Gratis, Tapi Berisiko: Ironi di Balik Program MBG

Dok. Hayamwuruk/Ilustrasi: Afis

Ribuan anak mengalami keracunan setelah mengonsumsi Makanan Bergizi Gratis (MBG) merupakan sebuah peristiwa yang tak bisa diabaikan begitu saja. Permasalahan ini dapat dianggap sebagai tanda akan lalainya pengawasan pangan dalam negeri ini. Program yang dinilai dapat menangani masalah malnutrisi dan stunting di Indonesia, malah menimbulkan kecemasan baru yang mengancam nyawa.

Berdasarkan data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) yang dilansir oleh kompas.com, total korban keracunan semenjak awal tahun telah mencapai 11.556 anak di berbagai pulau. Data ini cukup untuk menunjukkan bahwa Indonesia tengah dalam kondisi darurat.

Lantas bagaimana respon Presiden Prabowo, selaku penyelenggara program yang dianggap efektif untuk menurunkan angka malnutrisi tersebut?

“Memang ada gangguan. Ada keracunan makanan. Tapi ketika kita menghitung jumlah makanan yang telah dibagikan, jumlah keracunan makanan, statistiknya 0,0007,” kata Prabowo, dilansir dari CNN Indonesia. Respon tersebut jelas menunjukkan bahwa keadaan darurat ini cukup dianggap remeh oleh Presiden Prabowo.

Pernyataan yang menormalisasi ribuan kasus keracunan sebagai “0,0007 persen” menunjukkan bagaimana pemerintah lebih sibuk meredam citra daripada menenangkan rakyat. Data memang penting, tapi angka tak bisa menggantikan empati. Di balik persentase kecil itu ada ribuan anak yang menanggung sakit dan orang tua yang kehilangan rasa aman. Ketika nyawa manusia diubah menjadi statistik, nilai kemanusiaan dalam kebijakan publik perlahan terkikis.

Sebagai warga yang mengikuti perkembangan program ini sejak awal, saya sulit untuk percaya bahwa MBG benar-benar dirancang dengan kesiapan yang matang. Ide memberi makanan gratis untuk anak-anak memang terdengar mulia, tapi pelaksanaannya tampak lebih seperti proyek politik ketimbang bentuk kepedulian nyata dari Presiden Prabowo. Program sebesar ini seharusnya berdiri di atas perencanaan yang detail, bukan sekadar ambisi yang dikejar tanpa kesiapan lapangan.

Selain itu, kualitas makanan yang dibagikan sering kali jauh dari kata layak. Banyak laporan menyebut lauk yang sudah berbau, nasi yang basi, hingga kandungan gizi yang tak seimbang. Menurut saya, hal ini bukan sekadar persoalan teknis, melainkan gambaran nyata tentang bagaimana negara memperlakukan rakyatnya. Anak-anak tampak dianggap hanya sebagai angka di laporan, bukan sebagai individu yang berhak atas makanan yang layak dan kesehatan yang terjamin.

Saya tidak setuju dengan adanya program Makanan Bergizi Gratis (MBG). Sejak awal, program ini sudah menunjukkan banyak tanda ketidaksiapan dan ketidaktepatan sasaran. Di hadapan publik, idenya tampak menjanjikan, namun penerapannya terbukti ceroboh dan penuh kekurangan. Kebijakan yang berkaitan dengan keselamatan anak-anak menuntut ketelitian mutlak, sebab satu kekeliruan saja dapat membawa akibat fatal. Dalam konteks ini, MBG justru menjadi potret ironi yang membawa penderitaan bagi banyak pihak.

Dadan Hindayana, selalu kepala Badan Gizi Nasional (BGN) menyatakan bahwa mayoritas keracunan disebabkan oleh SPPG yang tidak mengikuti SOP yang ditetapkan oleh BGN. Dugaan kelalaian juga terlihat dari penggunaan bahan pangan yang telah melewati masa layak konsumsi. Selain itu, proses memasak yang semestinya dilakukan tidak lebih dari enam jam sebelum pembagian justru dilakukan dua belas jam sebelumnya, membuka peluang besar terjadinya kontaminasi.

Akibat dari ketidaksiapan itu kini tampak jelas. Anak-anak yang mestinya mendapatkan asupan bergizi justru menjadi korban dari kebijakan yang tergesa-gesa dan asal dijalankan. Menu yang disajikan setiap hari bahkan jauh dari standar gizi yang dijanjikan. Dengan dana sebesar Rp71 triliun, publik berhak menuntut makanan yang benar-benar layak, bukan sekadar formalitas program.

Melalui rapat koordinasi di Kementerian Kesehatan Jakarta pada Minggu, 28 September 2025, pemerintah mencoba meredam krisis dengan menawarkan sejumlah solusi. Beberapa di antaranya mencakup pemecatan SPPG yang lalai, perbaikan sanitasi dapur, dan penempatan juru masak bersertifikat. Namun, publik patut bertanya: apakah langkah-langkah ini benar-benar mampu memperbaiki program yang sudah kehilangan kepercayaan masyarakat?

Di luar langkah-langkah yang telah ditempuh pemerintah, solusi yang sebenarnya perlu dimulai dari perombakan total. Program ini harus dibangun ulang sejak dari sasaran penerimanya. Karena faktanya, anak-anak dari sekolah swasta yang tergolong mampu masih ikut menerima bantuan, sementara tujuan lainnya jelas untuk membantu mereka yang kekurangan. Dapur penyedia, bahan baku, hingga tenaga kerja pun mesti dievaluasi secara menyeluruh, mengingat anggaran yang digelontorkan mencapai Rp71 triliun. Jika pemerintah tidak ingin menghentikan program ini, maka satu-satunya jalan adalah mengelolanya dengan benar, transparan, dan berlandaskan tanggung jawab nyata terhadap keselamatan rakyat.

Referensi:

https://www.tempo.co/politik/sederet-upaya-pemerintah-mencegah-keracunan-mbg-terulang-2074573

https://www.kompas.com/jawa-barat/read/2025/10/15/184500088/jawa-barat-jadi-episentrum-kasus-keracunan-mbg-jppi-catat-4.125?page=1

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20251016034945-32-1285031/prabowo-pemerintah-tak-tinggal-diam-atas-kasus-keracunan-mbg

https://www.tempo.co/politik/beda-data-bpom-dan-bgn-soal-keracunan-mbg-2075781

https://money.kompas.com/read/2025/10/14/200218326/bgn-kembalikan-anggaran-mbg-rp-70-triliun-ke-presiden-ini-penjelasan-purbaya

Penulis: Fafa (Magang)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top