
Sepanjang jalan menanjak dan berkelok itu, berjejer beberapa jalanan gang di sisi kiri dan kanan. Jalan Untung Suropati, Kedungpane, Kecamatan Mijen, Kota Semarang, menjadi saksi ratusan truk besar yang berlalu-lalang mengangkut tumpukan sampah. Truk-truk tersebut berbelok di salah satu jalan kecil di sisi kiri, membawa tumpukan sampah di dalam kontainernya melewati palang kayu berwarna putih dengan tulisan “Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Jatibarang.”
Meski pernah mengalami kebakaran pada tahun 2023, TPA Jatibarang tetap menjadi sumber nafkah bagi beberapa orang. Bagi mereka yang bermukim di sepanjang jalan sebelum gapura utama TPA Jatibarang, truk-truk berbadan kontainer yang berlalu-lalang setiap harinya bukan hanya membawa tumpukan sampah, tetapi juga harapan. Di kanan-kiri bahu jalan itu berdiri rumah-rumah berbahan bambu dan tripleks; beberapa di antaranya ada yang hanya berupa kerangka bambu. Sekelilingnya dihiasi oleh banyak pohon berdaun kering dan setengah hangus.
Selain di dalam lokasi TPA, pemukiman pemulung juga sempat mengalami kebakaran. Tepat pada 14 Mei 2025, sebanyak lebih dari 40 rumah pemulung hangus terbakar.
Penghasilan yang Tak Sebanding dengan Risiko Pekerjaan

Siang itu 2 Juni 2025, sekitar pukul 13.00, terik sang surya terasa menusuk kulit. Namun, di antara sampah dan sapi-sapi kurus memenuhi kawasan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA), hadir orang-orang yang tampak kebal dengan sengatan panas matahari juga bau busuk yang menyelimuti udara sekitar. Beberapa dari mereka menggendong ember besar layaknya sebuah ransel di punggungnya. Ada yang masih kosong; ada yang sudah disesaki berbagai jenis sampah.
Di sisi lain, Taufik baru saja datang dan bersiap-siap di sebuah gubuk kayu yang berdiri di salah satu sisi area sampah, sebelum memulai bekerja. Selama kurang lebih 12 menit, ia menyempatkan waktunya untuk berbagi cerita kepada reporter Lembaga Pers Mahasiswa Hayamwuruk di gubuk tersebut.
Taufik baru berkecimpung di pekerjaannya sebagai pemulung sejak setahun yang lalu. Sebelumnya, ia mencari nafkah dengan berdagang. Namun, karena sepi pembeli, ia terpaksa banting setir menjadi pemulung.
“Dulunya saya jualan, terus sepi, karena terpaksa ya saya ke sini (TPA –red). Dulu, saudara-saudara di sini duluan,” ucapnya.
Laki-laki asal Genuk, Semarang Timur itu biasanya mengumpulkan sampah selama tiga hari, mulai dari Senin hingga Rabu, berlanjut Kamis hingga Sabtu. Selama tiga hari, ia mengumpulkan berbagai jenis sampah dari siang hingga malam, lalu dipilah berdasarkan jenisnya. Ada botol, gelas, hingga plastik. Dari jenis-jenis sampah tersebut, botol adalah yang paling mahal harganya. Setiap Rabu dan Sabtu, akan ada pembeli dari paguyuban yang datang.
Rata-rata 1000 ton sampah yang masuk ke TPA per harinya, nyatanya tidak sebanding dengan pendapatan para pemulung. Dalam setiap tiga hari menimbang sampah, Taufik menerima penghasilan paling banyak sebesar Rp300.000,- dan paling sedikit Rp160.000,-. Dari penghasilannya ia cukup-cukupkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarga. “Ya enggak cukup, sih. Cukup-cukupin, lah.”
Dibandingkan dengan risiko yang dihadapinya di lapangan, penghasilan yang ia peroleh tentulah jauh dari kata cukup. Bau tak sedap yang dihasilkan oleh sampah saat panas terik kerap menusuk indera penciuman. Namun, Taufik mengakui sudah terbiasa dengan hal tersebut, dibanding saat pertama kali bekerja.
Tak hanya persoalan bau, di bawah terik matahari ia juga bercerita tentang pengalamannya yang tidak menyenangkan selama bekerja sebagai seorang pemulung. Terkadang, pencarian sampah sangat sulit dilakukan jika sedang hujan. Kalau dipaksakan, tumpukan sampah yang basah akan membahayakan para pemulung yang memijaknya. Taufik seringkali terpeleset jika bekerja saat hujan.
“Kayak kecebur gitu karena enggak padat (sampahnya –red), jadinya masuk airnya cepat. Saya sering (kepeleset –red),” ungkapnya.
Selain itu, Taufik mengaku pernah melihat TPA kebakaran kecil saat sedang bekerja di malam hari. Ia melihat api tiba-tiba muncul sepanjang kurang lebih 2 meter, lalu secara mandiri mencari air dan memadamkannya.
Masih Ada Asa yang Tak Hangus
Tak hanya Taufik, keluar dari kawasan TPA, di ujung jalan di bawah sana masih terdapat kehidupan lain. Pada Selasa, 3 Juni 2025, walau bulan sudah menampakkan wujudnya dan langit sudah menghitam, sebuah warung di sisi kiri jalan itu masih terlihat dipadati oleh beberapa warga sekitar. Warung tersebut tidak langsung menghadap ke jalan utama. Di depannya terdapat lorong kecil yang hanya bisa dilewati oleh pejalan kaki. Di sana, Urwanti (39) menarik kursi dan duduk bersama reporter LPM Hayamwuruk, membagikan kisahnya sebagai salah seorang pemulung yang terdampak kebakaran.
Sembari memangku anaknya yang berusia 2 tahun, Urwanti bercerita bahwa sudah 10 tahun lamanya ia bekerja sebagai pemulung di TPA Jatibarang. Sejak TPA dibuka pukul 7 pagi, Urwanti sudah mulai mencari sampah untuk dikumpulkan. Sama seperti Taufik, hal itu juga berulang selama tiga hari berturut-turut sebelum akhirnya ditimbang dan dijual kepada ‘bos’. Kadang-kadang, ia baru mulai menimbang dan menjual sampah yang terkumpul satu minggu setelahnya. Hasil yang ia dapatkan setiap tiga hari berkisar Rp400.000,- hingga Rp450.000,-.
Biasanya, Urwanti bekerja siang malam mencari sampah, tetapi sejak jam operasional TPA dibatasi hanya sampai pukul 5 sore, ia dan para pemulung lain tidak bisa bekerja hingga malam lagi. Pasalnya, saat masih beroperasi hingga malam, lampu dari truk-truk yang berlalu-lalang akan menerangi lokasi dan memudahkan para pemulung untuk bekerja.
“Truk-truk itu kan sampai jam 5 (bekerja –red). Kalau kita mau cari sampah, tempatnya enggak ada lampu, biasanya kan ada truk, padang (terang),” kata Urwanti.
Kebakaran yang sempat melanda pemukiman pemulung pada 14 Mei 2025 lalu membuat sosok ibu dari tiga anak itu kehilangan banyak hal. Saat kebakaran terjadi sekitar pukul 8 pagi, Urwanti langsung bergegas pergi membawa anak-anaknya tanpa sempat menyelamatkan barang-barang di rumah. Rumahnya termasuk salah satu dari 45 rumah pemulung yang terbakar hangus.
“Ya … alat-alat masak, perabotan tidur, semua hilang,” ujarnya sambil tertawa dengan suara bergetar. “Ya rumahnya, semua terbakar. Habis-habisan,” lanjutnya.
Namun, insiden yang menimpanya itu sama sekali tidak mematahkan semangatnya untuk kembali melanjutkan hidup. Saat ini ia sudah tidak memasak, melainkan membeli makanan yang dijual di warung-warung karena keterbatasan fasilitas. Uang yang dimilikinya ia gunakan untuk membangun kembali rumahnya terlebih dahulu, seperti bambu, kayu, dan tripleks.
Hidup menjadi pemulung bukan perkara mudah. Untuk mencari, mengumpulkan, hingga menjual tumpukan sampah yang didapatkan tak lepas dari berbagai lika-liku dan risiko berbahaya seperti gangguan pernapasan akibat gas metana yang dihasilkan dari tumpukan sampah di TPA, kecelakaan di lokasi kerja, hingga kebakaran yang timbul akibat gas metana. Dengan segala risikonya, pemulung memiliki peran dan kontribusi yang besar dalam mengurangi jumlah sampah yang menumpuk dan tidak segera diolah, terlebih kondisi sampah di TPA Jatibarang yang sudah melebihi kapasitas seharusnya (overload).
Taufik dan Urwanti hanyalah contoh kecil dari sekian banyak pemulung yang mengais rezeki di TPA Jatibarang dan secara tidak langsung membantu proses pengurangan sampah yang mencemari lingkungan. Namun, berdasarkan pengalaman yang dibagikan oleh Taufik dan Urwanti, pemerintah sama sekali tidak turut andil dalam membantu menyejahterakan para pemulung, baik dari kebijakan maupun bantuan material untuk terdampak kebakaran seperti Urwanti. Bantuan yang diterima oleh Urwanti malah datang dari perorangan atau paguyuban.
Penulis: Lia
Editor: Marricy