
Keragaman budaya Indonesia bukan sekadar data yang tersimpan rapi di arsip negara, melainkan realitas hidup yang berdenyut, dinamis, dan tak mudah dijinakkan. Seni rupa menjadi salah satu manifestasi ruang ekspresi yang bebas bereksperimen, sulit dibungkam, dan terus-menerus mencari cara baru untuk merekam permasalahan serta mengkritik. Dalam perkembangannya, seni rupa mengalami transformasi dari masa ke masa hingga mencapai bentuk yang dikenal sebagai seni rupa modern. Seni rupa modern tidak hanya berfungsi sebagai media ekspresi estetis, tetapi juga berperan sebagai sarana komunikasi sosial dan politik.
Dalam konteks sejarah kontemporer Indonesia, seni rupa telah menjadi medium penting bagi masyarakat untuk menyuarakan keresahan, kritik, serta harapan terhadap dinamika politik yang berlangsung. Melalui penggunaan simbol visual dan instalasi, para seniman mampu mengartikulasikan gagasan-gagasan yang tidak selalu dapat disampaikan secara verbal, khususnya pada situasi politik yang bersifat represif. Dengan demikian, seni rupa modern berfungsi tidak hanya sebagai wujud kreativitas, tetapi juga sebagai instrumen perlawanan kultural dan advokasi sosial.
Namun, kekuatan seni sebagai alat kritik sosial justru dijadikannya sasaran sensor dan pembungkam oleh aparat pemerintahan.Dalam berbagai rezim otoriter, seni kerap dipandang menyimpang dari narasi resmi negara, sehingga dikontrol, dibatasi, bahkan dihapus dari ruang publik. Hal ini bukan hanya menyasar isi karya, tetapi juga kebebasan para seniman dalam berkarya dan berekspresi. Aparat dan lembaga negara kerap menggunakan alasan stabilitas politik, kesatuan nasional, atau moralitas publik untuk membenarkan tindakan represif terhadap seni.
Belakangan ini terdapat kasus dimana pemerintah takut dengan beredarnya simbol bendera dari film anime One Piece entah apa yang menjadikan hal tersebut sebagai ketakutan negara, sehingga aparat pemerintah melakukan sebuah penyidikan gambar mural yang terjadi di Gamping dan Jurangjero. Secara resmi, pejabat bilang ekspresi ini sah asalkan bukan makar atau memecah belah. Wamendagri mengatakan
“Boleh aja, asal Merah Putih tetap prioritas”.
Tapi faktanya, di lapangan mural dan bendera itu justru dihapus. Padahal bendera itu hanya bentuk ekspresi tanpa motif politik. Hal yang membuat aparat panik adalah potensi simbol itu menyebar. Mereka menghapus mural One Piece, melakukan razia, berkata
“itu bisa memecah belah bangsa”
Rupanya hal itu hanya suatu bentuk ekspresi ketakutan sebuah negara secara berlebih, sehingga terjadi pembungkaman terhadap karya seni.
Ini bukan soal bendera, tetapi soal ketakutan mereka terhadap bahasa visual yang tidak bisa dibungkam. Di mata mereka, seni dalam bentuk protes itu sesakkan udara. Hal tersebut merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia karena adanya penggunaan identitas yang tidak adil terhadap evolusi ekspresi rakyat. Masyarakat bukanlah teroris. Simbol kita justru yang paling patriotik, karena kita terus mempertanyakan, mengingatkan, dan menuntut perubahan lewat karya.
Ketidaksesuaian tindakan aparat terhadap seni rupa modern justru semakin menunjukkan betapa rapuhnya cara negara menghadapi bahasa visual. Alih-alih membuka ruang dialog, aparat lebih memilih jalan pintas: sensor, penghapusan, dan represi. Ironisnya, tindakan ini sering dibungkus dengan alasan “menjaga stabilitas” atau “mencegah perpecahan bangsa”. Padahal, yang sebenarnya terjadi hanyalah ketakutan berlebihan terhadap simbol-simbol yang tidak sejalan dengan narasi resmi negara. Simbol mural, bendera fiksi, bahkan coretan dinding dianggap berbahaya, seolah-olah cat tembok bisa menumbangkan kekuasaan. Kontradiksi ini tidak hanya memperlihatkan kegagalan logika aparat, tetapi juga memperlihatkan betapa seni memiliki kekuatan yang jauh lebih besar daripada yang mereka akui.
Justru di titik inilah seni rupa modern menemukan relevansinya. Ketika negara ketakutan terhadap gambar bajak laut dari anime, kita bisa membaca bahwa yang ditakuti bukanlah animenya, melainkan potensi solidaritas rakyat yang tumbuh dari bahasa visual. Aparat panik karena seni berbicara dengan cara yang tidak bisa mereka kontrol langsung, simbolik, dan menyebar cepat. Inilah bukti bahwa seni rupa modern bukan sekadar cat, kanvas, atau mural jalanan, melainkan instrumen politik rakyat yang hidup.
Harapan ke depan, seni rupa modern tidak boleh tunduk pada rasa takut yang sama. Ia harus terus jadi “senjata budaya” untuk membuka mata publik agar tidak buta terhadap politik. Seni bisa meruntuhkan ilusi propaganda dengan satu gambar, satu instalasi, atau satu mural sederhana. Di sinilah pendidikan politik rakyat berjalan, bukan lewat pidato pejabat, melainkan lewat karya yang membuat kita berpikir, tersentak, bahkan marah.
Seni rupa modern mesti diberi ruang, bukan dipasung. Karena membungkam seni sama saja dengan menutup mulut rakyat. Dan kalau suara rakyat dipaksa hilang, jangan salahkan bila tembok, jalan, atau layar digital akan terus berbicara dengan lebih keras. Seni rupa modern adalah pengingat keras bahwa politik bukan monopoli elit, melainkan arena tempat rakyat ikut bersuara bahkan, dengan kalengan sekalipun.
Penulis: Muflihfunk (kontributor)
Editor: Cattleya