Dok. LBH Semarang |
Tanggal 1 Mei atau yang kerap disebut Mayday merupakan hari lebaran bagi kaum buruh dan sebagai momen penting untuk memperingati perlawanan kelas pekerja terhadap kesewenangan pemodal. Hal tersebut dikatakan Rizky Putra Edry, salah satu anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang dalam rilis yang diterima Hayamwuruk, Senin (1/5/2018).
Rizky menilai usai memasuki masa reformasi kondisi kehidupan saaat ini belum menunjukkan dampak yang signifikan. “Kebebasan sipil sebagai salah satu tuntutan reformasi semakin mengalami kemunduran. Sementara itu, di bidang kesejahteraan, negara masih lalai dalam membentuk sebuah sistem yang efektif untuk melindungi buruh dari penghisapan pemodal,” ujarnya.
Menurutnya pemenuhan hak-hak normatif buruh tampak masih jauh dari angan-angan, meskipun sudah diberlakukan paket undang-undang perburuhan antara lain; UU Nomor 21 tahun 2000 tentang serikat Pekerja/Serikat Buruh, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, serta UU Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
“Aturan-aturan yang ada masih kerap dilanggar maupun dibiarkan terlanggar melalui perselingkuhan negara dan modal. Meskipun terdapat norma-norma yang menjamin perlindungan terhadap pekerja dalam paket undang-undang tersebut, namun watak dari pemberlakuan norma diatas masih setia kepada kepentingan pasar internasional sebagaimana yang diinginkan oleh pihak yang mendorong pembentukannya World Bank dan IMF,” tuturnya.
Pemberlakuan PP No 78 tentang Pengupahan, ujar Rizky, merupakan bentuk ketidakberpihakan pemerintah terhadap buruh. Rizky menilai kebijakan upah minimum saat ini semakin jauh dari kebutuhan hidup layak karena tidak ada peanghitungan riil dan bergantung kepada inflasi serta pertumbuhan ekonomi.
“Belum lagi, sangat jarang perusahaan memiliki kebijakan struktur dan skala upah yang mengakibatkan semua buruh berapapun masa kerjanya, tetap diupah sesuai dengan upah minimum yang tidak layak.”
Rizky mencontohkan pemberlakuan upah murah di wilayah Jawa Tengah dijadikan jalan untuk mengundang investasi. “Benar bahwa semua warga negara butuh pekerjaan, namun standar HAM mengharuskan pengupahan yang layak,“ ujarnya.
Selain itu, Rizky mengatakan bahwa terdapat salah satu kegagalan terbsesar negara dalam melindungi pekerja, antara lain adanya legalisasi praktik pasar tenaga kerja fleksibel oleh negara (melalui kerja kontrak, outsourcing, dan pekerja rumahan).
“Seringkali buruh membiarkan dirinya diperlakukan sewenang-wenang untuk tetap dapat bekerja. Salah satu bentuk yang jamak dijumpai adalah jam kerja yang panjang namun tidak diiringi peningkatan kesejahteraan.”
Kegagalan negara lainnya dapat dilihat melalui tidak terpenuhinya hak-hak khusus buruh perempuan seperti cuti haid, cuti melahirkan, ataupun keberadaan ruang laktasi.
“Seringkali, buruh perempuan yang tengah haid dipaksa untuk tetap bekerja dan adanya ancaman PHK bagi buruh perempuan yang menggunakan haknya dalam cuti haid, terlebih bagi buruh kontrak.”
Rizky menambahkan permasalahan tersebut diperparah dengan lemahnya peran pengawas ketenagakerjaan. “Meskipun harus diakui jumlahnya tidak memadai, namun pengawas yang telah ada juga belum maksimal dalam melakukan tugasnya guna mewujudkan perlindungan terhadap buruh,” ujarnya.
Risky juga mengatakan jika ditarik lebih jauh, semakin banyaknya jumlah pengangguran disebabkan oleh tidak adanya lahan produktif yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber daya ekonomi. Seharusnya hal tersebut dapat diatasi dengan dilaksanakannya reforma agraria.
Dalam rilis tersebut, dengan adanya berbagai permasalahan di atas, LBH Semarang menuntut:
1. Cabut PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan;
2. Hentikan praktik politik upah murah di Jawa Tengah;
3. Hentikan praktik pasar tenaga kerja fleksibel;
4. Stop jam kerja yang panjang dan tidak manusiawi;
5. Penuhi hak-hak buruh perempuan;
6. Pengawas Ketenagakerjaan harus berperan aktif dalam penegakkan hukum ketenagakerjaan;
7. Jalankan reforma agraria sejati;
8. Lakukan penegakan hukum terhadap industri perusak lingkungan;
9. Hentikan segala bentuk penggusuran dengan dalih apapun.