Fadli Zon, Bukti Kemerosotan Nilai Kemanusiaan di Indonesia

Ilustrasi/Afis

Cuplikan obrolan antara Menteri Kebudayaan Fadli Zon dengan Uni Lubis dalam siaran YouTube IDN Times pada Rabu, 11 Juni 2025 menyoal revisi buku sejarah Indonesia langsung menuai kontroversi. Debat yang ditayangkan di kanal YouTube itu mendongkrak amarah perempuan-perempuan di Indonesia, terutama terkait penyangkalan Fadli Zon pada peristiwa pemerkosaan massal 1998. 

“Tidak ada bukti pemerkosaan massal 1998 itu terjadi. Jika memang ada, tunjukan!” Kurang lebih begitulah kalimat yang diutarakan oleh Fadli Zon. Selain dinilai kurang empati, pernyataan tersebut membuktikan bahwa negara tidak pernah berpihak pada korban dan menutup mata akan peristiwa pelanggaran HAM serius yang pernah terjadi di Indonesia. 

Melalui cuplikan video yang disebarluaskan di media sosial, beberapa perempuan menuangkan kegelisahan dan kemarahannya. Lantas, pada Jumat, 13 Juni 2025, sebuah konferensi pers diadakan guna menuntut Fadli Zon meminta maaf akan pernyataannya kala itu. Pernyataannya kepada Uni Lubis tidak hanya menyakiti perempuan-perempuan di Indonesia, melainkan juga mengabaikan perasaan kemanusiaan kepada korban dan keluarga mereka. 

Tulisan ini dibuat sebagai bentuk refleksi akan perlunya membaca dan kepekaan. Tak hanya perkara-perkara sederhana dan segar, tapi persoalan masa lalu yang perlahan dilupakan. Selain itu, sebagai seorang perempuan, saya merasa gelisah. Perkara-perkara serius mulai diabaikan negara, dan kini ada wacana untuk melenyapkan mereka dari buku sejarah. 

Saya bukanlah seorang yang paham sejarah secara utuh, bahkan mempelajarinya dengan serius. Saya juga tidak hidup di masa peristiwa itu terjadi. Namun, hal tersebut tidak menghalangi saya untuk percaya. Maka dari itu, melalui tulisan ini, saya ingin menunjukkan temuan-temuan saya mengenai peristiwa kelam dan menyakitkan tersebut. 

Pembaca boleh menilai, tetapi saya harap tidak ada penyangkalan di dalam hati sebab bukti pemerkosaan ada di tubuh korban dan tidak pernah utuh ketika dituliskan. 

Mengenal TGPF

Peristiwa kerusuhan, penjarahan, hingga pemerkosaan massal bukanlah persoalan sederhana. Peristiwa tersebut meninggalkan luka mendalam dan tak pernah kering. Maka dari itu, pada 23 Juli 1998, melalui komitmen Mantan Presiden B.J. Habibie dan berdasarkan keputusan bersama Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Peranan Wanita, dan Jaksa Agung, dibentuklah Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). 

Terdiri dari 17 anggota dan diketuai oleh Marzuki Darusman, S.H (Komnas HAM), struktur organisasi TGPF dirancang secara fungsional, di mana setiap bagian dan anggota memiliki kedudukan yang setara, tanpa hubungan atasan dan bawahan di antara mereka. TGPF terbilang sangat terstruktur karena memiliki tim sekretariat (dikoordinasi oleh Dr. Rosita Sofyan Noer, MA) dan tim asistensi (diketuai oleh Hermawan Sulistyo, Ph.D). 

Meskipun organisasi telah dibentuk sedemikian baik, kerja-kerja mereka tentu saja membutuhkan kontribusi dan partisipasi dari masyarakat, khususnya dalam pengumpulan informasi. Maka dari itu, TGPF membuka sebuah kotak pos dan lima hotlines, serta membangun komunikasi untuk penyampaian hasil temuan kepada masyarakat melalui media massa. Tak lupa, TGPF juga membangun kerja sama dengan beberapa lembaga atau instansi pemerintah maupun pihak lainnya. 

Proses kerjanya memiliki beberapa tahap, yaitu:

  1. Pengumpulan dan pengolahan data dari berbagai sumber.
  2. Melakukan verifikasi atas data dari berbagai sumber tersebut.
  3. Mengadakan wawancara dengan pejabat dan mantan pejabat, bak sipil maupun ABRI.
  4. Mengadakan pertemuan konsultatif dengan lembaga profesi dan saksi ahli.
  5. Melakukan kunjungan lapangan ke daerah-daerah.
  6. Menyusun ulang gambaran peristiwa dan menganalisis.
  7. Menyimpulkan temuan-temuan dan mengungkapkan duduk perkara sebenarnya
  8. Menyusun rekomendasi kebijakan dan kelembagaan.

Hal paling menarik adalah ketika Subtim Fakta Korban melakukan pendekatan dan memberikan perhatian khusus terhadap laporan kekerasan seksual yang masuk di tengah kerusuhan Mei 1998. Mereka hadir bagi korban sebagai telinga ketika tak ada korban yang memiliki keberanian penuh untuk bersuara. Verifikasi yang dilakukan oleh subtim ini melibatkan 25 orang korban, 20 saksi ahli, 36 saksi mata dan keluarga, serta 10 rohaniwan atau pendamping korban. Tak luput pula keterangan dari aparat keamanan yang dikumpulkan demi mendapatkan gambaran utuh. 

Untuk menjaga standar dan validitas dalam investigasi, TGPF menggunakan prosedur forensik yang dikenal sebagai Protokol Minnesota. Protokol Minnesota adalah pedoman internasional yang digunakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menyelidiki kematian mencurigakan, terutama jika ada dugaan keterlibatan negara—baik karena tindakan langsung maupun kelalaian.

Pertama kali diadopsi pada tahun 1991, protokol ini dianggap sebagai terobosan penting dalam upaya penegakan hak asasi manusia. Namun, seiring perkembangan ilmu forensik dan hukum internasional, banyak aktivis HAM menilai protokol ini perlu diperbarui agar tetap relevan. Namun, dengan penyesuaian terhadap konteks Indonesia, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyebut pelaksanaannya sebagai Protokol Jakarta.

Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa TGPF, melalui Subtim Fakta Korban, berusaha menghadirkan wajah kemanusiaan dalam laporan mereka. Mereka tidak hanya menghitung puing-puing dan bangunan terbakar, tapi juga berusaha mengangkat suara mereka yang kerap dibungkam: para penyintas

Temuan TGPF 1988

Peristiwa yang terjadi pada 13—15 Mei 1998 memiliki pola umum yang dimulai dari perkumpulan massa pasif atau massa lokal dan pendatang tak dikenal. Kemudian, situasi tersebut dimanfaatkan oleh provokator untuk memantik kerusuhan melalui tindakan seperti membakar ban, meneriakkan yel-yel, dan merusak fasilitas umum. Lalu, massa didorong untuk melakukan perusakan, penjarahan, dan pembakaran. Provokator umumnya bukan warga lokal. Namun, orang-orang yang tampak terlatih, tidak ikut menjarah, dan segera meninggalkan lokasi setelah kerusuhan terjadi. Di sisi lain, mereka membawa alat-alat untuk melakukan perusakan dan pembakaran.

TGPF menemukan bahwa titik awal kerusuhan yang terjadi di Jakarta, 13 Mei 1998 bermula dari sekitar Universitas Trisakti dan dipicu oleh tertembaknya seorang mahasiswa. Kemudian, pada 14 Mei kerusuhan menyebar hampir serentak di beberapa wilayah antara pukul 8—10 WIB. Akhirnya, diputuskanlah bahwa pemicu utama kerusuhan di Jakarta adalah karena kematian mahasiswa Universita Trisakti. Di samping itu, target kerusuhan yang dijarah dan dirusak meliputi pertokoan, fasilitas umum, kantor pemerintah, rumah, dan kendaraan, dengan mayoritas korban berasal dari etnis Tionghoa. 

Pelaku kerusuhan dibagi menjadi tiga kelompok utama, yakni kelompok provokator, massa aktif, dan massa pasif. 

Kelompok provokator bertugas untuk memicu terjadinya kerusuhan dan memulai segala pengrusakan, serta mendorong terjadinya penjarahan. Mereka sulit dikenali, namun di beberapa kasus mereka teridentifikasi berasal dari organisasi pemuda, serta ditemukan adanya bukti keterlibatan anggota aparat keamanan di Jakarta, Medan, dan Solo.  

Massa aktif berjumlah puluhan hingga ratusan orang. Mereka yang awalnya pasif menjadi agresif setelah terprovokasi. Di sisi lain, massa pasif adalah mereka yang awalnya hanya menonton atau penasaran, lalu beberapa di antara mereka ikut merusak dan menjarah, serta menjadi korban kebakaran saat kerusuhan berlangsung. 

Sementara itu, kerugian dan korban meliputi korban kekerasan seksual, kerugian material, kehilangan pekerjaan, meninggal dunia, luka-luka, hingga korban penculikan. Data yang tercatat dalam angka rupanya bervariasi di setiap lembaga, untuk wilayah Jakarta ditemukan 1.190 orang meninggal akibat terbakar, 27 karena senjata/penyebab lain, dan 91 luka-luka (Tim Relawan), 451 orang meninggal dan korban luka tidak tercatat (Polda), 163 meninggal termasuk aparat dan 69 luka-luka (Kodam), serta 288 meninggal dan 101 luka-luka (Pemda DKI). 

Opini yang berkembang selama ini menyebut bahwa korban meninggal karena kesalahan sendiri. Namun, TGPF menemukan banyak korban tewas bukan karena kesalahan pribadi. Perbedaan data juga disebabkan oleh banyaknya korban yang dievakuasi oleh masyarakat sebelum ada evakuasi resmi, sehingga tidak tercatat dalam laporan pemerintah.

Catatan Kekerasan Seksual Mei 1998

TGPF mengacu pada definisi kekerasan seksual dari Deklarasi PBB, yang mencakup segala bentuk penderitaan fisik, seksual, atau psikologis berbasis gender. Namun, hukum positif Indonesia belum mampu menjelaskan seluruh bentuk kekerasan seksual secara memadai dan adil. Untuk memahami lebih dalam terkait klasifikasi kekerasan dan pelecehan seksual dapat mengakses buku elektronik Panduan Meliput Kekerasan Seksual bagi Persma dan Jurnalis karya kolaborasi Project Multatuli dengan jurnalis profesional dan jurnalis mahasiswa. 

Jumlah korban yang berhasil diverifikasi hingga akhir masa kerja TGPF adalah: perkosaan (52 orang), perkosaan dengan penganiayaan (14 orang), penyerangan/penganiayaan seksual (10 orang), dan pelecehan seksual (9 orang). 

Laporan TGPF mencatat bahwa kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 bukan hanya terjadi saat puncak kerusuhan berlangsung, tetapi juga ditemukan sebelum dan sesudah periode tersebut. Di Medan, misalnya, terjadi rentetan pelecehan seksual sejak 4–8 Mei 1998, dengan laporan dari sedikitnya lima korban yang berani melapor. Sementara itu, pasca-kerusuhan, tercatat dua kasus kekerasan seksual di Jakarta pada 2 Juli dan dua kasus di Solo pada 8 Juli 1998. Kejadian-kejadian ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual bukanlah insiden terpisah, melainkan bagian dari pola kekerasan yang lebih luas dan terstruktur.

Sebagian besar kekerasan seksual terjadi di dalam rumah atau bangunan tertutup, meski ada pula yang berlangsung di jalan atau depan tempat usaha. Banyak dari kasus pemerkosaan yang tercatat merupakan bentuk kekerasan berkelompok (gang rape), sering kali di hadapan saksi atau orang lain.

Walaupun korban kekerasan seksual berasal dari berbagai latar belakang, mayoritasnya adalah perempuan etnis Tionghoa. Para korban pun berasal dari lintas kelas sosial, memperlihatkan bahwa kekerasan ini tidak mengenal batas status ekonomi atau sosial. Data ini menegaskan bahwa kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis dan sangat mengakar.

Kekerasan seksual selama kerusuhan Mei 1998 menjadi salah satu bentuk serangan paling brutal terhadap martabat manusia. Tindakan ini terjadi bukan secara kebetulan, melainkan karena adanya niat, kesempatan, dan terbentuknya psikologi massa yang menganggap tindakan tersebut bisa dibenarkan. Akibatnya, kekerasan seksual menyebar dan menimbulkan penderitaan, ketakutan, serta trauma yang mendalam pada para korban.

TGPF juga menyoroti bahwa adanya kebingungan di masyarakat mengenai keberadaan dan jumlah korban pemerkosaan disebabkan oleh pendekatan hukum positif yang kaku—yang menuntut adanya laporan korban, bukti kekerasan fisik, serta saksi—padahal banyak korban tidak mampu bersuara karena trauma, rasa takut, dan aib sosial.

Penutup

Negara dan kekerasan saling terkait erat karena negara memiliki hak monopoli atas penggunaan kekerasan yang sah, sebagaimana dikemukakan oleh Max Weber. Kekerasan ini terbagi menjadi dua jenis: kekerasan langsung (fisik/personal) dan kekerasan struktural, yang lebih tersembunyi namun memiliki dampak lebih luas. Kekerasan struktural dijalankan melalui kebijakan publik, media, pendidikan, sistem hukum, dan ekonomi, dan menghasilkan ketimpangan akses terhadap sumber daya, keadilan, serta layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan.

Ketidaksetaraan ini merupakan akibat dari distribusi kekuasaan yang tidak adil, di mana kelompok tertentu—berdasarkan kelas, gender, etnis, atau kebangsaan—memiliki akses lebih besar terhadap sumber daya dibandingkan kelompok lain. Perempuan, terutama dari kelompok minoritas, menjadi korban utama dari kekerasan struktural karena interseksi identitas mereka (gender, ras, kelas, agama), yang memperbesar kerentanan.

Kekerasan struktural terhadap perempuan dapat dilihat dalam tiga dimensi utama: sosio-kultural, ekonomi, dan politik. Ketimpangan sosio-kultural muncul dari pertemuan antara kebijakan negara dan budaya patriarkis, serta preferensi terhadap laki-laki, ketidakadilan dalam distribusi makanan, pendidikan, dan kesehatan. Sementara itu dalam dimensi ekonomi perempuan sering mengalami diskriminasi karena kerja-kerja mereka tidak dianggap penting. Sedangkan pada dimensi politik, struktur kekuasaan sering kali tidak memberikan ruang yang adil untuk partisipasi perempuan. Dengan demikian, kekerasan terhadap perempuan tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga tertanam dalam struktur sosial yang menindas secara sistematis dan berlapis.

Peristiwa pemerkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa di Jakarta mencerminkan bentuk kekerasan struktural disertai opresi berlapis. Mereka (para korban) mengalami kekerasan karena identitas rasial mereka. Kompleksitas kekerasan ini menunjukkan bahwa identitas gender, ras, dan ekonomi saling berkelindan sekaligus memperkuat kerentanan korban. Meski telah ada sejumlah studi mengenai Tragedi Mei 1998, sebagian besar hanya menyoroti aspek tertentu—seperti etnisitas, kelas, atau gender—tanpa membahas keterkaitan antaraspek tersebut secara menyeluruh.

Sampai detik ini, kekerasan seksual yang terjadi meninggalkan luka mendalam bagi korban dan keluarga. Pencatatan dalam sejarah mengabadikan luka sekaligus perjuangan mereka untuk survive dari trauma, atau paling tidak eksistensi dan kejadian yang selalu diingat itu menjadi memori jangka panjang dengan harapan tidak akan terulang. 

Untuk Fadli Zon, dengan tidak mengakui peristiwa kelam tersebut, Anda dinobatkan menjadi manusia paling abai dan tidak berperikemanusiaan. Bukti yang Anda minta, ada di tubuh korban, di ingatan para saksi, dan di masa hidup keluarga mereka. Sangat tidak etis rasanya mengabaikan luka dan sejarah masa lalu yang sudah mendekam di hati para penyintas dengan susah payah. Mereka melalui banyak duka dan kesulitan dalam mengatasi trauma mendalam. Namun, sungguh tidak bermartabatnya Anda mendorong penulisan ulang sejarah Indonesia dengan tone positif dan melenyapkan segala upaya yang sudah dilakukan demi membongkar peristiwa tersebut. 

Segala yang sudah diupayakan TGPF sampai detik ini merupakan catatan sejarah. Mereka tidak mengada-ngada peristiwa yang terjadi. Lagipula, mengada-ngada peristiwa mengerikan untuk anak-cucu untuk apa dilakukan? Anak-cucu kita butuh sebuah pembelajaran dan sebuah refleksi, tentang bagaimana Negara Kesatuan Republik Indonesia telah mengalami kemerosotan, khususnya pada Sila ke-2. 

Referensi

Komnas Perempuan. (November 1999). Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 (Seri Dokumen Kunci). Jakarta: Komnas Perempuan. Dicetak pertama kali pada November 1999, dengan cetakan lanjutan 2002 dan 2006.

Setiawan, A. (2017). Opresi Berlapis Perempuan Etnis Tionghoa: Pemerkosaan Massal Terhadap Perempuan Etnis Tionghoa dalam Tragedi Mei 1998 di Jakarta. Jurnal Politik, 2(2), hlm. 338–339. 

Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). (23 Oktober 1998). Laporan Akhir Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa 13–15 Mei 1998: Ringkasan Eksekutif. Jakarta: TGPF. Laporan asli dirilis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

University of Minnesota – Hubert H. Humphrey School of Public Affairs. (25 Januari 2017). Explaining the Minnesota Protocol. Minneapolis, MN: University of Minnesota.

Penulis: Marricy
Editor: Diaz

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top