
Perjalanan panjang grup musik Congrock 17 diangkat dalam sebuah pameran arsip, screening, dan diskusi film bertajuk Berjalan di Tengah Persimpangan pada Sabtu (30/8/2025). Acara ini merupakan salah satu bagian dari Untuk Perhatian yang tergabung dalam rangkaian program Penta K Labs 5, digelar oleh Kolektif Hysteria berkolaborasi dengan Segi Film.
Congrock 17 merupakan grup musik yang berdiri sejak 1983 dengan semangat memperkenalkan keroncong kepada anak muda. Keroncong yang kala itu dianggap kuno, dihadirkan dengan aransemen baru, memadukan unsur rock, jazz, hingga musik tradisional.
Hari Djoko, koordinator Congrock 17, mengenang awal terbentuknya grup musik ini.
“Keroncong waktu itu dianggap musiknya orang tua. Padahal ini budaya musik Indonesia yang perlu dilestarikan. Karena itu, kami sepakat membuat keroncong yang berbeda supaya bisa diterima masyarakat, khususnya anak muda,” ujarnya.
Menurut Hari, ciri khas Congrock 17 terletak pada keberanian bereksperimen.
“Kami tetap mempertahankan suara cuk, cak, dan cello sebagai jantung keroncong. Aransemen dibuat setara dengan band atau orkestra, lalu kami masukkan warna rock, jazz, sampai musik tradisional,” jelasnya.
Pendekatan itu membuat Congrock 17 menjadi inspirasi generasi muda. “Sekarang anak-anak muda jadi percaya diri main keroncong karena tahu musik ini bisa dibawa ke mana saja,” tambahnya.
Eksistensi Congrock 17 yang kini memasuki usia 42 tahun inilah yang mendorong Hysteria dan Segi Film untuk mendokumentasikan mereka.
Alya, produser pelaksana sekaligus kurator pameran, menyebut pengumpulan arsip berawal dari kebutuhan memperkuat dokumentasi.
“Congrock 17 sebenarnya tidak punya arsip yang cukup kuat, tetapi ada Om Yanto, salah satu member, yang rajin menyimpan koleksi lama. Setelah dipindai, ternyata arsip-arsip itu menarik untuk dipamerkan,” ungkapnya.
Menurut Alya, pemutaran film dan pameran arsip ini juga menjadi cara untuk menunjukkan bahwa Semarang memiliki kelompok seni yang mampu bertahan lama.
“Kami ingin menunjukkan bahwa di Semarang juga ada kebudayaan atau kelompok seni yang mampu bertahan lama. Ekosistem budaya di Semarang memang tidak sama jika dibandingkan dengan Jogja, Bandung, atau Solo. Namun, ternyata ada yang bertahan lama, salah satunya Congrock 17,” ujar Alya.
Hari Djoko kembali menambahkan harapannya agar publik terus mendukung musik daerah. “Walaupun sudah 42 tahun, kami masih butuh dukungan. Mari kita sama-sama berkarya dan menjunjung kota Semarang. Semoga musisi Semarang bisa menginspirasi kota lain,” pungkasnya.
Reporter: Titin, Lia
Penulis: Titin
Editor: Marricy