
Judul: The Lovely Bones
Sutradara: Peter Jackson
Produser: Carolynne Cunningham, Fran Walsh, Peter Jackson, Aimee Peyronnet
Studio: DreamWorks Pictures, Film4, WingNut Films
Genre: Fiksi, Misteri, Fantasi, Thriller, Crime, Supranatural
Durasi: 135 menit
Tanggal rilis: 24 November 2009
Berdasarkan: Novel The Lovely Bones karya Alice Sebold
Film ini diawali dengan perkenalan Susie Salmon, gadis berusia 14 tahun yang merupakan putri sulung keluarga Salmon. Selayaknya gadis pada umurnya, ia adalah gadis yang periang dan aktif. Ia bermimpi untuk menjadi photographer dengan obsesinya terhadap kamera. Sayangnya ia harus terbunuh pada 6 Desember 1973, di tangan predator seksual yang telah mengintai dirinya.
Tumbuh di keluarga harmonis membuat Susie tumbuh dengan penuh cinta dan kasih sayang. Di masa-masa remaja itulah ia jatuh cinta untuk pertama kalinya dengan Ray Singh, teman satu sekolahnya. Disisi lain ternyata Ray juga menyimpan ketertarikan dengan Susie, keduanya juga memiliki beberapa persamaan yang membuat mereka tambah dekat. Ray kemudian merencanakan pertemuan pertama mereka. Susie yang senang pun menyetujuinya, ia pulang dengan perasaan gembira dan menantikan hari esok. Tetapi Susie tak pernah datang, ia tak pernah pulang ke rumah. Selamanya.
Trauma, Luka, dan Ketakutan
Film ini secara garis besar terbagi menjadi tiga sudut pandang yaitu sudut pandang korban, keluarga, dan pelaku. Ini adalah kelebihan dari film karena terjadi pendalaman karakter yang adil.
Hal yang paling menarik dari film ini adalah cara penulis memberikan nuansa supranatural dan fantasi untuk menyorot sudut pandang dari korban, yaitu Susie Salmon.
Susie berada di antara surga dan bumi, menyaksikan betapa dalam luka yang dirasakan keluarga dan teman-temannya atas kepergiannya. Ia bebas di alam tersebut tetapi masih terikat dengan kehidupannya, masih ada penyesalan dan dendam yang dirasakan. Rasa trauma dan amarah masih menyelimuti Susie, ia tak menerima fakta jika telah tiada.
“When I was alive, I never hate anyone, but now, hate was all that I had,” adalah dialog kuat dari Susie yang ditunjukkan untuk pembunuhnya. Pembunuh yang telah merusak senyuman indah gadis itu, yang telah mengubah kehidupannya dan menghancurkan mimpi-mimpi. Susie seharusnya merasakan kisah cinta pertamanya, mengejar cita-citanya, dan hidup dengan keinginannya. Kini yang tersisa hanyalah kenangan tentangnya, dirinya yang pernah ada namun kini telah tiada.

“Luka” sendiri adalah kata yang cocok untuk menggambarkan kondisi keluarga Salmon. Keluarga yang awalnya harmonis ini mulai rapuh disaat mengetahui fakta pahit bahwa putrinya telah tiada. Kerapuhan dalam rumah tangga ini tergambar dengan sangat baik, terlihat dari bagaimana luka ini menimbulkan duka dan penantian yang tak berujung. Di mana setiap anggota keluarga berusaha dengan cara mereka masing-masing untuk berdamai dengan kenyataan; ada yang langsung menerima, ada yang menolak, dan ada yang masih berjuang dalam diam.
Meski berusaha berdamai tetapi mereka tidak menyerah dalam mencari keadilan dan kebenaran untuk Susie. Perjuangan ayah dan adik perempuan Susie dalam mengungkap kasus ini adalah salah satu hal yang paling menyentuh hati di film ini.
Layaknya serpihan kaca yang tidak dapat sempurna jika disatukan lagi. Meskipun sudah berdamai, keluarga salmon masih menyediakan tempat spesial untuk Susie, anggota keluarga tercinta mereka.

Siapapun Bisa Jadi Pelaku
Pelaku kekerasan seksual terkadang berlindung di balik pembelaan bahwa korban adalah pemancing dari aksinya tersebut. Tetapi bagaimana jika pelaku ternyata adalah seorang predator seksual yang merencanakan aksinya dengan rapi, terencana dan hati-hati? Predator seksual hanya melihat korban sebagai mangsa yang bisa dijebak oleh tipu muslihatnya. Ini adalah realita dari pelaku kekerasan seksual yang tak disadari beberapa orang.
Pelaku ini tidak memiliki empati kepada korban dan memiliki kesadaran akan apa yang dilakukannya. Satu-satunya hal yang membuat mereka goyah adalah ketakutan mengenai kejahatan mereka yang akan terungkap ke publik. Ketakutan yang membuat mereka mampu bertindak lebih jauh agar tindakan mereka tidak tercium oleh masyarakat. Kemudian mereka bisa menyesuaikan diri layaknya manusia suci dan polos.
Film The Lovely Bones ini bukan hanya sekedar film misteri, ini adalah potret emosional dari bagaimana kekerasan seksual terjadi di dunia nyata. Film ini secara tidak langsung menyampaikan pesan bahwa kekerasan seksual tidak hanya terjadi karena cara berpakaian dan bentuk tubuh seorang wanita.
Di dalam film ini terlihat bahwa selain Susie Salmon, banyak korban adalah gadis yang masih memimpikan masa depan mereka dan masih tak mengenal apa itu cinta. Susie Salmon sendiri juga selalu berpakaian tertutup, ia juga hanya seorang gadis yang menginjak remaja dan baru saja mengenal cinta.
Pelaku kekerasan seksual akan selalu melihat korban sebagai objek pemuas bagi mereka, tidak peduli usia, cara berpakaian, hingga bentuk tubuh dari korbannya. Sayangnya, para pelaku terkadang berasal dari orang-orang terdekat korban, dan mereka bisa bersembunyi di dalam masyarakat dengan mudah. Sekarang saatnya kita mengubah cara pandang kita mengenai isu ini, sudah saatnya kita berhenti menyalahkan korban dan berhenti memaklumi tindakan pelaku.
“Protect your daughter, educate your son.”
Penulis: Arya
Editor: Marricy