya jurusan itu (PLB). Adanya di Solo, Jogja, Surabaya, dan Bandung. Jumlahnya sangat terbatas, sedangkan itu dibutuhkan banyak orang di Indonesia,” jelasnya.

Sebagai solusi, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah kini menyiapkan pelatihan berjenjang bagi guru reguler. “Jadi, GPK itu nanti tidak harus lulusan PLB, tetapi guru-guru yang nanti dilatih oleh Kementerian Pendidikan untuk pendidikan inklusif sampai tahap mahir. Ada 3 tahapan, yaitu dasar, lanjut, dan mahir,” papar Adi.

Adi kemudian menyinggung terkait ragam disabilitas yang ditangani sekolah inklusi. Awalnya, Peraturan Wali Kota Semarang No. 76 Tahun 2020 hanya membatasi pada disabilitas ringan. Namun, aturan pusat kini memperluas cakupan.

“Sekarang pemerintah itu tidak boleh lagi melalui Permendikbudristek No. 48 Tahun 2023, melalui peraturan-peraturan terkait SPMB untuk membatasi ragam disabilitas. Jadi baik yang ringan, sedang, maupun berat itu wajib diterima. Nah, ini dua sisi mata uang,” jelasnya.

Menurutnya, di satu sisi kebijakan ini positif karena memastikan semua anak mendapat pendidikan. Namun di sisi lain, guru menghadapi tantangan berat. 

“Padahal saya ini punya 25 anak lain di kelas saya yang juga harus saya ajar. Lalu guru harus melakukan apa? Jadi, sekarang memang secara faktanya itu tidak kita batasi. Namun, kita edukasi kepada orang tua bahwa boleh bersekolah di sekolah kami, tetapi kami ada batasan-batasan, maksudnya kami juga masih belajar terkait pelayanan ke disabilitas,” katanya.

Selain itu, Tegar Firmansyah, Staf Seksi SMA/SLB Cabang Dinas Pendidikan Wilayah 1 Provinsi Jawa Tengah, menyampaikan kondisi terkini layanan pendidikan bagi ABK di Kota Semarang, Selasa (30/09/25).

“Di Kota Semarang saat ini ada 12 SLB, terdiri dari 1 SLB Negeri dan 11 SLB swasta,” jelas Tegar saat dihubungi melalui WhatsApp. Dari jumlah itu, sebanyak 1.288 siswa ABK kini bersekolah di SLB baik negeri maupun swasta. Selain itu, Kota Semarang juga memiliki 72 sekolah tingkat SMA yang ditetapkan sebagai sekolah inklusi.

Menurut Tegar, seluruh satuan pendidikan negeri sejatinya memiliki kewajiban menerima siswa inklusi. “Satuan pendidikan negeri diwajibkan menerima siswa inklusi berdasarkan undang-undang dan peraturan menteri, meskipun harus mempertimbangkan kesiapan sumber daya, guru, dan dukungan yang ada di sekolah,” ujarnya.

Untuk memastikan sekolah inklusi benar-benar ramah bagi ABK, Tegar menegaskan bahwa ada sejumlah indikator yang diperhatikan. 

“Pertimbangan kesiapan sekolah, sumber daya, serta tenaga pendidik menjadi kunci. Adanya GPK yang terlatih untuk mengajar siswa berkebutuhan khusus menjadi faktor utama,” jelasnya.

Namun, realitas di lapangan menunjukkan tantangan. Tegar menyebutkan bahwa GPK di sekolah inklusi tidak disediakan langsung oleh pemerintah. Artinya, sekolah perlu mencari cara untuk memenuhi kebutuhan ini, termasuk melalui kerja sama atau perekrutan mandiri.

Dengan hanya ada satu SLB Negeri di Semarang, kuota siswa tentu terbatas. Banyak ABK akhirnya bersekolah di SLB swasta atau mencoba masuk ke sekolah inklusi. 

Namun, pemerintah provinsi belum dapat memberikan kepastian terkait rencana penambahan SLB negeri di Kota Semarang. “Belum tahu,” jawab Tegar singkat. Hal ini menunjukkan masih adanya ketidakpastian dalam perencanaan jangka panjang.

Meski banyak keterbatasan, Tegar menekankan bahwa langkah ke depan tetap harus mengutamakan pemenuhan hak pendidikan yang setara. “Harus memerhatikan dari sudut sarana prasarana serta tenaga pendidikan yang menguasai keterkaitan siswa inklusi yang diterima,” ujarnya.

Dengan kata lain, keberhasilan pendidikan inklusif tidak hanya soal jumlah sekolah atau aturan yang tertulis di atas kertas, melainkan kesiapan nyata di lapangan. Ketersediaan fasilitas, pelatihan guru, dan komitmen sekolah menjadi kunci agar setiap ABK tidak merasa terpinggirkan.

Tulisan ini merupakan hasil liputan penulis dalam beasiswa liputan “Bangkitkan Perlawanan melalui Tulisan yang Berpihak HAM” yang diinisiasi oleh AJI Kota Semarang dan Yayasan Kurawal.

Reporter: Nadhira Syifa, Muhammad Arya, Petricia Putri Marricy, Prihartini
Penulis: Prihartini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top