Represifitas Aparat Kepolisian dan Bayang-Bayang Otoritarianisme

Ilustrasi/Imam

Vox populi, vox dei, “Suara rakyat adalah suara Tuhan.”

Polisi sepertinya tidak pernah mau belajar apalagi mengevaluasi diri. Lagi-lagi, polisi melakukan tindak kekerasan kepada mereka yang berteriak meminta hak-haknya dipenuhi. Mungkin bagi polisi teriakan-teriakan tersebut membuat tuli. Maka, hanya dengan kekerasan, cara cepat dan mudah membungkam suara massa. Tidak perlu berpikir. Tarik saja pelatuk pistolnya, suara-suara tersebut akan bubar dan tak kembali.

Januari sampai November 2024, Amnesty International Indonesia mencatat terdapat 116 kasus kekerasan yang diduga dilakukan oleh kepolisian di seluruh Indonesia. Kasus pembunuhan di luar hukum menjadi kejahatan tertinggi yang dilakukan oleh aparat dengan total jumlah 29 kasus. Ironisnya, para aparat yang melakukan kekerasan tidak pernah secara tegas mendapatkan sanksi hukum. Institusi kepolisian seperti telah menormalisasi segala bentuk kekerasan yang dilakukan oleh para anggotanya. Apalagi, jika aparat polisi tersebut memiliki kedudukan penting dalam sirkus kekuasaan.

Ferdy Sambo, salah satu contohnya, dia adalah otak dan dalang dari pembunuhan Brigadir J, anak buahnya. Saat proses persidangan, Sambo bersama dengan tersangka lainnya bekerja sama dalam menutupi fakta kejadian dan mengaburkan tindak pidana (obstruction of justice) yang telah terjadi. Hal ini terlihat selama proses persidangan, saat Sambo mengatakan bahwa motif utama dia membunuh Brigadir J adalah atas dasar sakit hati karena istrinya telah dilecehkan oleh ajudannya. Namun, fakta mengungkapkan bahwa Brigadir J tidak pernah melakukan tindakan asusila kepada istri Sambo.

Kasus Ferdy Sambo telah memberikan gambaran mengenai bobroknya institusi aparat kepolisian sekarang. Penggunaan kekuatan berlebihan, kekerasan, penipuan, dan manipulasi fakta telah menjadi penyakit dalam tubuh institusi. Bahkan kabar terbaru, enam perwira yang menjadi tersangka obstruction of justice dalam kasus Sambo malah kini telah mendapat promosi jabatan. Sebuah amnesia yang seharusnya tidak perlu terjadi.

Institusi Polri dan lembaga pengawasnya seharusnya melakukan reformasi secara menyeluruh pada para anggotanya. Jika tidak, maka bentuk-bentuk kejahatan seperti yang dilakukan oleh Sambo akan dilanggengkan oleh anggota kepolisian lainnya. Tidak menutup kemungkinan, institusi akan melahirkan banyak Sambo baru yang akan merusak citra dan fungsi aparat keamanan.

Nahasnya, momentum tersebut gagal dilakukan. Kini, penyakit Sambo telah menjadi ilham bagi institusi-institusi untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang serupa.  

Katakanlah Aipda Robig, tersangka pembunuhan siswa SMK bernama Gamma, dia mungkin merasa kesal atau dilecehkan karena motornya terserempet, Robig lantas langsung melepaskan peluru ke arah Gamma dan teman-temannya. Ironisnya, Robig berteriak mengatakan dirinya seorang polisi

Sebagai polisi, dia seharusnya paham bahwa penggunaan senjata api tidak boleh serampangan. Polisi harus mematuhi prosedur ketat dan dalam keadaan mengancam jiwa.  Hal ini telah diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Perkapolri) No.8 Tahun 2009 dan  No.1 Tahun 2009. Maka, ketika Kepala Kepolisian Resor Kota Besar (Kapolrestabes) Semarang Kombes Irwan Anwar sebagai penyidik kasus Gamma mengatakan untuk membubarkan aksi tawuran remaja. Pernyataan tersebut menjadi sangat tidak masuk akal.

Selain itu, aksi brutalitas aparat kepolisian yang secara masif juga terjadi dalam rentang waktu 22-26 Agustus 2025 atau Aksi Peringatan Darurat, secara nyata memperlihatkan polisi melakukan berbagai bentuk penyiksaan terhadap aksi massa.  Bahkan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat aksi tersebut mengakibatkan 254 korban mengalami luka-luka dan 380 orang ditangkap secara sewenang-wenang oleh aparat TNI/Polri. Tindakan tersebut menyakinkan kita bahwa aparat kepolisian tidak lagi menjadi alat negara melainkan telah beralih sebagai alat para penguasa.

Perlu digaris bawahi bahwa represifitas polisi kepada para demonstran merupakan bentuk dari pengingkaran demokrasi. Suara-suara massa aksi dibungkam dengan keras dan kejam oleh para aparat. Padahal demokrasi seharusnya menjadi ruang aman bagi warga sipil untuk mengungkapkan keresahan dan pendapat tanpa ada intervensi dari pihak manapun. Akan tetapi, kenyataan demokrasi lebih terlihat menjadi arena pertempuran antara warga sipil dan polisi.

Akhirnya, kekerasan dalam institusi kepolisian telah menjadi sebuah habitus. Aparat seperti tidak pernah melakukan refleksi dan mengoreksi tindakan moral yang telah mereka lakukan. Alhasil, kebiasaan ini akan menghasilkan bentuk-bentuk dehumanisasi yang bakal merusak kehidupan bernegara. Nilai-nilai normatif menjadi tidak relevan lagi karena polri sudah menjadi alat untuk tujuan pragmatis para penguasa. Maka tidak heran apabila para aparat kepolisian menganggap wajar jika membela politisi, meski sosok tersebut telah melanggar institusi dan korup.  

Berkaca pada kasus Gamma dan Aksi Peringatan Darurat, dua dari banyak contoh konkrit gambaran kesewenang-wenangan aparat kepolisian. Entah sampai kapan aparat polisi akan terus menerus berbohong, memukul, menyiksa, dan menculik siapapun yang melawan. Hal ini membuat slogan “Melindungi, Mengayomi dan Melayani Masyarakat” semakin menjadi tidak relevan apabila disematkan kepada polisi.  Ditambah lagi ada upaya intervensi dari pihak aparat kepolisian kepada korban. Korban yang seharusnya menjadi pihak paling dilindungi, justru mendapat perlakukan sebaliknya. Aspek kemanusiaan dalam tubuh Polri semakin pudar dan perlu dipertanyakan ulang.

Lalu, pertanyaannya apakah kerusakan dalam institusi Polri masih bisa diselamatkan? Secara hukum normatif Polri masih bisa diselamatkan, akan tetapi apabila melihat kondisi politik sekarang kita perlu khawatir. Apalagi sejak terpilihnya Prabowo Subianto sebagai Presiden Republik Indonesia, ia tidak memperlihatkan niat untuk memperbaiki institusi ini. Terlebih lagi saat Prabowo mengatakan “oposisi bukanlah budaya kita (Indonesia) melainkan budaya barat” membuat banyak orang berprasangka ada semacam niatan menghidupkan kembali otorianisme. Hal ini berbahaya karena Sejarah telah membuktikan bagaimana keamanan negara digunakan menindas rakyat oleh rezim-rezim otoriter.

Saya mafhum, sebagian besar rakyat mungkin pesimis terhadap DPR, apalagi ketika melihat kinerja anggota-anggota dewan belakangan yang kian buruk. Meski benar. saya masih berharap dan setuju dengan optimisme yang disampaikan oleh Bivitri bahwa, “Dalam situasi demokrasi yang lagi buruk seperti ini, satu-satunya untuk bertahan, kita (masyarakat sipil) yang harus bersuara.” 

Warga sipil harus menyuarakan keresahan terhadap kinerja para aparat kepolisian, misalnya dengan mendesak DPR, khususnya Komisi III untuk mengeluarkan Hak Angket. Hak Angket memiliki peranan penting dalam menjaga, mengawasi, dan menyelidiki kebijakan dalam institusi negara yang seringkali bertindak secara tidak adil kepada rakyat. Maka antar warga sipil menjadi sangat penting dan mampu memberikan sejuta harapan akan adanya perubahan ke arah yang lebih baik. Ingat Aksi Peringatan Darurat berhasil membuat DPR RI membatalkan revisi UU Pilkada. Ingat suara rakyat adalah suara Tuhan

Terus berisik dan keras menuntut DPR untuk melakukan revisi UU TNI-Polri yang syarat dengan kepentingan bagi pihak tertentu harus terus-menerus disuarakan. Hal ini karena UU TNI-Polri sekarang bermasalah dalam menjaga demokrasi dan kebebasan ekspresi bagi warga negara, apalagi dengan minimnya pengawasan terhadap institusi ini telah menjadi sarang bagi berbagai pihak melakukan tindakan yang merugikan negara.  Jika hal ini dibiarkan, maka para aparat kepolisian akan selalu melakukan tindakan represif.  Tidak perlu menunggu waktu lama, Indonesia akan menjadi negara yang penuh sesak oleh para oligarki dan demokrasi akan kehilangan arah.

Penulis: Diaz Fatkhur Rohman 

Editor: Alena

Sumber

Amnesty International Indonesia. (2024, Desember 2024). Konferensi Pers: Kekerasan Aparat Makin Darurat? [Video]. https://www.youtube.com/live/kO5nKtozxQM?si=ZWbEyJ8tlzhaun5m

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top