
Sejak zaman dahulu dunia pesantren memiliki satu tradisi lama yang telah menjadi budaya bagi para santri. Selain mengajarkan dan melestarikan nilai-nilai ajaran agama Islam di ruang akademik, dunia pesantren juga mengajarkan para santri semangat gotong royong dan menumbuhkan kesadaran pada lingkungan sekitar atau dikenal dengan istilah ro’an. Namun, akhir-akhir ini tradisi ro’an menjadi sorotan utama masyarakat setelah tragedi runtuhnya bangunan di Pesantren Al-Khoziny, Sidoarjo.
Berdasarkan dari Kementerian Agama, ro’an berarti kerja bakti bersama yang dilakukan para santri, baik untuk kepentingan pesantren maupun masyarakat sekitar. Tradisi ro’an berlandasan pada firman Allah yang berbunyi: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan” (Qs. Al-Maidah:2). Sampai di sini saya merasa tradisi ini penting untuk kita lakukan dan lestarikan bersama-sama, dalam artian sebagai bentuk pengembangan karakter individu yang peduli sosial dan gotong royong.
Lantas Mengapa Tradisi Ro’an yang Tersebar di Media Daring Mendapatkan Kecaman Publik?
Saya menilai bahwa tradisi ro’an yang dilakukan para santri, merupakan bentuk pengabdian (khidmah) yang berdasarkan pada kemauan dan keikhlasan. Sedangkan berita yang tersebar di media daring, sering kali memperlihatkan para santri melakukan aktivitas kasar seperti pembangunan, layaknya tukang bangunan. Entah santri atas dasar kemauan atau keterpaksaan. Publik menilai, tugas utamanya santri yaitu belajar di ruang akademik dan mengaji di pesantren, bukan melakukan pekerjaan kasar. Sampai disini perlu disampaikan bahwa santri tidak hanya belajar dari ruang akademik saja tetapi juga belajar dari aktivitas yang mengandung nilai pendidikan ajaran Islam dan aspek spiritualitas.
Tetapi saya juga tidak membenarkan ro’an atau kerja bakti yang sifatnya kasar seperti tukang bangunan, atau kegiatan sejenisnya. Aktivitas-aktivitas seperti itu seharusnya dilakukan oleh orang-orang profesional dalam bidang tersebut, toh Indonesia memiliki banyak tenaga kerja yang profesional di bidang tersebut. Namun, apabila santri hanya melakukan tugas yang ringan, menurut saya hal itu diperbolehkan, Tetapi tetap dalam pengawasan tenaga profesional, membatasi keterlibatan santri, dan harus didasarkan pada kemauan dan keikhlasan para santri.
Pesantren kan Lembaga Non-profit, Jadi Wajar Mereka Melibatkan Santrinya dalam Kegiatan Pembangunan
Gus Yahya (Ketua Umum PBNU) menegaskan bahwa pesantren bukanlah badan usaha yang mencari keuntungan, melaikan lembaga pengabdian non-profit yang dijalankan dengan ikhlas untuk memberi kesempatan belajar bagi anak-anak.
“Membuat gedung untuk madrasah itu untuk kegiatan belajar mereka. Membangun kamar-kamar juga untuk tempat tinggal mereka sendiri. Jadi, ini soal tradisi pesantren, bukan soal mempekerjakan santri,” jelasnya.
Menurut pandangan saya, jika memang pesantren tidak memiliki dana yang cukup untuk membangun sebuah gedung, yaa jangan dipaksakan. Artinya segala sesuatu harus direncanakan dengan matang, baik itu dari segi pendanaan, perencanaan bangunan, dan berbagai persyaratan perizinan harus terpenuhi, karena keselamatan santri yang paling utama.
Pesantren juga bisa bekerja sama dengan lembaga terkait seperti kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) atau lembaga yang lain. Atau pesantren dapat mencari sponsor untuk pembangunan gedungnya, jangan malah meminta-minta dengan dalih sedekah untuk pembangunan pesantren. Hal-hal seperti bermitra dengan lembaga atau mencari sponsor juga sudah pernah dilakukan di beberapa pesantren yang lain.
Masih Relevankah Tradisi Ro’an dengan Kondisi Zaman Modern Saat Ini?
Apabila membahas mengenai tradisi ro’an secara umum, bukan yang berkaitan dengan aktivitas yang sifatnya kasar, maka jawaban singkatnya yaitu masih sangat relevan. Karena definisi ro’an secara umum yaitu kegiatan kerja bakti lingkungan secara bersama-sama. Bahkan tidak hanya santri, menurut saya masyarakat secara umum juga harus melestarikan tradisi ro’an. Karena tradisi ro’an memiliki manfaat yang sangat banyak, diantaranya: meningkatkan karakter sosial dan solidaritas, menciptakan lingkungan yang bersih dan nyaman, melatih kepedulian terhadap lingkungan dan membentuk jiwa gotong royong.
Dalam kasus runtuhnya gedung di Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo pada 29 September 2025. Sangat jelas bahwa pembangunan itu tidak memiliki standar operasional yang jelas, bahkan belum memiliki izin pembangunan (PBG). Peristiwa yang menimpa santri saat itu pastinya terjadi karena adanya kelalaian manusia, entah itu dari pihak kontraktor atau pihak ponpes. Harus ada pihak yang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut, dan proses hukum harus ditegakkan seadil-adilnya.
Namun, pengasuh ponpes Al Khoziny, KH Abdus Salam Mujib meminta semua pihak untuk bersabar, bahkan ia sempat mengatakan bahwa, “Saya kira ini takdir dari Allah.” Statement tersebut seolah-olah membela diri atas berbagai tuduhan yang dilontarkan kepadanya.
Seharusnya pihak pesantren secara umum, ketika mendapat suatu teguran atau kritik dari publik atau masyarakat maka pesantren harus berbenah dan mengevaluasi. Pesantren tidak boleh anti-kritik, karena seiring berkembangnya zaman terdapat beberapa hal yang memang diperbolehkan sesuai tradisi dan ada juga yang harus disesuaikan dengan zaman sekarang. Dari peristiwa kemarin, seharusnya menjadi momentum bagi berbagai pesantren untuk refleksi kolektif, jangan sampai tradisi ro’an disalahpahami atau dicitrakan negatif oleh masyarakat atas kejadian-kejadian tersebut.
Peristiwa Runtuhnya Gedung Merupakan Takdir dari Allah, Nantinya Juga Diganti dengan yang Lebih Baik
Pengasuh ponpes Al Khoziny yang mengatakan kejadian yang menewaskan puluhan santri adalah takdir dari Tuhan, ia menjadikan agama sebagai tameng untuk mengatasi permasalahan tersebut. Oleh karena itu, proses hukum harus ditegakkan supaya masyarakat tahu siapa yang berhak bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Jikalau memang takdir Allah yang menjadi patokan, maka segala kriminalitas yang ada di dunia ini, mereka para pelaku tidak berhak diadili dong, karena mereka melakukan kriminalitas atas takdir Allah.
Takdir itu memiliki dua jenis, yang pertama yaitu takdir muallaq atau takdir yang bisa diubah melalui usaha dan doa. Yang kedua yaitu takdir mubram atau takdir yang sudah ditetapkan oleh Allah dan mutlaq tidak bisa diubah. Artinya, dalam kasus di atas manusia memiliki kesempatan untuk mengubah takdir dengan merencanakan konstruksi yang benar, proses pembangunan yang benar, dan dilakukan oleh orang-orang profesional. Tetapi hal itu tidak dilakukan sebagaimana mestinya.
Dalam ajaran agama Islam ada kaidah yang penting yaitu “Mencegah kerusakan harus didahulukan daripada meraih kemaslahatan.” Namun, kaidah tersebut sepertinya diabaikan oleh banyak pesantren di Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan audit pemerintah yang menyatakan bahwa hanya 50 pesantren di Indonesia yang memiliki Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), sesuai undang-undang pemerintah No 16 Tahun 2021. Sedangkan berdasarkan data Kementerian Agama per 4 Oktober 2025, Jumlah pondok pesantren di Indonesia mencapai 42.391 unit. Sebagai penutup saya ingin mengutip hadist nabi yang berbunyi:
إِنّ اللَّهَ تَعَالى يُحِبّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلاً أَنْ يُتْقِنَهُ
“Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila bekerja, mengerjakannya secara profesional.” (HR. Thabrani, No: 891, Baihaqi, No: 334).
Penulis: Alim
Editor: Marricy