
Sejak dahulu jalanan selalu menjelma menjadi universitas rakyat. Disana kata-kata tidak sekadar menguap di udara, tetapi juga abadi melalui kajian dan serangkaian memorial kehilangan: kawan, hak, dan kebenaran.
Gelombang demonstrasi yang terjadi di Indonesia saat ini membuka wajah telanjang sebuah negara yang berkedok demokrasi. Demonstrasi yang seharusnya menjadi ruang partisipasi rakyat dalam menyuarakan aspirasi, justru beralih menjadi panggung penderitaan yang penuh tumbal nyawa dan adu domba.
Hobi usang pemerintah adalah meracik narasi bertajuk “demonstrasi anarkis” sebagai cara yang paling mudah untuk menutup telinga dan mengasapi logika. Kemudian memicu dendam yang lebih cepat menyala daripada akal sehat di kalangan rakyat. Setelah sukses membuat rakyat kecewa dan marah, pemerintah akan memposisikan diri sebagai korban dan memaksa rakyat merasa bersalah atas darah yang menetes di tanah.
Pertanyaannya, kapan negara akan benar-benar berbenah?
Narasi Dibalik Fakta Aksi
Narasi-narasi yang beredar seputar penjarahan, pertentangan etnis, hingga perusakan fasilitas umum (fasum) yang beredar di media maya dengan memojokkan demonstran hanyalah pemantik lawas untuk memercikan api konflik horizontal. Konflik horizontal dapat dimaknai sebagai deteksi dini dari perbenturan antara individu atau kelompok masyarakat yang setara.
Belajar dari pusaran luka kolektif sebelumnya dimana narasi yang sama terjadi: perusakan halte Sarinah pada aksi Tolak Omnibus Law 2020 ternyata pelakunya adalah oknum susupan. Dari kasus tersebut kita mafhum bahwa memecah belah kubu rakyat menjadi kepingan-kepingan kerikil yang tidak cukup mengganggu sepatu pemerintah adalah taktik cemerlang.
Selain keberanian, sudah seharusnya massa aksi kenyang dibekali pengetahuan, kewaspadaan, dan strategi yang terorganisir.
Serial Brutalisme Aparat
Brutalisme aparat—yang meringkas amanat konstitusi menjadi peluru ganas dan semburan gas air mata—sangat mempermalukan nurani bernegara. Brutalisme aparat lahir dari salah baca mandat bahwa keamanan kerap dibaca sebagai kesunyian bukan hadirnya rasa bebas dari bahaya.
Di tangan aparat nyawa bukanlah ihwal mahal yang harus dijaga, sebaliknya: nyawa boleh dihilangkan agar situasi dapat redam.
Selain pembunuhan brutal bersenjatakan barakuda yang menimpa almarhum Affan Kurniawan (21), malam kelam yang mencekam juga terjadi di Kwitang (30/08/25). Pada malam yang dirundung kegelapan, Kwitang ramai mengalunkan suara tembakan.
Pada kota lain peristiwa nahas juga terjadi pada almarhum Rheza (21) yang tewas diduga akibat disiksa oleh aparat. Almarhum mengikuti aksi demonstrasi yang terjadi di Yogyakarta (31/08/25).
Aparat seperti tidak pernah benar-benar belajar bahwa kekerasaan tidak pernah melahirkan kedamaian. Kekerasan hanya membuahkan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang paling dasar, yakni hak untuk hidup. Aparat sudah sepatutnya belajar dan bertanggung jawab.
Diluar kasus kekerasan terhadap demonstran sepanjang aksi massa di bulan kemerdekaan 2025, aparat juga harus bertanggung jawab atas nawa dosa tragedi Kanjuruhan, tragedi penembakan pelajar, hingga tragedi pemerkosaan dan pembunuhan jurnalis.
Aparat adalah sebab dari panjangnya daftar nama jasad yang tewas tanpa keadilan.
Bergantung pada Gaji Dipalak Sri Mulyani
Mencekiknya tarif pajak tanpa disertai dengan perbaikan fasilitas dan taraf hidup menjadi sebab krusial terjadinya aksi protes. Dompet rakyat diperah sekeras-kerasnya tetapi uang yang mengalir hanya berputar pada gaji dan tunjangan artis murahan di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Rakyat yang katanya “tolol” harus bergelut dengan pekerjaan yang bahkan tidak mereka impikan dan secara ikhlas harus berbagi hasil kepada mereka yang hobi goyang gemoy, tidur saat rapat, dan main padel.
Ketika rakyat bertanya kemana perginya uang mereka, senapan sudah di depan kepala dan siap menembak kapan saja. Rakyat kelaparan harus mati ditangan aparat yang celana dalamnya saja hasil iuran satu Indonesia.
Ketika rakyat menjahit lukanya sendiri, para dewan yang katanya ‘wakil rakyat’ memilih menepi ke luar negeri. Lalu berita-berita klarifikasi menyambangi seluruh media tanpa permintaan maaf dari sang kepala negara.
Ironis, ketika negara demokrasi dipimpin oleh seorang terduga pelanggar HAM berat dan anak haram konstitusi, lalu memiliki kabinet besar dengan kualitas yang kecil: artis tidak laku, pelawak tidak lucu, dan menteri dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 2,7. Suara rakyat hanya dibutuhkan dibalik bilik suara setiap lima tahunan, sisanya hanya dianggap provokator makar dan benih-benih terorisme.
Pada klarifikasi presiden yang diunggah oleh kanal youtube Kompas TV (31/08/25) tidak sekalipun kata “maaf” terucap dari mulut sang kepala negara. Tidak pula terucap pencabutan serta pemecatan oknum-oknum bejat yang menimbulkan keresahan publik seperti Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) dan anggota-anggota dewan pengkhianat rakyat.
Referensi:
Kompas TV. (2025). Pernyataan Presiden Prabowo Menyikapi Aksi Demo. Diakses secara daring https://youtu.be/3e_gu9rWwWQ?si=giUCtcvILHEaRcnD
AP News. (2025, August 31). Deadly protests in Indonesia after parliament approves pay hike; president cancels trip abroad. AP News https://apnews.com/article/2b4ad65b836a3b38b6a037b2f45cb309
AP News. (2025, August 31). Prabowo cancels overseas trip, revokes pay hike amid Indonesia protests. AP News. https://apnews.com/article/32d253883d107fcfe7f17752bc46b7d9
Penulis: Kinanti Anjani (Nama Kontributor Disamarkan)
Editor: Diaz Fatkhur Rohman