Negeri Para Hipokrit: Koar-Koar Norma, Kelakuan Bobrok Penguasa Dipelihara

Ilustrasi/Aida

Ironi bertengger tepat di atas negeri ini persis matahari Semarang di siang hari. Di satu sisi, kita kerap keranjingan membicarakan perihal sopan santun, adat istiadat, norma luhur bangsa. Namun, di sisi lain, masyarakat seolah lupa mengenai perilaku pemegang kekuasaan yang justru sering kali menampilkan prosesi pengingkaran atas nilai-nilai yang kerap mereka puja-puji. Kasus penangkapan seorang mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) atas meme satir mengenai Mantan Presiden Joko Widodo dengan Presiden Prabowo Subianto adalah potret buram dari kemunafikan ini.

Meme satir yang dibuat mahasiswi ITB menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) menampilkan figur kedua tokoh negara tersebut tengah berciuman. Keintiman mendalam yang menyentil harga diri pemerintahan ini seolah menjadi suara bising atas sisa-sisa perlawanan yang tidak kunjung didengarkan. Mulai dari upaya turun ke jalan yang direpresi dan mengalami penggiringan narasi, upaya penyampaian lewat jalur seni yang berakhir dengan pembredelan karya, sampai intervensi oknum militer ke acara-acara diskusi mahasiswa. Semua ini menunjukkan bahwa kritik, dalam bentuk apapun, tak lagi punya ruang aman untuk bertumbuh besar.

Penindaklanjutan yang tergolong cepat dalam menjerat mahasiswi ITB dengan dalih menjaga ketertiban dan kesusilaan, menunjukkan betapa giatnya hukum bekerja dalam membungkam ekspresi. Kecepatan ini kontras mencolok dengan berbagai penanganan kasus yang menyangkut kepentingan publik. Mulai dari korupsi pejabat, kekerasan aparat, hingga pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang masih menunggu kesempatan untuk segera menerima keadilan. Sungguh sangat disayangkan ketika hukum yang seharusnya menaungi warga negara justru lebih cekatan dalam menjaga nama baik kekuasaan. Hal ini semakin menegaskan minimnya kesempatan bersuara di ruang umum negara, di mana mempertanyakan kekuasaan jauh lebih berbahaya daripada menyalahgunakannya.

Selama satu tahun ke belakang saja, masyarakat tidak perlu kerepotan mencari berita-berita mengenai para penguasa dan perilaku-perilakunya yang menggambarkan nilai moral dan etika nol besar. Dalam menghadapi berbagai pemberitaan, komponen pengurus negara seolah tidak pernah menerima pendidikan berbicara apalagi beretorika. Pilihan-pilihan kata yang merendahkan rakyat dengan mudahnya meluncur bebas dari mulut mereka, seolah-olah kekuasaan memberi mereka hak untuk menginjak harga diri rakyat.

Mulai dari penyebutan frasa “rakyat jelata” oleh juru bicara kepresidenan, keluarnya makian “ndasmu” dalam pidato presiden terpilih, hingga reaksi “kau yang gelap” ketika merespon tagar #IndonesiaGelap beberapa waktu silam, sudah cukup membingkai bagaimana etika dan moralitas pejabat publik kian kehilangan tempat. Bahkan ketika presiden merespon isu keracunan yang menimpa sejumlah anak pada program Makan tidak Bergizi Gratis. Dengan kepala besarnya, Presiden Prabowo Subianto tidak berkenan membawa empati ke atas mimbarnya dan hanya membicarakan statistik semu dari keberhasilan program tersebut. 

Tidak hanya itu, praktik pengingkaran nilai-nilai moral dan etika oleh para petinggi negara sudah banyak ditunjukkan sejak masa Pemilihan Presiden 2024 berlangsung. Jika ditilik kembali, negara ini sudah lama hancur lebur sejak kita semua membiarkan pengangkangan konstitusi terjadi. Tapi, apa daya. Hampir seluruh elemen petinggi negara bahkan ikut turun lapangan untuk memenangkan dinasti dan mengamankan kursi masing-masing. Kursi-kursi kotor yang mereka rawat baik-baik. Lantas, sekali lagi, kenapa repot-repot bicara masalah norma dan kesusilaan di hari ini?

Aneh rasanya ketika penggunaan hukum untuk membungkam kritik yang dianggap tidak sopan, atau kata Presiden ketujuh RI sudah kebangetan, justru berdiri berdampingan dengan pembiaran terhadap pelanggaran etika oleh para pemuja kekuasaan. Ketimpangan ini dengan gamblang melahirkan kesan hukum yang tidak lagi berdiri untuk keadilan, tapi untuk keselamatan dan kenyamanan beberapa pihak. Dalam waktu yang sama, jurang yang memisahkan antara penguasa dan rakyat akan terpaut semakin jauh akibat tindakan-tindakan arogan, merendahkan, bahkan bagaimana terus terangnya pemerintah untuk tidak mendengarkan teriakan rakyatnya. Maka, jika ingin bicara masalah kesopanan, mari bicara mengenai Aksi Kamisan di Jakarta. Kurang sopan apa mereka menyuarakan keadilan? Lantas atas segala bentuk sopan santunnya Aksi Kamisan digelar, pernahkah ada yang berkenan turun untuk menyelesaikan tuntutan yang diajukan dan bukan janji manis semata? Sejauh ini, upaya paling jauh yang dilakukan negara dan rakyat-rakyatnya adalah memberikan singgasana kepada sang aktor kejahatan.

Jika ingin bicara masalah kesopanan, mari bicara mengenai represifitas aparat yang berlebihan di berbagai titik negara, lengkap dengan penggiringan fakta yang semakin mematikan gerakan massa. Karena kesopanan macam apa yang berwujud pengejaran mahasiswa sampai memasuki area kampus? Kesopanan macam apa yang berwujud menembakkan gas air mata ke pemukiman warga? Kesopanan macam apa yang merepresi petugas pers dan medis di lapangan? Kesopanan macam apa yang berwujud penggiringan opini atas meninggalnya seorang siswa SMK di Semarang yang mati di tangan aparat? Kesopanan macam apa yang membunuh anak itu dua kali? Kesopanan macam apa yang membunuh sanak saudara serta teman-teman yang ditinggalkan lebih telak lagi?

Hari ini mungkin satu rekan mahasiswa di ITB yang ditangkap atas kritik berupa meme satir super konyol yang sialnya menyentil harga diri pemerintah. Lain waktu mungkin saya karena membuat tulisan ini. Lain waktu lagi mungkin kalian. Mungkin kita semua. Namun, ketakutan bukanlah warisan yang patut kita teruskan. Mundur bukanlah pilihan ketika kebenaran dan keadilan menjadi objek pelecehan. Setiap meme, setiap tulisan, setiap aksi demonstrasi adalah bara kecil yang bisa menjelma kobaran perlawanan terhadap kesewenang-wenangan. Jangan biarkan ironi ini terus bertengger. Jangan biarkan kemunafikan merajalela. Mari terus suarakan kebenaran, sekecil apapun, karena dari sanalah perubahan besar bersemi.

Penulis: Almh. Allegra Dyah Rinjani Prayitno
Editor: Alena

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top